Tuesday, February 25, 2014

ILMU KEBUDAYAAN JAWA



       I.            PENDAHULUAN
Peradaban manusia Jawa yang asli atau tulen sendiri sudah sangat tua. Disebut Jawa Asli atau Jawa Tulen karena pada saat itu kebudayaan, tradisi bahkan Agama yang dianut oleh masyarakat Jawa sama sekali belum terkena pengaruh-pengaruh dari luar.  
Dalam peradaban manusia Jawa yang asli/tulen, kehidupan masyarakatnya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan Jawa yang kita kenal sekarang ini; selain karena penduduknya masih sangat sedikit, sehingga relasi-relasi yang dijalankan oleh masyarakat Jawa Asli dalam kehidupannya hanyalah dengan alam dan kepada sang Pencipta.
Meskipun hubungan antara sesama dan Pencipta tampak sederhana, namun tidak demikian faktanya. Menurut budayawan Hanung Triyono, Sastra Jawa yang ada di dalam masyarakat Jawa asli mempunyai beberapa tingkatan serta ragam yang berbeda pada tiap tingkatannya. Banyaknya tingkatan dalam bahasa Jawa untuk ibadah ini menunjukkan bahwa pola hubungan masyarakat Jawa dengan Sang Penciptanya pada masa itu lebih kompleks . Tentu saja, pola ibadah ini sesuai dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada jaman itu.

    II.            PERMASALAHAN
1.      Budaya Masyarakat Jawa
2.      Akar Kepercayaan Jawa Kuno
3.      Kepercayaan Animisme Jawa
4.      Kepercayaan Dinamisme Jawa

 III.            PEMBAHASAN

1.      Budaya Masyarakat Jawa

Masyarakat Jawa merupakan satu kesatuan masyarakat yan diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini dapat dilihat dalam ciri-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan.
System hidup kekeluargaan di  Jawa tergambar dalam kekerabatan masyarakat Jawa. Jika kita memperhatikan kosa kata kekerabatan, tampaklah bahwa istilah yang sama dipakai untuk menyebut nenek moyang, baik pada tingkatan ketiga maupun keturunan pada generasi ketiga dengan aku sebagai acuan. Jadi buyut bias jadi ayahnya kakek, maupun anaknya cucu, dan seterusnya (wareng, udeg-udeg, gantung siwur, gropak sente, debog bosok) sampai generasi kesepuluh dimana galih asem dapat menunjukkan baik nenek moyang maupun keturunan jauh.[1]
Di Jawa, anak-anak sering dibesarkan oleh saudara-saudara, orang tua mereka, bahkan oleh tetangga dan anak acapkali diangkat. Hukum adat menuntut setiap orang laki-laki bertangungjawab atas keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu kerabat lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan lingkungan perkuburan dan yang lainnya. Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian hidup tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi petembayatan yang kuat dan mendasar. Pengolahan tanah lahan pertanian sampai waktu panen diselenggarakan secara bergotong-royong, saling menolong. Hal ini masih berlaku hingga saat ini dalam system musyawarah adat desa yang disebut rembug desa.[2]
Secara sosial-ekonomis masyarakat Jawa dibedakan menjadi dua golongan, wong cilik (orang kecil), yaitu sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan rendah, dan kaum priyayi, yaitu golongan pegawai dan orang-orang yang dianggap berpendidikan (kaum intelektual).[3]

2.      Akar Kepercayaan Jawa Kuno

Situasi kehidupan religius sebelum agama Islam tiba di tanah Jawa memang pada kenyataannya memang sudah majemuk. Beberapa agama, baik yang impor maupun yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindhuisme dan Budhaisme yang diimpor dari negeri India masuk, bahkan sejak masa prasejarah, agaknya orang-orang Jawa telah menganut agama asli yang bercorak animistic-dinamistik. Agama asli ini memberi lahan yang subur bagi tumbuhnya mistisisme. Suatu paham mistik yang bertolak dari keyakinan ruhaniyah adanya kesatuan antara mikrokosmos dengan makrokosmos: dua entitas dengan kesatuan substansi.
Terminologi manunggaling kawula gusti menjadi semacam pengakuan iman (kredo) yang mengandung makna teologi mendalam, yaitu keberadaan Tuhan. Pangeran atau Hyang tidak bersifat transendental, tetapi Ia hadir bahkan melebur ke dalam diri manusia. Ia bisa bersemayam pula di jagad raya. Dalam ritus-ritus pemujaan yang dilakukannya, Pangeran Sing Aweh Urip (Tuhan Yang Memberi Hidup) dirasakan hadir ke dunia yang menjelma dalam wujud ruh-ruh, makhluk-makhluk halus atau dalam bentuk benda-benda material yang dipercaya memiliki kekuatan gaib. Pangeran bisa divisualisasikan dalam bentuk gunung, batu-batu, laut dan pohon-pohon besar yang disakralkan.
Sisa-sisa ritus pemujaan kuno seperti ini sampai sekarang masih bisa disaksikan sebagai fenomena keagamaan yang menarik untuk diamati dalam kehidupan religi orang Jawa. Bentuk ritual kuno tersebut antara lain dilakukan dengan menggelar upacara pelarungan sesaji dan meditasi (bertapa) guna menghormati kekuatan gaib yang ada di Laut Selatan: sebuah hamparan samudra luas yang letaknya di sebelah selatan kota Yogyakarta. Ritual seperti ini merupakan ritual simbolisasi religi orang Jawa yang mempercayai eksistensi Nyi Roro Kidul sebagai makhluk halus (dewa) yang digambarkan sebagai sosok ratu yang cantik jelita dan berwibawa yang ikut berperan aktif dalam melegitimasi dunia polotik dan keagamaan di Jawa. Sebagai penguasa tunggal Laut Selatan, mitos Nyi Roro Kidul disimbolisasikan sebagai sumber kewibawaan politik dan religi raja-raja Kesultanan Mataram Jawa.[4]
Praktek keberagamaan Jawa yang animisme dan dinamisne dikenal sebagai “kontekstualisasi” yaitu semacam pempribumian ajaran-ajaran Agama sesuai dengan konteks sosial budaya dimana ia disebarkan. Oleh karena itu orang-orang Jawa berpedoman pada pimbon dan petangan dalam melakukan aktivitas tertentu.[5]

3.      Kepercayaan Animisme Jawa

Ciri masyarakat Jawa yang lain adalah berketuhanan. Suku bangsa Jawa sejak masa prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme yaitu suatu kepercayaan tentang adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada manusia sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama. Semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau memiliki roh yang berwatak buruk maupun baik.[6] Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa disamping semua roh yag ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar terhindar dari roh tersebut mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara disertai dengan sesaji.
Pertama, pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga mereka terlindung dari roh yang jahat. Mereka meminta berkah pada roh, dan meminta pada roh jahat agar mengganggunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat pemujaan untuk memuja nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu yang jahat.[7] Arwah yang pernah hidup pada masa sebelumnya dianggap banyak jasa dan pengalamannya sehingga perlu dimintai berkah dan petunjuk. Cara yang ditempuh untuk menghadirkan arwah nenek moyang adalah dengan mengundang orang yang sakti dan ahli dalam bidang tersebut, yang disebut perewangan, untuk memimpin acara. Mereka juga membuat patung nenek moyang agar arwah roh nenek moyang masuk dalam patung tersebut dengan bantuan dan upaya perewangan tersebut. Sebagai kelengkapan upacara tersebut mereka menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan atau bau-bauan lainnya yang digemari oleh nenek monyang. Mereka menyempurnakan upacara tersebut dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian agar nenek moyang yang dipanggil menjadi gembira dan berkenan memberikan berkah kepada keluarganya. Sisa-sisa upacara keagamaan semacam itu masih dapat dijumpai dalam kehidupan masyarakat Jawa sekarang. Namun, upacara tersebut telah berubah fungsinya menjadi kesenian rakyat tradisional, misalnya sintren, nini thowok, barongan, tari topeng, dan pertunjukan wayang.
Upacara kematian secara berurutan diadakan sebagai berikut. Slametan Surtanah  atau geblak yang diadakan pada saat meninggalnya seseorang, slametan nelung dina, yaitu upacara slametan kematian yang diadakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya seseorang, slametan mitung dina, yaitu upacara slametan sesudah meninggalnya seseorang yang jatuh pada hari ketujuh.  Kemudian, slametan matang puluh dina atau empat puluh harinya; slametan nyatus atau seratus harinya, slametan nguwis uwisi atau peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir kali.
Upacara slametan dan petunjukan tari-tarian tradisional serta pertunjukan wayang adalah sisa-sisa tindakan keagamaan orang Jawa peninggalan zaman animisme yang terus dianut dan dilaksanakan sebagai tradisi sampai saat ini.
Kedua, tindakan keagamaan lainnya sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah pemberian sesaji atau sesajen kanggo sing mbahureksa, mbahe atau danyang yang berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, atau di tempat-tempat lain yang masih dianggap keramat. Agar dapat menarik simpati roh-roh yang berdiam di tempat angker tersebut, maka pada waktu tertentu dipasang sesaji berupa sekedar makanan kecil dan bunga. Sesaji digunakan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halus seperti lelembut, demit, dan jin yang mbahureksa atau diam di tempat-tempt tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan kebahagiaan keluarga yang bersangkutan.
System penanggalan berdasarkan hari yang pada pokoknya berlandaskan pada paduan tiga pekan, masing-masingnya disebut pancawara atau pasaran, sadwara, dan saptawara. Nama hari-hari pancawara dan sadwara seuanya berasal dari Jawa, yaitu pahing, pon, wage, kliwon dan legi. Nama hari sadwara adalah tungle, ariang, wurukung, paning rong, uwas dan mawulu. Di Bali pun masih demikian, dan yang sekarang berasal dari bahasa Arab adalah ahad, senen, selasa, rebo, kemis, jemuwah dan setu. Sesajian pada roh-roh dibuat pada hari-hari tertentu yang dianggap baik walaupun agak rumit. Kerumitan hari-hari di Jawa memang telah berkurang jika dibandingkan dengan di Bali, dimana hanya diperhitungkan pertemuan antara hari-hari pancawara dan saptawara. Kombinasi antara hari selasa dan jum’at dengan pasaran kliwon dianggap sangat istimewa.

4.      Kepercayaan Dinamisme Jawa

Masyarakat Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam, matahari, hujan, angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adi kodrati dibalik semua kekuatan alam itu. Selanjutnya, seagai sisa peninggalan masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah kekuatan bathin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad gede. Hali ini dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang akan mempengaruhi kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan.
Usaha ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin dengan cara cegah dahar lawan kuning atau mencegah makan atau mengurangi tidur, mutih (hanya makan makanan yang seba putih seperti nasi putih, minum air atau air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum minuman yang rasanya tawar atau tanpa gula dan garam), dan berpuasa pada hari-hari wetonan atau hari kelahiran. Usaha yang berat adalah melakukan pati geni yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak melihat sinar apapun selama 40 hari 40 malam. Usaha untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat yakni berupa keris, tombak, songsong jene, batu akik, akar bahar dan kuku macan. Tindakan keagamaan tersebut adalah sisa-sisa kepercayaan dari zaman dinamisme.[8]

 IV.            KESIMPULAN
Telah dijelaskan tentang bagaimana kebudayaan jawa asli. Dari segi agama mereka menganut agama animisme dan dinamisme. Secara masyarakat sosial-ekonomis, mereka dibdakan menjadi wong cilik dan kaum priyayi. Secara kekerabatan, adat Jawa kental akan gotong royongnya dan acara-acara kejawen lainnya.
    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya.
Dan akhirnya pemakalah mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan, baik dalam sistematika penulisan, isi dalam pembahasan maupun dalam hal penyampaian materi. Semuga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemkalah sendiri khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umunya dalam kehidupan ini. Amin.




DAFTAR PUSTAKA
·         Syafri Sairin, Javaness Trah. Kin Based Social Organization, YOGYAKARTA : Gajah Mada University Press, 1982
·         Darori Amin, Islam Dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
·         Ahmad Khalil, Islam Jawa; Sufisme Dalam Etika Dan Tradisi Jawa, Malang: UIN Malang Press, 2008
·         Masroer Ch. Jb., The History Of Java. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004
·         Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta : Jambatan, 1954
·         Priyohutomo, Sejarah Kebudayaan Indonesia Ii, Jakarta : J. B. Waltres, 1953



[1] Syafri Sairin, Javaness Trah. Kin Based Social Organization, YOGYAKARTA : Gajah Mada University Press, 1982, Hlm 98
[2] Darori Amin, Islam Dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, Hlm 5
[3] Ahmad Khalil, Islam Jawa; Sufisme Dalam Etika Dan Tradisi Jawa, Malang: UIN Malang Press, 2008, Hlm 47
[4] Masroer Ch. Jb., The History Of Java. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, Hlm 19-21
[5] Ahmad Kholil, Op.Cit, Hlm 46
[6] Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta : Jambatan 1954, Hlm 103
[7] Priyohutomo, Sejarah Kebudayaan Indonesia Ii, Jakarta : J. B. Waltres, 1953, Hlm 10
[8] Kuncoroningrat, Opcit, hlm 341

No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...