THAHARAH : MANDI WAJIB
I.
PENDAHULUAN
Thaharah menurut pengertian bahasa berarti “suci/kesucian” atau
‘bersih/kebersihan”. Kata ini mengandung pengertian yang lebih luas, yaitu
mencakup kebersihan atau kesucian dari segala kotoran yang bersifat fisik
(material), seperti kencing dan kotoran, maupun secara hukum seperti berhadats.
Seseorang dikatakan bersih dari hadats, apabila telah mandi dan berwudhu.
Seseorang yang dalam keadaan junub disebut kotor secara hukum karena dia belum
mandi wajib. Dia disebut bersih apabila ia telah mandi. Mandi adalah cara untuk
membersihkan badan dari junub (hadats besar). Seseorang juga dipandang kotor
secara hukum, apabila ia belum berwudhu. Seseorang yang sudah berwudhu sudah
dipandang bersih menurut hukum. Wudhu adalah cara untuk membersihkan badan dari
kotoran (hadats kecil).[1]
II.
PERMASALAHAN
a.
Mandi
Wajib
b.
Sebab-Sebab
Wajib Mandi
c.
Syarat
Mandi Wajib
d.
Fardlu
/ Rukun-rukun Mandi Wajib
e.
Sunat
Mandi Wajib, Mandub, dan Makruhnya
f.
Mandi-Mandi
Yang Disunatkan
g.
Yang
Diharamkan Atas Orang Junub Sebelum Mandi Wajib
h.
Beberapa
Hal Lain Yang Berkaitan Dengan Mandi Wajib
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mandi Wajib
Yang dimaksud dengan ‘mandi’ disini ialah mengalirkan air ke
seluruh badan dengan niat.[2]
Yang dinamakan mandi menurut istilah fikih ialah menggunakan air atas semua
bagian badan menurut cara-cara tertentu.[3]
Mandi wajib bagi perempuan adalah persis seperti mandinya lelaki, yaitu dengan
mratakan air ke sekujur tubuhhanya saja ketika mandi sehabis haid atau nifas,
maka berkas-berkas darah harus dibersihkn sama sekali dengan bahan yang baunya
mengalahkan bau darah.[4]
Firman Allah SWT dalam Q. S. Al-Maaidah : 6
Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu
sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu
tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih);
sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan
kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.
B.
Sebab-Sebab Wajib Mandi
Sebab-sebab wajib mandi ada enam, diantaranya biasa terjadi pada
laki-laki dan perempuan dan ada lagi tertentu atau khusus pada perempuan saja,
diantaranya adalah:
1.
Memasukkan
kemaluan ke dalam kemaluan lawan
Memasukkan kepala kemaluan ke dalam lubang kemaluan depan maupun
kemaluan belakang, baik sampai mengeluarkan mani atau tidak, secara terperinci
untuk ini mempunyai beberapa syarat, yaitu:
Hanafiyah
Bila kepala kemaluan telah masuk baik sebagian saja ke dalam
kemaluan depan maupun belakang yang disetubuhi tanpa batas yang panjang
sehingga tidak menghalangi perasaan panas, maka telah mewajibkan mandi, baik
yang melakukan dan yang diperlakukan, dengan mengeluarkan mani ataupun tidak.
Disyaratkan, kalau salah satu seseorang telah baligh dan yang lain
belum baligh maka yang wajib mandi adalahatas yang telah baligh. Andaikata dua
orang yang khuntsa (ada tanda laki-laki dan tanda perempuan padanya)
bersetubuh, maka yang wajib mandi ialah yang telah baligh pula. Yang belum
baligh dianjurkan agar mandi.
Syafi’iyah
Sama dengan pada Hanafiyah di atas ini, kecuali diwajibkan atas
wali agar menyuruh anak asuhnya mandi. Bila anak itu telah melakukannya maka
sudah memadai. Tapi, bila tidak mau, maka ia wajib mandi pada waktu baligh.
Cara ini berlaku pada manusia atau binatang yang masih hidup atau telah mati.
Syaratnya ialah bila masuk ke lubang kemaluan lawannya. Bila di pinggirnya
saja, maka baru wajib mandi bila ada mengeluarkan mani.
Malikiyah
Wajib mandi dengan memasukkan ujung kemaluan ke dalam kemaluan
lawannya, baik yang depan atau yang belakang, baik ia manusia ataupun binatang,
baik masih hidup atau sudah meninggal atau mati. Bila seorang wanita yang sudah
baligh disetubuhi dengan yang belum baligh dan belum mengeluarkan mani, maka
tidak mewajibkan mandi.
Bila mani keluar setelah hilang rasa enak yang biasa, tanpa
bersetubuh maka mewajibkan mandi, baik keluarnya sesudah mandi atau sebelumnya.
Tapi, bila rasa enak itu pada bersetubuh dan turun mani sesudah hilang rasa
enaknya dan bila sebelum tuun ini ia sudah mandi, maka ia tidak wajib mengulang
mandinya.[5]
Hanabilah
Tidak disyaratkan untuk mewajbkan mandi keluar mani, tapi hanya bila
ia seorang laki-laki telah merasa bahwa maninya sudah terpisah dari sulbinya.
Begitu pula bila wanita telah merasakan bahwa maninya sudah terpisah dari
tulang dadanya, tempat ia menggantungkan dukuh dan yang lainnya. Jadi, tidak
disyaratkan agar mani telah keluar dari
kemaluan depannya, sehingga bila seseorang yang bersetubuh tidak mengeluarkan
maninya waktu itu tapi keluar setelah ia mandi wajib maka ia harus mengulang
mandi wajibnya kembali. Syaratnya bila ia merasa enak waktu keluarnya. Bila
tidak maka yang ia lakukan ialah berwudhu saja. Begitu pula bila mani keluar
disebabkan kena pukulan atau karena sakit.
2.
Keluar
mani dari laki-laki dan perempuan
Keluar mani ada dua macam, yaitu: (1) Pada waktu bangun dan (2)
pada waktu tidur. Yang pertama ini adalah yang keluar tanpa bersenggama,
tapi masih merasa enak. Ada yang karena sakit atau kepedihan. Bila keluarnya
karena suatu cara, bersentuhan kulit, mencium atau beradu kudud (mu’anaqoh
orang Arab), melihat, mengingat, seumpamanya, mewajibkan mandi, baik keluarnya
enak maupun tidak atau karena mengingat-ingat lalu keluar mani sebentar atau
sesudahnya, maka mewajibkan mandi juga. Orang beonani termasukkan jenis ini.[6]
Hanafiyah
Kalau mani disebabkan terjadi ynang mewajibkan mandi karena enak,
walaupun tidak bersenggama ada dua macam, yaitu:
*
Keluar
mani dari kemaluan dengan terpencar dan enak bila seorang suami beradu kuduk
dengan istrinya sehingga suami itu mengeluarkan mani, tapi tidak memasukkan
kemaluan ke dalam kemaluan istrinya waktu itu maka ia wajib mandi.
Bila kemaluan telah lenyap dan merasa enak pada waktu air mani
keluar atau bila mani keluar terasa enak, tapi ditahan dan kemudian ia keluar
sesudah itu tanpa enak namun mewajibkan mandi.
Disyaratkan agar wajib mandi ialah bila mani telah keluar dari
kantongnya dan keluar dengan jalur kemaluan. Bila mani tidak terpisah dari
kantongnya dan tidak sampai keluar maka tidak mewajibkan mandi.
*
Apabila
sebagian mani keluar sebab bersenggama atau lainnya sudah dia mandi sebelum
buang air kecil atau beberpa lama kemudian mani terhenti. Sesudah mandi dalam
keadaan begini, maka sisa-sisa mani keluar dengan terasa enak atau tidak enak,
maka ia wajib mengulang mandi wajibnya. Dengan syarat bahwa dia tidak pernah
buang air kecil sebelum mandi atau pergi atau dia tunggu-tunggu sebentar
sesudah maninya keluar kali pertama.
Bila istri sudah mandi wajib karena bersenggama dengan suaminya,
tapi sudah keluar maninya, maka dia tidak mengulang mandi wajibnya tadi. Mani
yang keluar tanpa merasa enak karena sakit dan lain-lain, tidak mewajibkan
mandi wajib.
Yang kedua, keluar mani dalam keadaan tidur, waktu bermimpi
bersetubuh. Jadi, bila seseorang bermimpi seperti itu dan terlibat ada basah
pada kain, badan atau pintu kemaluannya, maka dia wajib mandi. Lain halnya,
bila yang membasahi itu tidak mani. Bila dia ragu-ragu apakah yang keluar mani
atau madzi maka dia wajib mandi, baik dia merasakan dalam tidurnya enak atau
tidak.
Hanafiyah
Bila seseorang ragu-ragu basah yang ditemuinya waktu bangun tidur
mani atau madzi, maka billa sebelum tidur tadi ia berfikir-fikir atau melihat
lawan jenisnya, maka dia tidak mandi wajib. Yang kelihatan itu dianggap madzi
saja. Tapi, bila ada sebab-sebab itu,
maka dia wajib mandi.
Syafi’iyah
Bila seseorang ragu-ragu apakah basah yang ditemuinya mani atau
madzzi, maka belum ada kepastian wajib mandi atasnya. Tapi yang lebih baik
dianggapnya mani dan dia mandi wajib.
Bila diberatkan kepada madzi, maka dia membasuhnya dan berwudhu.
Bila ijtihadnya berubah, maka dia mengikuti ijtihadnya yang kedua. Tapi sala
yang dilakukannya atas dasar ijtihad pertama tadi tidak usah dibuang.[7]
3.
Mengeluarkan
darah nifas dan haid
Yang mewajibkan mandi yang khusus untuk perempuan adalah haid dan
nifas. Ini disepakati semua ulama fikih. Bila telah berhenti keluar dara haid
atau nifas, maka wanita yang bersangkutan wajib mandi agar ia dapat shalat dan
dapat bercampur dengan suaminya. Yang dinamakan nifas ialaha darah yang keluar
dari kemaluan perempuan sesudah melahirkan anak, darah itu merupkan darah haid
yang terkumpul, tidak keluar sewaktu perempuan itu mengandung.[8]
4.
Meninggal
dunia
Orang muslim ataupun muslimah yang meninggal, maka fardhu kifayah
atas muslimin yang hidup memandikannya. Lain halnya bila dia gugur syahid. Dia
tidak wajib dimandikan. Mengenai ini, maka Hanafiyah berpendapat, bahwa
disyaratkan tidak dimandikan itu ialah bila meninggalnya tidak untuk bernuat
durhaka, yaitu tidak keluar dari mematuhi imamnya yang adil
5.
Masuk
Islam dalam keadaan junub
Orang kafir yang masuk Islam dalam keadaan junub, maka diwajibkan atasnya
mandi. Tapi bila pada waktu masuk Islam dia tidak junub maka dia tidak wajib
mandi namun disunahkan agar mandi. Mengenai ini, Hanabilah berpendapat
yaitu orang yang kafir kemudian masuk Islam wajib mandi lebih dahulu, baik dia
sedang junub atau tidak.[9]
6.
Melahirkan
Baik anak yang dilahirkan itu cukup umur atau tidak, seperti
keguguran.[10]
Andaikata wanita itu seperti Fatimah Zahrah (anak Rasul SAW) yang tidak pernah
haid kemudian dia melahirkan, maka dia wajib mandi karena melahirkan itu.
Mengenai ini Hanabilah berpendapat, bahwa melahirkan tanpa mengeluarkan
darah nifas, tidak mewajibkan mandi.
C.
Syarat Mandi Wajib
Syarat mandi wajib tiga macam, yaitu :
1)
Syarat
wajib : mandi wajib karena jinabah atau siapa yang wajib berwudhu
2)
Syarat
sah : sah mandi atas siapa yang sah wudhunya
3)
Syarat
wajib dan syarat sah : bila tidak ada satu syarat pun, maka tidak wajib
berwudhu dan wudhu itu sah walaupun dikerjakan juga
Berlain sebagian syarat mandi dengan syarat wudhu:
Islam
Ia tidak jadi syarat sah mandi kitabiyah (ahli kitab). Bila seorang
muslim menikahi wanita kitabiyah dan telah habis masa haid atau nifasnya, mka
suami itu tidak halal menyetubuhi istrinya tersebut sebelum istrinya mandi
wajib. Pada waktu itu disyariatkan atasnya mandi walaupun ia wanita kitabiyah.
Mengenai itu maka :
Hanafiyah
1)
Sebanyak-banyak
masa haidialah lima belas hari dan masa nifas ialah 40 hari.
2)
Bila
haid istri terhenti sesudah habis sepuluh hari dan darah nifas sesudah habis
masa 40 hari dari masa melahirkan maka suaminya halal menyetubuhi, walaupun dia
belum mandi wajib, baik istrinya muslimah ataupun kitabiyah.
3)
Tapi,
bila darah itu berhenti kurang dari itu seperti sesudah 7 hari bagi haidnya dan
nifasnya sesudah 30 hari atau kurang, maka tidak halal bagi suaminya
menyetubuhinya, kecuali bila istrinya itu telah mandi wajib.
4)
Begitu
pula bila istrinya telah berhutang satu shalat wajib. Umpama: dia harus mandi
dalam waktu dzuhur, tapi dia tidak mandi juga, maka suaminya boleh
menyetujuinya.
5)
Bila
darah haidnya berhenti di ujung waktu dzuhur dan masih ada waktu untuk mandi
wajib dan untuk takbiratul ihram dzuhur itu, barulah halal suaminya menyetubuhi
istrinya itu bila waktu dzuhur telah habis.
6)
Bila
waktu yang masih ada tidak cukup untuk mandi wajib dan takbiratul ihram, maka
suaminya tidak boleh menyetubuhi istrinya kecuali bila dia telah mandi wajib
atau telah lewat pula baginya seluruh waktu ashar dan emang tidak ada darah
yang keluar lagi.[11]
Syafi’iyah
Siapa yang akan berwudhu haruslah mumayyiz. Dengan demikian maka
wudhu orang gila tidaklah sah. Tapi ini tidak menjadi syarat bagi mandi wajib.
Bila istrinya itu sudah berhenti dari haidnya dan sudah mandi, serta dia
mumayyiz maka suaminya halal menyetubuhinya.
Hanabilah
Disyaratkan agar istijmar (berwudhu dengan menggunakan batu) dan
istinja’ (bersuci karena buang air besar/kecil), agar dilakukan sebelum
berwudhu. Tapi, ia tidak disyaratkan mandi wajib.
D.
Fardlu / Rukun-rukun Mandi Wajib
Syafi’iyah
Fardlu mandi wajib ada lima macam, yaitu:
1)
Berniat
meratakan tubuh kena air mandi da dengan menyiramkannya. Boleh juga emasang
niat itu sesudah kering anggota badan, dalam waktu yang singkat. Berturut-turut
membahasi anggota badan. Menyilangi semua rambut tubuh.
2)
Mulut,
hidung, lubang telinga, dan mata tidak termasuk anggota tubuh. Jadi harus
membasahi semua bagian yang terlihat dari tubuh. Adapun seperti berkumur-kumur,
dan melansing air ke hidung hanyalah sunah.
3)
Berturut-turut
dan disegerakan, sehingga belum kering yang dibasahi sebelumnya, yaitu bila
bisa dilakukan demikian.
4)
Membasah
semua bagian tubuh dengan air mandi, tidak mesti dengan tangan. Bila hendak
menggosok sebagian badan dengan hasta atau salah satu kaki atas yang lain, maka
memadai. Begitu pula boleh membasahi dngan menggunakan sapu tangan, tau
seumpamanya. Itu sebelum tubuh kering. Jika dia tidak mampu melakukan demikian,
maka gugurlah daripadanya tuntutan fadhu itu dan tidak usah orang lain yang
menggosokkannya.
5)
Menyilang-nyilangi
rambut. Adapun rambut jenggot yang tebal, terdapat khilafiyah sesama mereka
yaitu sebagian mengatakan wajib dan sebagian mengatakan mandub.
Hanabilah
Fardhu mandi hanyalah satu saja, ialah memeratakan air mandi pada
semua bagian tubuh yang mandi. Yang termasuk tubuh ialah mulut dan hidung. Oleh
sebab itu maka wajib memasukkan air ke bagian dalam keduanya. Sama halnya
dengan waktu berwudhu. Semua bulu atau rambut yang terdapat pada badan wajib
membasahinya, lahir dan bathinnya. Bila ada ikatan rambut yang kuat dan tidak
dapat masuk air ke dalamnya, maka wajib membuka ikatan itu. Adapun bagi wanita
yang mandi junub, maka tidak wajib membuka sanggulnya, karena menyulitkannya,
tapi wajib menggerak-gerakkannya sehingga air dapat masuk ke uratnya.
Disunatkan agar dia membuka sanggulnya itu hanyalah dalam mandi wajib jinabah
saja. Dalam mandi wajib sesudah haid wajib membuka sanggulnya kaena tidak
menyulitkannya.
E.
Sunat Mandi Wajib, Mandub, dan Makruhnya
Hanafiyah
1)
Mulai
dengan memasang niat dalam hati saja
2)
Membaca
basmalah
3)
Membasuh
kedua tangan sampai pergelangan tangan sampai tiga kali
4)
Membasuh
kemaluan walau tidak bernajis
5)
Membuang
najis yang melekat pada tubuh sebelum mandi
6)
Berwudhu
seperti wudhu henda shalat
7)
Mulai
membasuh kepala sebelum badan tiga kali
8)
Mengosok-gosok
badan
9)
Mendahulukan
yang kanan dari yang kiri
10)
Meniga-niga
kalikan
11)
Urutan
kerja mandi seperti yang ada di atas ini
Syafi’iyah
1)
Membaca
basmalah bersama dengan niat mandi
2)
Membasuh
dua tangan sampai pergelangan tangan
3)
Berduduk
secara sempurna sebelum mandi
4)
Berkumur-kumur
5)
Melansing
air ke hidung, bila berwudhu sebelum mandi
6)
Bila
wudhu batal sebelum mandi, maka disunahkan mengulanginya
7)
Berurutan
8)
Membasuh
muka pertama
9)
Mendahulukan
yang kanan dari yang kiri
10)
Membuang
najis yang melekat pada tubuh
11)
Menutup
aurat walaupun mandi sendiri
12)
Meniga-niga
kalikan basuhan, menyilangi rambut dan jari
13)
Tidak
mencukur rambut sampai habis
14)
Memotong
kuku sebelum mandi
15)
Semua
yang terdapat dalam berwudhu
16)
Tidak
meminta bantuan orang lain kecuali dalam keadaan udzur
17)
Menghadap
ke kiblat
18)
Di
tempat yang tidak diperciki air mandi
19)
Tidak
menyebabkan basah anggota lain
20)
Tidak
bicara kecuali dibutuhkan
21)
Wanita
memasang kapas yang harus di dalam kemaluannya
22)
Membasuh
bagian atas sebelum yang dibawahnya
23)
Berniat
mengangkatkan hadats
Malikiyah
a)
Disunatkan
1)
Membasuh
kedua tangan sampai ke pergelangan tangan
2)
Berkumur-kumur
3)
Memasukkan
air dan melansingkannya ke hidung
4)
Menyapu
jambang kedua telinga
b)
Dimandubkan
1)
Membaca
basmalah pada permulaannya
2)
Mulai
dengan najis yang di kemaluan dan bagian badan yang lain atau kotoan yang
menghalangi masuk air ke kulit
3)
Mengerjakannya
dalam keadaan suci
4)
Membasuh
anggota wudhu tiga kali
5)
Membasuh
bagian atas sebelum yang dibawahnya selain kemaluannya
6)
Meniga
kalikan membasuh kepala
7)
Mendahulukan
yang kanan dari yang kiri
8)
Menggunakan
ai seperlunya saja (menghemat air)
9)
Memasang
niat sampai selesai mandi
10)
Diam.
Tapi hanya mengingat Allah, kecuali bila dibutuhkan
F.
Mandi-Mandi Yang Disunatkan
Hanafiyah
1)
Mandi
pada hari jum’at bagi siapa yang akan pergi berjum’at, karena akan shalat itu
dan bukan karena hari Jum’atnya. Bila seseorang mandi setelah shalat fajar dan
kemudian dia berhadas lalu berwudhu dan shalt jum’at, maka sunat mandinya tidak
dihargai.
2)
Mandi
mau shalat ‘idain. Ia seperti mandi pada hari Jum’at pula, yaitu pergi untuk
shalat ied dan bukan karena hari lebarannya.
3)
Mandi
waktu akan berpakaian ihram haji dan umrah.
4)
Mandi
karena wuquf di Arafah
Dimandubkan mandi mengenai dua puluh tiga hal, yaitu :
1)
Orang
yang baru sembuh dari gila, pingsan atau mabuk.
2)
Bila
menemukan basah pada celananya sehingga dia ragu-ragu apakah ia karena keluar
mani atau madzi.
3)
Mandi
sesudah berbakam
4)
Mandi
malam separoh Sya’ban
5)
Mandi
malam Arofah
6)
Mandi
malam qadar
7)
Mandi
pergihari Nahar, waktu wukuf di Muzdalifah.
8)
Mandi
masuk Mina hendak melempar jumroh
9)
Mandi
hendak masuk Mekah melakukan thawaf Ziarah Mekkah
10)
Mandi
gerhana matahari
11)
Mandi
gerhana bulan
12)
Mandi
shalat istisqa’ waktu turun
13)
Mandi
karena tadi sangat ketakutan
14)
Mandi
karena sangat gelapnya malam
15)
Mandi
karena angin keras sekali
16)
Mandi
mau masuk kota Madinah
17)
Mandi
karena hendak hadir dalam rapat atau berkumpul
18)
Mandi
hendak memakai pakaian baru
19)
Mandi
bagi yang selesai memandikan mayat
20)
Mandi
karena sudah tobat kepda Allah SWT
21)
Mandi
karena sudah masuk islam dan tidak junub
22)
Mandi
bila sudah masuk islam dalam keadaan junub
23)
Mandi
karena mimpi bersetubuh untuk permulaan baligh, sebenarnya ini wajib.
Catatan : 21-23 menurut sebagian Hanafiyah[12]
G.
Yang Diharamkan Atas Orang Junub Sebelum Mandi Wajib
Hanafiyah
1)
Haram
membaca Al-Qur’an baik sedikit maupun banyak kecuali dalam dua hal, yaitu :
untuk memulai suatu pekerjaan dengan membaca basmalah dan membaca ayat pendek
untuk mendoakan Seseorang atau untuk menyanjungnya.
2)
Orang
junub boleh masuk masjid kecuali bila terpaksa.
Syafi’iyah
1)
Haram
membaca Al-Qur’an walaupun satu huruf saja (bila sengaja membaca ayat
al-qur’an). Bila diniatkan untuk berdzikir atau trlanjur membbaca maka tidak
haram.
2)
Orang
berhadats besar boleh menetap di masjid karena darurat.
Hanabilah
1)
Orang
berhadas besar tanpa uzur boleh membaca ayat pendek. Adapun yang lain kira-kira
sepanjang itu pula. Lebih panjag dari itu haram membacanya waktu junub.
2)
Boleh
membaca ayat al-qur’an sebagai zikir seperti dalam Q. S. Zukhruf ayat 13
3)
Boleh
saja mondar mandir di masjid bagi orang junub, tapi tidak boleh untuk menetap.
4)
Orang
haid dan orang nifas, walaupun sedang turun darahnya boleh lewat dengan syarat
tidak mengotori
5)
Orang
junub boleh menetap di masjid bila berwudhu walaupun tidak daurat
6)
Orang
haid dan orang nifas tidak boleh menetap di masjid kecuali bila darahnya sudah
terhenti.[13]
Malikiyah
1)
Tidak
wajib orang junub membaca al-qur’an kecuali 2 syarat, yaitu: membentengi diri
dari musuh seumpamanya dan untuk mengumumkan sebagian dalil dari hukum syara’.
2)
Orang
junub boleh masuk masjid kecuali bila terpaksa atau darurat.
H.
Beberapa Hal Lain Yang Berkaitan Dengan Mandi Wajib
Beberapa hal yang sering dipertanyakan sekitar mandi wajib antara
lain adalah sebagai berikut:
1)
Seseorang
yang telah mandi wajib, tidak perlu lagi berwudhu sesudahnya, karena niat
menghilangkan hadatsbesar dianggap sudah meliputi hadats kecil.
2)
Cukup
mandi satu kali saja, meliputi mandi janabat, mandi jum’at dan mandi hari raya.
Apabila seseorang meniatkan itu semua ketika memulai mandinya tersebut. Jadi
tidak perlu mandi berkali-kali.
3)
Dibolehkan
bagi seorang pria, bermandi wajib dari bekas mandi wajib wanita dan sebaliknya.
Dan dibolehkan pula suami istri mandi dalam satu bejana.
4)
Tidak
dibenarkan mandi di tempat terbuka atau di tengah-tengah khalayak, kecuali
dengan menutup aurat.
5)
Dibolehkan
menyeka air mandi atau wudhu dengan handuk dan sebagainya baik di musim panas
atau dingin.
6)
Tidak
ada larangan atas seorang yang junub atau wanita yang sedang haid memotong
kuku, menghilangkan bulu atau rambut, dan keluar rumah.[14]
IV.
KESIMPULAN
Setelah membaca
makalah yang saya buat tentang mandi wajib yang mana cabang dari thaharah,
dapat diambil kesimpulan bahwasanya mandi wajib tidaklah seperti mandi yang
biasa kita lakukan dalam keseharian kita. Namun mandi untuk menghilangkan
hadats besar yang ada pada diri kita dan dalam sebuah moment yang khusus pula.
Mandi wajib dapat dilakukan dengan berbagai macam cara dengan tetap mengikuti
madzhab yang baik dan benar juga tidak melenceng dari syariat Islam serta yang
melakukan pun merasa nyaman melakukannya.
Berbagai pokok
permasalahan telah dikaji di atas sebagaimana hakikat mandi besar itu sendiri. Mandi
besar berkaitan erat dengan berwudhu.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya
sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Untuk itu saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
selanjutnya.
Dan akhirnya pemakalah mohon maaf
apabila terdapat banyak kesalahan, baik dalam sistematika penulisan, isi dalam
pembahasan maupun dalam hal penyampaian materi. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pemkalah sendiri khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada
umumnya dalam kehidupan ini. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
·
Al-Habsyi,
Muhammad Bagir, Fiqh Praktis I Menurut Al-Qur’an, As-Sunah Dan Pendapat Para
Ulama, Bandung: Mizan Pustaka, 2005
·
Al-Jamal,
Ibrahim Muhammad, Fiqh Wanita, Semarang : Asy-Syifa, 1986
·
Jariri,
Abdur Rahman, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Madzaahibil Arba’ati, Beirut : Darul
Fikri, 1989
·
Masyhur,
Kahar, Salat Wajib Menurut Madzhab Yang Empat, Jakarta : Rineka Cipta,
2004
·
Rasyid,
Sulaiman, Fiqh Islam, Bandar Lampung : PT. Sinar Baru Algensindo, 1986
·
Sabiq,
Sayyid, Fiqh As-Sunah Jilid 1 Al-Ibadah: Cet 1, Cairo, Mesir: Dar Al
Fikr, 1977
·
Thib
Raya, Ahmad Dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam,
Bogor: Kencana, 2003
[1]
Ahmad Thib Raya Dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam
Islam, Bogor: Kencana, 2003, Hal 120
[2]
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandar Lampung : PT. Sinar Baru Algensindo,
1986, hal. 34
[3]
Kahar Masyhur, Salat Wajib Menurut Madzhab Yang Empat, Jakarta : Rineka
Cipta, 2004, hal. 95
[4]
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Wanita, Semarang : Asy-Syifa, 1986, hal
74
[5]
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqh Praktis I Menurut Al-Qur’an, As-Sunah Dan
Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan Pustaka, 2005, Hal 81
[6]
Kahar Masyhur, Op. Cit., hal 98
[7]
Kahar Masyhur, Ibid, hal 99
[8]
Sulaiman Rasyid, Op. Cit, hal 36
[9]
Abdur Rahman Jariri, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Madzaahibil Arba’ati, Beirut : Darul
Fikri, 1989, Hal 109
[10]
Sulaiman Rasyid, Op. Cit, hal 37
[11]
Abdur Rahman Jariri, Op. Cit., hal 110
[12]
Kahar Masyhur, Op. Cit., hal 104-109
[13]
Abdur Rahman Jariri, Op. Cit., hal 122
[14]
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunah Jilid 1 Al-Ibadah: Cet 1, Cairo, Mesir: Dar Al
Fikr, 1977, Hal 65
No comments:
Post a Comment