I.
PENDAHULUAN
Peradaban
manusia Jawa yang asli atau tulen sendiri sudah sangat tua. Disebut Jawa Asli
atau Jawa Tulen karena pada saat itu kebudayaan, tradisi bahkan Agama yang
dianut oleh masyarakat Jawa sama sekali belum terkena pengaruh-pengaruh dari
luar.
Dalam
peradaban manusia Jawa yang asli/tulen, kehidupan masyarakatnya jauh lebih
sederhana dibandingkan dengan Jawa yang kita kenal sekarang ini; selain karena
penduduknya masih sangat sedikit, sehingga relasi-relasi yang dijalankan oleh
masyarakat Jawa Asli dalam kehidupannya hanyalah dengan alam dan kepada sang
Pencipta.
Meskipun
hubungan antara sesama dan Pencipta tampak sederhana, namun tidak demikian
faktanya. Menurut budayawan Hanung Triyono, Sastra Jawa yang
ada di dalam masyarakat Jawa asli mempunyai beberapa tingkatan serta ragam yang
berbeda pada tiap tingkatannya. Banyaknya tingkatan dalam bahasa Jawa untuk
ibadah ini menunjukkan bahwa pola hubungan masyarakat Jawa dengan Sang
Penciptanya pada masa itu lebih kompleks . Tentu saja, pola ibadah ini sesuai
dengan kepercayaan masyarakat Jawa pada jaman itu.
II.
PERMASALAHAN
1.
Budaya Masyarakat Jawa
2.
Akar Kepercayaan Jawa Kuno
3.
Kepercayaan Animisme Jawa
4.
Kepercayaan Dinamisme Jawa
III.
PEMBAHASAN
1.
Budaya Masyarakat Jawa
Masyarakat Jawa merupakan satu kesatuan masyarakat yan
diikat oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi, maupun agama. Hal ini
dapat dilihat dalam ciri-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan.
System hidup kekeluargaan di Jawa tergambar dalam kekerabatan masyarakat
Jawa. Jika kita memperhatikan kosa kata kekerabatan, tampaklah bahwa istilah
yang sama dipakai untuk menyebut nenek moyang, baik pada tingkatan ketiga
maupun keturunan pada generasi ketiga dengan aku sebagai acuan. Jadi buyut bias
jadi ayahnya kakek, maupun anaknya cucu, dan seterusnya (wareng, udeg-udeg,
gantung siwur, gropak sente, debog bosok) sampai generasi kesepuluh dimana galih asem dapat menunjukkan baik
nenek moyang maupun keturunan jauh.[1]
Di Jawa, anak-anak sering dibesarkan oleh
saudara-saudara, orang tua mereka, bahkan oleh tetangga dan anak acapkali
diangkat. Hukum adat menuntut setiap orang laki-laki bertangungjawab atas
keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu kerabat lain dalam
hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian, membuat rumah,
memperbaiki jalan desa, membersihkan lingkungan perkuburan dan yang lainnya.
Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian hidup
tolong menolong sesama warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil adaptasi dari alam
sehingga dapat meletakkan pondasi petembayatan yang kuat dan mendasar.
Pengolahan tanah lahan pertanian sampai waktu panen diselenggarakan secara
bergotong-royong, saling menolong. Hal ini masih berlaku hingga saat ini dalam
system musyawarah adat desa yang disebut rembug desa.[2]
Secara
sosial-ekonomis masyarakat Jawa dibedakan menjadi dua golongan, wong cilik
(orang kecil), yaitu sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapatan
rendah, dan kaum priyayi, yaitu golongan pegawai dan orang-orang yang
dianggap berpendidikan (kaum intelektual).[3]
2.
Akar Kepercayaan Jawa Kuno
Situasi kehidupan religius sebelum agama Islam tiba di
tanah Jawa memang pada kenyataannya memang sudah majemuk. Beberapa agama, baik
yang impor maupun yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindhuisme
dan Budhaisme yang diimpor dari negeri India masuk, bahkan sejak masa
prasejarah, agaknya orang-orang Jawa telah menganut agama asli yang bercorak
animistic-dinamistik. Agama asli ini memberi lahan yang subur bagi tumbuhnya mistisisme. Suatu
paham mistik yang bertolak dari keyakinan ruhaniyah adanya kesatuan antara
mikrokosmos dengan makrokosmos: dua entitas dengan kesatuan substansi.
Terminologi
manunggaling kawula gusti menjadi semacam pengakuan iman (kredo) yang
mengandung makna teologi mendalam, yaitu keberadaan Tuhan. Pangeran atau Hyang
tidak bersifat transendental, tetapi Ia hadir bahkan melebur ke dalam diri
manusia. Ia bisa bersemayam pula di jagad raya. Dalam ritus-ritus pemujaan yang
dilakukannya, Pangeran Sing Aweh Urip (Tuhan Yang Memberi Hidup)
dirasakan hadir ke dunia yang menjelma dalam wujud ruh-ruh, makhluk-makhluk
halus atau dalam bentuk benda-benda material yang dipercaya memiliki kekuatan
gaib. Pangeran bisa divisualisasikan dalam bentuk gunung, batu-batu,
laut dan pohon-pohon besar yang disakralkan.
Sisa-sisa
ritus pemujaan kuno seperti ini sampai sekarang masih bisa disaksikan sebagai
fenomena keagamaan yang menarik untuk diamati dalam kehidupan religi orang
Jawa. Bentuk ritual kuno tersebut antara lain dilakukan dengan menggelar
upacara pelarungan sesaji dan meditasi (bertapa) guna menghormati kekuatan gaib
yang ada di Laut Selatan: sebuah hamparan samudra luas yang letaknya di sebelah
selatan kota Yogyakarta. Ritual seperti ini merupakan ritual simbolisasi religi
orang Jawa yang mempercayai eksistensi Nyi Roro Kidul sebagai makhluk halus
(dewa) yang digambarkan sebagai sosok ratu yang cantik jelita dan berwibawa
yang ikut berperan aktif dalam melegitimasi dunia polotik dan keagamaan di
Jawa. Sebagai penguasa tunggal Laut Selatan, mitos Nyi Roro Kidul
disimbolisasikan sebagai sumber kewibawaan politik dan religi raja-raja
Kesultanan Mataram Jawa.[4]
Praktek
keberagamaan Jawa yang animisme dan dinamisne dikenal sebagai
“kontekstualisasi” yaitu semacam pempribumian ajaran-ajaran Agama sesuai dengan
konteks sosial budaya dimana ia disebarkan. Oleh karena itu orang-orang Jawa
berpedoman pada pimbon dan petangan dalam melakukan aktivitas
tertentu.[5]
3.
Kepercayaan Animisme Jawa
Ciri
masyarakat Jawa yang lain adalah berketuhanan. Suku bangsa Jawa sejak masa
prasejarah telah memiliki kepercayaan animisme yaitu suatu kepercayaan tentang
adanya roh atau jiwa pada benda-benda, tumbuh-tumbuhan, hewan dan juga pada
manusia sendiri. Kepercayaan seperti itu adalah agama mereka yang pertama.
Semua yang bergerak dianggap hidup dan mempunyai kekuatan gaib atau memiliki
roh yang berwatak buruk maupun baik.[6]
Dengan kepercayaan tersebut mereka beranggapan bahwa disamping semua roh yag
ada, terdapat roh yang paling berkuasa dan lebih kuat dari manusia. Dan agar
terhindar dari roh tersebut mereka menyembahnya dengan jalan mengadakan upacara
disertai dengan sesaji.
Pertama,
pelaksanaan upacara dilakukan oleh masyarakat Jawa adalah agar keluarga mereka
terlindung dari roh yang jahat. Mereka meminta berkah pada roh, dan meminta
pada roh jahat agar mengganggunya. Mereka membuat beberapa monumen yang terbuat
dari batu-batu besar yang kurang halus pengerjaannya sebagai tempat pemujaan
untuk memuja nenek moyang, serta menolak perbuatan hantu yang jahat.[7]
Arwah yang pernah hidup pada masa sebelumnya dianggap banyak jasa dan
pengalamannya sehingga perlu dimintai berkah dan petunjuk. Cara yang ditempuh
untuk menghadirkan arwah nenek moyang adalah dengan mengundang orang yang sakti
dan ahli dalam bidang tersebut, yang disebut perewangan, untuk memimpin
acara. Mereka juga membuat patung nenek moyang agar arwah roh nenek moyang
masuk dalam patung tersebut dengan bantuan dan upaya perewangan tersebut.
Sebagai kelengkapan upacara tersebut mereka menyiapkan sesaji dan membakar
kemenyan atau bau-bauan lainnya yang digemari oleh nenek monyang. Mereka menyempurnakan
upacara tersebut dengan bunyi-bunyian dan tari-tarian agar nenek moyang yang
dipanggil menjadi gembira dan berkenan memberikan berkah kepada keluarganya.
Sisa-sisa upacara keagamaan semacam itu masih dapat dijumpai dalam kehidupan
masyarakat Jawa sekarang. Namun, upacara tersebut telah berubah fungsinya
menjadi kesenian rakyat tradisional, misalnya sintren, nini thowok, barongan,
tari topeng, dan pertunjukan wayang.
Upacara
kematian secara berurutan diadakan sebagai berikut. Slametan Surtanah atau geblak yang diadakan pada saat
meninggalnya seseorang, slametan nelung dina, yaitu upacara slametan
kematian yang diadakan pada hari ketiga sesudah saat meninggalnya seseorang, slametan
mitung dina, yaitu upacara slametan sesudah meninggalnya seseorang yang
jatuh pada hari ketujuh. Kemudian, slametan
matang puluh dina atau empat puluh harinya; slametan nyatus atau
seratus harinya, slametan nguwis uwisi atau peringatan saat kematian
seseorang untuk terakhir kali.
Upacara
slametan dan petunjukan tari-tarian tradisional serta pertunjukan wayang adalah
sisa-sisa tindakan keagamaan orang Jawa peninggalan zaman animisme yang terus
dianut dan dilaksanakan sebagai tradisi sampai saat ini.
Kedua,
tindakan
keagamaan lainnya sebagai sisa peninggalan zaman animisme adalah pemberian
sesaji atau sesajen kanggo sing mbahureksa, mbahe atau danyang yang
berdiam di pohon-pohon beringin atau pohon besar dan telah berumur tua, atau di
tempat-tempat lain yang masih dianggap keramat. Agar dapat menarik simpati
roh-roh yang berdiam di tempat angker tersebut, maka pada waktu tertentu
dipasang sesaji berupa sekedar makanan kecil dan bunga. Sesaji digunakan untuk
mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya kekuatan makhluk-makhluk halus
seperti lelembut, demit, dan jin yang mbahureksa atau diam di
tempat-tempt tersebut agar tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, dan
kebahagiaan keluarga yang bersangkutan.
System
penanggalan berdasarkan hari yang pada pokoknya berlandaskan pada paduan tiga
pekan, masing-masingnya disebut pancawara atau pasaran, sadwara, dan saptawara.
Nama hari-hari pancawara dan sadwara seuanya berasal dari Jawa, yaitu pahing,
pon, wage, kliwon dan legi. Nama hari sadwara adalah tungle, ariang, wurukung,
paning rong, uwas dan mawulu. Di Bali pun masih demikian, dan yang sekarang
berasal dari bahasa Arab adalah ahad, senen, selasa, rebo, kemis, jemuwah dan
setu. Sesajian pada roh-roh dibuat pada hari-hari tertentu yang dianggap baik
walaupun agak rumit. Kerumitan hari-hari di Jawa memang telah berkurang jika
dibandingkan dengan di Bali, dimana hanya diperhitungkan pertemuan antara
hari-hari pancawara dan saptawara. Kombinasi antara hari selasa dan jum’at
dengan pasaran kliwon dianggap sangat istimewa.
4.
Kepercayaan
Dinamisme Jawa
Masyarakat
Jawa mempercayai bahwa apa yang telah mereka bangun adalah hasil dari adaptasi
pergulatan dengan alam. Kekuatan alam disadari merupakan penentuan dari
kehidupan seluruhnya. Keberhasilan pertanian tergantung dari kekuatan alam,
matahari, hujan, angin, dan hama, tetapi mereka masih mempercayai kekuatan adi
kodrati dibalik semua kekuatan alam itu. Selanjutnya, seagai sisa peninggalan
masa lalu adalah melakukan tindakan keagamaan dengan berusaha untuk menambah
kekuatan bathin agar dapat mempengaruhi kekuatan alam semesta atau jagad
gede. Hali ini dilaksanakan agar semua kekuatan alam yang akan mempengaruhi
kehidupan diri dan keluarganya dapat dikalahkan.
Usaha
ini ditempuh dengan jalan laku prihatin atau merasakan perih ing batin
dengan cara cegah dahar lawan kuning atau mencegah makan atau mengurangi tidur,
mutih (hanya makan makanan yang seba putih seperti nasi putih, minum air atau
air tawar), ngasrep (hanya makan makanan dan minum minuman yang rasanya tawar
atau tanpa gula dan garam), dan berpuasa pada hari-hari wetonan atau hari
kelahiran. Usaha yang berat adalah melakukan pati geni yaitu tidak
makan, tidak minum, dan tidak melihat sinar apapun selama 40 hari 40 malam.
Usaha untuk menambah kekuatan batin itu sendiri dilakukan pula dengan cara
menggunakan benda-benda bertuah atau berkekuatan gaib yang disebut jimat yakni
berupa keris, tombak, songsong jene, batu akik, akar bahar dan kuku macan.
Tindakan keagamaan tersebut adalah sisa-sisa kepercayaan dari zaman dinamisme.[8]
IV.
KESIMPULAN
Telah
dijelaskan tentang bagaimana kebudayaan jawa asli. Dari segi agama mereka
menganut agama animisme dan dinamisme. Secara masyarakat sosial-ekonomis,
mereka dibdakan menjadi wong cilik dan kaum priyayi. Secara kekerabatan, adat
Jawa kental akan gotong royongnya dan acara-acara kejawen lainnya.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah
SWT. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya.
Dan akhirnya pemakalah mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan, baik
dalam sistematika penulisan, isi dalam pembahasan maupun dalam hal penyampaian
materi. Semuga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemkalah sendiri khususnya dan
bagi pembaca yang budiman pada umunya dalam kehidupan ini. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
·
Syafri Sairin, Javaness Trah. Kin Based Social
Organization, YOGYAKARTA : Gajah Mada University Press, 1982
·
Darori Amin, Islam Dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta:
Gama Media, 2000
·
Ahmad Khalil,
Islam Jawa; Sufisme Dalam Etika Dan Tradisi Jawa, Malang: UIN Malang Press,
2008
·
Masroer Ch. Jb.,
The History Of Java. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004
·
Kuncoroningrat,
Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta : Jambatan, 1954
·
Priyohutomo,
Sejarah Kebudayaan Indonesia Ii, Jakarta : J. B. Waltres, 1953
[1]
Syafri Sairin, Javaness Trah.
Kin Based Social Organization, YOGYAKARTA : Gajah Mada University Press, 1982,
Hlm 98
[2]
Darori Amin, Islam Dan
Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000, Hlm 5
[3]
Ahmad Khalil, Islam Jawa; Sufisme Dalam Etika Dan Tradisi Jawa, Malang: UIN
Malang Press, 2008, Hlm 47
[4]
Masroer Ch. Jb., The History Of Java. Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, Hlm
19-21
[5]
Ahmad Kholil, Op.Cit, Hlm 46
[6]
Kuncoroningrat, Sejarah Kebudayaan Indonesia, Yogyakarta : Jambatan 1954, Hlm
103
[7]
Priyohutomo, Sejarah Kebudayaan Indonesia Ii, Jakarta : J. B. Waltres, 1953,
Hlm 10
[8]
Kuncoroningrat, Opcit, hlm 341
No comments:
Post a Comment