Tuesday, February 25, 2014

THAHARAH : MANDI WAJIB



THAHARAH : MANDI WAJIB
       I.            PENDAHULUAN
Thaharah menurut pengertian bahasa berarti “suci/kesucian” atau ‘bersih/kebersihan”. Kata ini mengandung pengertian yang lebih luas, yaitu mencakup kebersihan atau kesucian dari segala kotoran yang bersifat fisik (material), seperti kencing dan kotoran, maupun secara hukum seperti berhadats. Seseorang dikatakan bersih dari hadats, apabila telah mandi dan berwudhu. Seseorang yang dalam keadaan junub disebut kotor secara hukum karena dia belum mandi wajib. Dia disebut bersih apabila ia telah mandi. Mandi adalah cara untuk membersihkan badan dari junub (hadats besar). Seseorang juga dipandang kotor secara hukum, apabila ia belum berwudhu. Seseorang yang sudah berwudhu sudah dipandang bersih menurut hukum. Wudhu adalah cara untuk membersihkan badan dari kotoran (hadats kecil).[1]
    II.            PERMASALAHAN
a.       Mandi Wajib
b.      Sebab-Sebab Wajib Mandi
c.       Syarat Mandi Wajib
d.      Fardlu / Rukun-rukun Mandi Wajib
e.       Sunat Mandi Wajib, Mandub, dan Makruhnya
f.       Mandi-Mandi Yang Disunatkan
g.      Yang Diharamkan Atas Orang Junub Sebelum Mandi Wajib
h.      Beberapa Hal Lain Yang Berkaitan Dengan Mandi Wajib

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mandi Wajib
Yang dimaksud dengan ‘mandi’ disini ialah mengalirkan air ke seluruh badan dengan niat.[2] Yang dinamakan mandi menurut istilah fikih ialah menggunakan air atas semua bagian badan menurut cara-cara tertentu.[3] Mandi wajib bagi perempuan adalah persis seperti mandinya lelaki, yaitu dengan mratakan air ke sekujur tubuhhanya saja ketika mandi sehabis haid atau nifas, maka berkas-berkas darah harus dibersihkn sama sekali dengan bahan yang baunya mengalahkan bau darah.[4] Firman Allah SWT dalam Q. S. Al-Maaidah : 6
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
B.     Sebab-Sebab Wajib Mandi
Sebab-sebab wajib mandi ada enam, diantaranya biasa terjadi pada laki-laki dan perempuan dan ada lagi tertentu atau khusus pada perempuan saja, diantaranya adalah:
1.      Memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan lawan
Memasukkan kepala kemaluan ke dalam lubang kemaluan depan maupun kemaluan belakang, baik sampai mengeluarkan mani atau tidak, secara terperinci untuk ini mempunyai beberapa syarat, yaitu:
Hanafiyah
Bila kepala kemaluan telah masuk baik sebagian saja ke dalam kemaluan depan maupun belakang yang disetubuhi tanpa batas yang panjang sehingga tidak menghalangi perasaan panas, maka telah mewajibkan mandi, baik yang melakukan dan yang diperlakukan, dengan mengeluarkan mani ataupun tidak.
Disyaratkan, kalau salah satu seseorang telah baligh dan yang lain belum baligh maka yang wajib mandi adalahatas yang telah baligh. Andaikata dua orang yang khuntsa (ada tanda laki-laki dan tanda perempuan padanya) bersetubuh, maka yang wajib mandi ialah yang telah baligh pula. Yang belum baligh dianjurkan agar mandi.
Syafi’iyah
Sama dengan pada Hanafiyah di atas ini, kecuali diwajibkan atas wali agar menyuruh anak asuhnya mandi. Bila anak itu telah melakukannya maka sudah memadai. Tapi, bila tidak mau, maka ia wajib mandi pada waktu baligh. Cara ini berlaku pada manusia atau binatang yang masih hidup atau telah mati. Syaratnya ialah bila masuk ke lubang kemaluan lawannya. Bila di pinggirnya saja, maka baru wajib mandi bila ada mengeluarkan mani.
Malikiyah
Wajib mandi dengan memasukkan ujung kemaluan ke dalam kemaluan lawannya, baik yang depan atau yang belakang, baik ia manusia ataupun binatang, baik masih hidup atau sudah meninggal atau mati. Bila seorang wanita yang sudah baligh disetubuhi dengan yang belum baligh dan belum mengeluarkan mani, maka tidak mewajibkan mandi.
Bila mani keluar setelah hilang rasa enak yang biasa, tanpa bersetubuh maka mewajibkan mandi, baik keluarnya sesudah mandi atau sebelumnya. Tapi, bila rasa enak itu pada bersetubuh dan turun mani sesudah hilang rasa enaknya dan bila sebelum tuun ini ia sudah mandi, maka ia tidak wajib mengulang mandinya.[5]
Hanabilah
Tidak disyaratkan untuk mewajbkan mandi keluar mani, tapi hanya bila ia seorang laki-laki telah merasa bahwa maninya sudah terpisah dari sulbinya. Begitu pula bila wanita telah merasakan bahwa maninya sudah terpisah dari tulang dadanya, tempat ia menggantungkan dukuh dan yang lainnya. Jadi, tidak disyaratkan agar mani  telah keluar dari kemaluan depannya, sehingga bila seseorang yang bersetubuh tidak mengeluarkan maninya waktu itu tapi keluar setelah ia mandi wajib maka ia harus mengulang mandi wajibnya kembali. Syaratnya bila ia merasa enak waktu keluarnya. Bila tidak maka yang ia lakukan ialah berwudhu saja. Begitu pula bila mani keluar disebabkan kena pukulan atau karena sakit.
2.      Keluar mani dari laki-laki dan perempuan
Keluar mani ada dua macam, yaitu: (1) Pada waktu bangun dan (2) pada waktu tidur. Yang pertama ini adalah yang keluar tanpa bersenggama, tapi masih merasa enak. Ada yang karena sakit atau kepedihan. Bila keluarnya karena suatu cara, bersentuhan kulit, mencium atau beradu kudud (mu’anaqoh orang Arab), melihat, mengingat, seumpamanya, mewajibkan mandi, baik keluarnya enak maupun tidak atau karena mengingat-ingat lalu keluar mani sebentar atau sesudahnya, maka mewajibkan mandi juga. Orang beonani termasukkan jenis ini.[6]
Hanafiyah
Kalau mani disebabkan terjadi ynang mewajibkan mandi karena enak, walaupun tidak bersenggama ada dua macam, yaitu:
*        Keluar mani dari kemaluan dengan terpencar dan enak bila seorang suami beradu kuduk dengan istrinya sehingga suami itu mengeluarkan mani, tapi tidak memasukkan kemaluan ke dalam kemaluan istrinya waktu itu maka ia wajib mandi.
Bila kemaluan telah lenyap dan merasa enak pada waktu air mani keluar atau bila mani keluar terasa enak, tapi ditahan dan kemudian ia keluar sesudah itu tanpa enak namun mewajibkan mandi.
Disyaratkan agar wajib mandi ialah bila mani telah keluar dari kantongnya dan keluar dengan jalur kemaluan. Bila mani tidak terpisah dari kantongnya dan tidak sampai keluar maka tidak mewajibkan mandi.
*        Apabila sebagian mani keluar sebab bersenggama atau lainnya sudah dia mandi sebelum buang air kecil atau beberpa lama kemudian mani terhenti. Sesudah mandi dalam keadaan begini, maka sisa-sisa mani keluar dengan terasa enak atau tidak enak, maka ia wajib mengulang mandi wajibnya. Dengan syarat bahwa dia tidak pernah buang air kecil sebelum mandi atau pergi atau dia tunggu-tunggu sebentar sesudah maninya keluar kali pertama.
Bila istri sudah mandi wajib karena bersenggama dengan suaminya, tapi sudah keluar maninya, maka dia tidak mengulang mandi wajibnya tadi. Mani yang keluar tanpa merasa enak karena sakit dan lain-lain, tidak mewajibkan mandi wajib.
Yang kedua, keluar mani dalam keadaan tidur, waktu bermimpi bersetubuh. Jadi, bila seseorang bermimpi seperti itu dan terlibat ada basah pada kain, badan atau pintu kemaluannya, maka dia wajib mandi. Lain halnya, bila yang membasahi itu tidak mani. Bila dia ragu-ragu apakah yang keluar mani atau madzi maka dia wajib mandi, baik dia merasakan dalam tidurnya enak atau tidak.
Hanafiyah
Bila seseorang ragu-ragu basah yang ditemuinya waktu bangun tidur mani atau madzi, maka billa sebelum tidur tadi ia berfikir-fikir atau melihat lawan jenisnya, maka dia tidak mandi wajib. Yang kelihatan itu dianggap madzi saja.  Tapi, bila ada sebab-sebab itu, maka dia wajib mandi.
Syafi’iyah
Bila seseorang ragu-ragu apakah basah yang ditemuinya mani atau madzzi, maka belum ada kepastian wajib mandi atasnya. Tapi yang lebih baik dianggapnya mani dan dia mandi wajib.
Bila diberatkan kepada madzi, maka dia membasuhnya dan berwudhu. Bila ijtihadnya berubah, maka dia mengikuti ijtihadnya yang kedua. Tapi sala yang dilakukannya atas dasar ijtihad pertama tadi tidak usah dibuang.[7]
3.      Mengeluarkan darah nifas dan haid
Yang mewajibkan mandi yang khusus untuk perempuan adalah haid dan nifas. Ini disepakati semua ulama fikih. Bila telah berhenti keluar dara haid atau nifas, maka wanita yang bersangkutan wajib mandi agar ia dapat shalat dan dapat bercampur dengan suaminya. Yang dinamakan nifas ialaha darah yang keluar dari kemaluan perempuan sesudah melahirkan anak, darah itu merupkan darah haid yang terkumpul, tidak keluar sewaktu perempuan itu mengandung.[8]
4.      Meninggal dunia
Orang muslim ataupun muslimah yang meninggal, maka fardhu kifayah atas muslimin yang hidup memandikannya. Lain halnya bila dia gugur syahid. Dia tidak wajib dimandikan. Mengenai ini, maka Hanafiyah berpendapat, bahwa disyaratkan tidak dimandikan itu ialah bila meninggalnya tidak untuk bernuat durhaka, yaitu tidak keluar dari mematuhi imamnya yang adil
5.      Masuk Islam dalam keadaan junub
Orang kafir yang masuk Islam dalam keadaan junub, maka diwajibkan atasnya mandi. Tapi bila pada waktu masuk Islam dia tidak junub maka dia tidak wajib mandi namun disunahkan agar mandi. Mengenai ini, Hanabilah berpendapat yaitu orang yang kafir kemudian masuk Islam wajib mandi lebih dahulu, baik dia sedang junub atau tidak.[9]
6.      Melahirkan
Baik anak yang dilahirkan itu cukup umur atau tidak, seperti keguguran.[10] Andaikata wanita itu seperti Fatimah Zahrah (anak Rasul SAW) yang tidak pernah haid kemudian dia melahirkan, maka dia wajib mandi karena melahirkan itu. Mengenai ini Hanabilah berpendapat, bahwa melahirkan tanpa mengeluarkan darah nifas, tidak mewajibkan mandi.
C.    Syarat Mandi Wajib
Syarat mandi wajib tiga macam, yaitu :
1)      Syarat wajib : mandi wajib karena jinabah atau siapa yang wajib berwudhu
2)      Syarat sah : sah mandi atas siapa yang sah wudhunya
3)      Syarat wajib dan syarat sah : bila tidak ada satu syarat pun, maka tidak wajib berwudhu dan wudhu itu sah walaupun dikerjakan juga
Berlain sebagian syarat mandi dengan syarat wudhu:
Islam
Ia tidak jadi syarat sah mandi kitabiyah (ahli kitab). Bila seorang muslim menikahi wanita kitabiyah dan telah habis masa haid atau nifasnya, mka suami itu tidak halal menyetubuhi istrinya tersebut sebelum istrinya mandi wajib. Pada waktu itu disyariatkan atasnya mandi walaupun ia wanita kitabiyah. Mengenai itu maka :
Hanafiyah
1)      Sebanyak-banyak masa haidialah lima belas hari dan masa nifas ialah 40 hari.
2)      Bila haid istri terhenti sesudah habis sepuluh hari dan darah nifas sesudah habis masa 40 hari dari masa melahirkan maka suaminya halal menyetubuhi, walaupun dia belum mandi wajib, baik istrinya muslimah ataupun kitabiyah.
3)      Tapi, bila darah itu berhenti kurang dari itu seperti sesudah 7 hari bagi haidnya dan nifasnya sesudah 30 hari atau kurang, maka tidak halal bagi suaminya menyetubuhinya, kecuali bila istrinya itu telah mandi wajib.
4)      Begitu pula bila istrinya telah berhutang satu shalat wajib. Umpama: dia harus mandi dalam waktu dzuhur, tapi dia tidak mandi juga, maka suaminya boleh menyetujuinya.
5)      Bila darah haidnya berhenti di ujung waktu dzuhur dan masih ada waktu untuk mandi wajib dan untuk takbiratul ihram dzuhur itu, barulah halal suaminya menyetubuhi istrinya itu bila waktu dzuhur telah habis.
6)      Bila waktu yang masih ada tidak cukup untuk mandi wajib dan takbiratul ihram, maka suaminya tidak boleh menyetubuhi istrinya kecuali bila dia telah mandi wajib atau telah lewat pula baginya seluruh waktu ashar dan emang tidak ada darah yang keluar lagi.[11]
Syafi’iyah  
Siapa yang akan berwudhu haruslah mumayyiz. Dengan demikian maka wudhu orang gila tidaklah sah. Tapi ini tidak menjadi syarat bagi mandi wajib. Bila istrinya itu sudah berhenti dari haidnya dan sudah mandi, serta dia mumayyiz maka suaminya halal menyetubuhinya.
Hanabilah
Disyaratkan agar istijmar (berwudhu dengan menggunakan batu) dan istinja’ (bersuci karena buang air besar/kecil), agar dilakukan sebelum berwudhu. Tapi, ia tidak disyaratkan mandi wajib.
D.    Fardlu / Rukun-rukun Mandi Wajib
Syafi’iyah
Fardlu mandi wajib ada lima macam, yaitu:
1)      Berniat meratakan tubuh kena air mandi da dengan menyiramkannya. Boleh juga emasang niat itu sesudah kering anggota badan, dalam waktu yang singkat. Berturut-turut membahasi anggota badan. Menyilangi semua rambut tubuh.
2)      Mulut, hidung, lubang telinga, dan mata tidak termasuk anggota tubuh. Jadi harus membasahi semua bagian yang terlihat dari tubuh. Adapun seperti berkumur-kumur, dan melansing air ke hidung hanyalah sunah.
3)      Berturut-turut dan disegerakan, sehingga belum kering yang dibasahi sebelumnya, yaitu bila bisa dilakukan demikian.
4)      Membasah semua bagian tubuh dengan air mandi, tidak mesti dengan tangan. Bila hendak menggosok sebagian badan dengan hasta atau salah satu kaki atas yang lain, maka memadai. Begitu pula boleh membasahi dngan menggunakan sapu tangan, tau seumpamanya. Itu sebelum tubuh kering. Jika dia tidak mampu melakukan demikian, maka gugurlah daripadanya tuntutan fadhu itu dan tidak usah orang lain yang menggosokkannya.
5)      Menyilang-nyilangi rambut. Adapun rambut jenggot yang tebal, terdapat khilafiyah sesama mereka yaitu sebagian mengatakan wajib dan sebagian mengatakan mandub.
Hanabilah
Fardhu mandi hanyalah satu saja, ialah memeratakan air mandi pada semua bagian tubuh yang mandi. Yang termasuk tubuh ialah mulut dan hidung. Oleh sebab itu maka wajib memasukkan air ke bagian dalam keduanya. Sama halnya dengan waktu berwudhu. Semua bulu atau rambut yang terdapat pada badan wajib membasahinya, lahir dan bathinnya. Bila ada ikatan rambut yang kuat dan tidak dapat masuk air ke dalamnya, maka wajib membuka ikatan itu. Adapun bagi wanita yang mandi junub, maka tidak wajib membuka sanggulnya, karena menyulitkannya, tapi wajib menggerak-gerakkannya sehingga air dapat masuk ke uratnya. Disunatkan agar dia membuka sanggulnya itu hanyalah dalam mandi wajib jinabah saja. Dalam mandi wajib sesudah haid wajib membuka sanggulnya kaena tidak menyulitkannya.
E.     Sunat Mandi Wajib, Mandub, dan Makruhnya
Hanafiyah
1)      Mulai dengan memasang niat dalam hati saja
2)      Membaca basmalah
3)      Membasuh kedua tangan sampai pergelangan tangan sampai tiga kali
4)      Membasuh kemaluan walau tidak bernajis
5)      Membuang najis yang melekat pada tubuh sebelum mandi
6)      Berwudhu seperti wudhu henda shalat
7)      Mulai membasuh kepala sebelum badan tiga kali
8)      Mengosok-gosok badan
9)      Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
10)  Meniga-niga kalikan
11)  Urutan kerja mandi seperti yang ada di atas ini
Syafi’iyah
1)      Membaca basmalah bersama dengan niat mandi
2)      Membasuh dua tangan sampai pergelangan tangan
3)      Berduduk secara sempurna sebelum mandi
4)      Berkumur-kumur
5)      Melansing air ke hidung, bila berwudhu sebelum mandi
6)      Bila wudhu batal sebelum mandi, maka disunahkan mengulanginya
7)      Berurutan
8)      Membasuh muka pertama
9)      Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
10)  Membuang najis yang melekat pada tubuh
11)  Menutup aurat walaupun mandi sendiri
12)  Meniga-niga kalikan basuhan, menyilangi rambut dan jari
13)  Tidak mencukur rambut sampai habis
14)  Memotong kuku sebelum mandi
15)  Semua yang terdapat dalam berwudhu
16)  Tidak meminta bantuan orang lain kecuali dalam keadaan udzur
17)  Menghadap ke kiblat
18)  Di tempat yang tidak diperciki air mandi
19)  Tidak menyebabkan basah anggota lain
20)  Tidak bicara kecuali dibutuhkan
21)  Wanita memasang kapas yang harus di dalam kemaluannya
22)  Membasuh bagian atas sebelum yang dibawahnya
23)  Berniat mengangkatkan hadats
Malikiyah
a)      Disunatkan
1)      Membasuh kedua tangan sampai ke pergelangan tangan
2)      Berkumur-kumur
3)      Memasukkan air dan melansingkannya ke hidung
4)      Menyapu jambang kedua telinga
b)      Dimandubkan
1)      Membaca basmalah pada permulaannya
2)      Mulai dengan najis yang di kemaluan dan bagian badan yang lain atau kotoan yang menghalangi masuk air ke kulit
3)      Mengerjakannya dalam keadaan suci
4)      Membasuh anggota wudhu tiga kali
5)      Membasuh bagian atas sebelum yang dibawahnya selain kemaluannya
6)      Meniga kalikan membasuh kepala
7)      Mendahulukan yang kanan dari yang kiri
8)      Menggunakan ai seperlunya saja (menghemat air)
9)      Memasang niat sampai selesai mandi
10)  Diam. Tapi hanya mengingat Allah, kecuali bila dibutuhkan
F.     Mandi-Mandi Yang Disunatkan
Hanafiyah
1)      Mandi pada hari jum’at bagi siapa yang akan pergi berjum’at, karena akan shalat itu dan bukan karena hari Jum’atnya. Bila seseorang mandi setelah shalat fajar dan kemudian dia berhadas lalu berwudhu dan shalt jum’at, maka sunat mandinya tidak dihargai.
2)      Mandi mau shalat ‘idain. Ia seperti mandi pada hari Jum’at pula, yaitu pergi untuk shalat ied dan bukan karena hari lebarannya.
3)      Mandi waktu akan berpakaian ihram haji dan umrah.
4)      Mandi karena wuquf di Arafah
Dimandubkan mandi mengenai dua puluh tiga hal, yaitu :
1)      Orang yang baru sembuh dari gila, pingsan atau mabuk.
2)      Bila menemukan basah pada celananya sehingga dia ragu-ragu apakah ia karena keluar mani atau madzi.
3)      Mandi sesudah berbakam
4)      Mandi malam separoh Sya’ban
5)      Mandi malam Arofah
6)      Mandi malam qadar
7)      Mandi pergihari Nahar, waktu wukuf di Muzdalifah.
8)      Mandi masuk Mina hendak melempar jumroh
9)      Mandi hendak masuk Mekah melakukan thawaf Ziarah Mekkah
10)  Mandi gerhana matahari
11)  Mandi gerhana bulan
12)  Mandi shalat istisqa’ waktu turun
13)  Mandi karena tadi sangat ketakutan
14)  Mandi karena sangat gelapnya malam
15)  Mandi karena angin keras sekali
16)  Mandi mau masuk kota Madinah
17)  Mandi karena hendak hadir dalam rapat atau berkumpul
18)  Mandi hendak memakai pakaian baru
19)  Mandi bagi yang selesai memandikan mayat
20)  Mandi karena sudah tobat kepda Allah SWT
21)  Mandi karena sudah masuk islam dan tidak junub
22)  Mandi bila sudah masuk islam dalam keadaan junub
23)  Mandi karena mimpi bersetubuh untuk permulaan baligh, sebenarnya ini wajib.
Catatan : 21-23 menurut sebagian Hanafiyah[12]
G.    Yang Diharamkan Atas Orang Junub Sebelum Mandi Wajib
Hanafiyah
1)      Haram membaca Al-Qur’an baik sedikit maupun banyak kecuali dalam dua hal, yaitu : untuk memulai suatu pekerjaan dengan membaca basmalah dan membaca ayat pendek untuk mendoakan Seseorang atau untuk menyanjungnya.
2)      Orang junub boleh masuk masjid kecuali bila terpaksa.
Syafi’iyah
1)      Haram membaca Al-Qur’an walaupun satu huruf saja (bila sengaja membaca ayat al-qur’an). Bila diniatkan untuk berdzikir atau trlanjur membbaca maka tidak haram.
2)      Orang berhadats besar boleh menetap di masjid karena darurat.
Hanabilah
1)      Orang berhadas besar tanpa uzur boleh membaca ayat pendek. Adapun yang lain kira-kira sepanjang itu pula. Lebih panjag dari itu haram membacanya waktu junub.
2)      Boleh membaca ayat al-qur’an sebagai zikir seperti dalam Q. S. Zukhruf ayat 13
3)      Boleh saja mondar mandir di masjid bagi orang junub, tapi tidak boleh untuk menetap.
4)      Orang haid dan orang nifas, walaupun sedang turun darahnya boleh lewat dengan syarat tidak mengotori
5)      Orang junub boleh menetap di masjid bila berwudhu walaupun tidak daurat
6)      Orang haid dan orang nifas tidak boleh menetap di masjid kecuali bila darahnya sudah terhenti.[13]
Malikiyah
1)      Tidak wajib orang junub membaca al-qur’an kecuali 2 syarat, yaitu: membentengi diri dari musuh seumpamanya dan untuk mengumumkan sebagian dalil dari hukum syara’.
2)      Orang junub boleh masuk masjid kecuali bila terpaksa atau darurat.
H.    Beberapa Hal Lain Yang Berkaitan Dengan Mandi Wajib
Beberapa hal yang sering dipertanyakan sekitar mandi wajib antara lain adalah sebagai berikut:
1)      Seseorang yang telah mandi wajib, tidak perlu lagi berwudhu sesudahnya, karena niat menghilangkan hadatsbesar dianggap sudah meliputi hadats kecil.
2)      Cukup mandi satu kali saja, meliputi mandi janabat, mandi jum’at dan mandi hari raya. Apabila seseorang meniatkan itu semua ketika memulai mandinya tersebut. Jadi tidak perlu mandi berkali-kali.
3)      Dibolehkan bagi seorang pria, bermandi wajib dari bekas mandi wajib wanita dan sebaliknya. Dan dibolehkan pula suami istri mandi dalam satu bejana.
4)      Tidak dibenarkan mandi di tempat terbuka atau di tengah-tengah khalayak, kecuali dengan menutup aurat.
5)      Dibolehkan menyeka air mandi atau wudhu dengan handuk dan sebagainya baik di musim panas atau dingin.
6)      Tidak ada larangan atas seorang yang junub atau wanita yang sedang haid memotong kuku, menghilangkan bulu atau rambut, dan keluar rumah.[14]
 IV.            KESIMPULAN
            Setelah membaca makalah yang saya buat tentang mandi wajib yang mana cabang dari thaharah, dapat diambil kesimpulan bahwasanya mandi wajib tidaklah seperti mandi yang biasa kita lakukan dalam keseharian kita. Namun mandi untuk menghilangkan hadats besar yang ada pada diri kita dan dalam sebuah moment yang khusus pula. Mandi wajib dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dengan tetap mengikuti madzhab yang baik dan benar juga tidak melenceng dari syariat Islam serta yang melakukan pun merasa nyaman melakukannya.
            Berbagai pokok permasalahan telah dikaji di atas sebagaimana hakikat mandi besar itu sendiri. Mandi besar berkaitan erat dengan berwudhu.
    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya.
Dan akhirnya pemakalah mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan, baik dalam sistematika penulisan, isi dalam pembahasan maupun dalam hal penyampaian materi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemkalah sendiri khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya dalam kehidupan ini. Amin.


DAFTAR PUSTAKA
·         Al-Habsyi, Muhammad Bagir, Fiqh Praktis I Menurut Al-Qur’an, As-Sunah Dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan Pustaka, 2005
·         Al-Jamal, Ibrahim Muhammad, Fiqh Wanita, Semarang : Asy-Syifa, 1986
·         Jariri, Abdur Rahman, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Madzaahibil Arba’ati, Beirut : Darul Fikri, 1989
·         Masyhur, Kahar, Salat Wajib Menurut Madzhab Yang Empat, Jakarta : Rineka Cipta, 2004
·         Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Bandar Lampung : PT. Sinar Baru Algensindo, 1986
·         Sabiq, Sayyid, Fiqh As-Sunah Jilid 1 Al-Ibadah: Cet 1, Cairo, Mesir: Dar Al Fikr, 1977
·         Thib Raya, Ahmad Dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, Bogor: Kencana, 2003


[1] Ahmad Thib Raya Dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam, Bogor: Kencana, 2003, Hal 120
[2] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandar Lampung : PT. Sinar Baru Algensindo, 1986, hal. 34
[3] Kahar Masyhur, Salat Wajib Menurut Madzhab Yang Empat, Jakarta : Rineka Cipta, 2004, hal. 95
[4] Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Wanita, Semarang : Asy-Syifa, 1986, hal 74
[5] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqh Praktis I Menurut Al-Qur’an, As-Sunah Dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan Pustaka, 2005, Hal 81
[6] Kahar Masyhur, Op. Cit., hal 98
[7] Kahar Masyhur, Ibid, hal 99
[8] Sulaiman Rasyid, Op. Cit, hal 36
[9] Abdur Rahman Jariri, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Madzaahibil Arba’ati, Beirut : Darul Fikri, 1989, Hal 109
[10] Sulaiman Rasyid, Op. Cit, hal 37
[11] Abdur Rahman Jariri, Op. Cit., hal 110
[12] Kahar Masyhur, Op. Cit., hal 104-109
[13] Abdur Rahman Jariri, Op. Cit., hal 122
[14] Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunah Jilid 1 Al-Ibadah: Cet 1, Cairo, Mesir: Dar Al Fikr, 1977, Hal 65

No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...