Tuesday, February 25, 2014

FILSAFAT ISLAM DAN OBJEK FILSAFAT



FILSAFAT ISLAM DAN OBJEK FILSAFAT
A. Definisi Filsafat dan Filsafat Islam
1. Filsafat menurut bahasa
Kata-kata filsafat diucapkan ‘falsafah’ dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa Yunani Philosophia yang berarti ‘cinta kepada pengetahuan’, dan terdiri dari dua kata, yaitu Philos yang berarti cinta (loving) dan Sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah). Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut “Philosophos” atau “Failasuf” dalam ucapan Arabnya. Mencintai pengetahuan adalah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan perkataan lain orang yang mengabdikan kepada pengetahuan.[1]
Dalam buku Filsafat Umum karangan Dr. Ahmad Tafsir, dikatakan bahwa Philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri dari atas Philo dan Sopiha ; Philo berarti cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha mencapai yang diinginkan itu; Sophia artinya bijaksana yang artinya pandai, pengertian yang dalam. Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa dari segi bahasa, filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijakan, atau keinginan yang mendalam untuk menjadi bijak.[2] Dari berbagai sumber yang penulis baca semua filosof sepakat bahwa filsafat atau philosophia terdiri dari dua kata seperti yang telah penulis uraikan di atas. Dengan demikian pengertian filsafat menurut bahasa ialah cinta pengetahuan atau kebijaksanaan.
Perkataan “filsafat” memang berasal dari perkataan Yunani, yang digunakan oleh orang Arab dalam masa ke-emasan Islam, yang biasa dinamakan juga “zaman-terjemah”, yaitu antara tahun 878 – 950 M. Seperti yang dikatakan oleh al-Farabi seorang filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina, bahwa perkataan “filsafat” itu berasal dari bahasa Yunani, ia masuk dan digunakan sebagai bahasa Arab. Perkataan asal ialah Philosophia, yang terdiri dari dua perkataan yaitu Philo yang berarti cinta dan Sophia yang berarti hikma atau kebenaran.[3] Plato menyebut Socrates sebagai seorang Philosophos (filosof) dalam pengertian seorang pencinta kebijaksanaan. Oleh karena itu kata falsafah merupakan hasil Arabisasi, suatu masdar yang berarti kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam bahasa Belanda didapati perkataan “ Wijsbegeerte”. Wijs berarti cakap, pandai atau bijaksana. Begeerte adalah nama benda, atau pekerjaan. Begeren, mengandung arti “menghendaki sekali” atau “ingin sekali”. Jadi “wijs begeerte” berarti “kemauan yang keras untuk mendapatkan kecakapan seseorang yang bijaksana”, yang biasanya dinamakan “wijs” (orang yang bijaksana).[4] Menurut sejarah filsafat, istilah “philosophi” pertama kali digunakan dalam sekolah Socrates, kemudian Plato menanamkan suatu ilmu pengetahuan tentang kegiatan jiwa manusia.
Sebelum Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri mereka Sophist (kaum sophis) yang berarti para cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia sebagai ukuran realitas (kebenaran, hakikat) dan menggunakan hujah-hujah yang keliru dalam kesimpulan- kesimpulan mereka. Secara bertahap kata “sophis” (sophis, sophistes) kehilangan arti aslinya dan kemudian menjadi berarti seseorang yang menggunakan hujah-hujah yang keliru. Dengan demikian, kita mempunyai kata sophistry ( cara berfikir yang menyesatkan), yang mempunyai asal kata sama dalam bahasa Arab dengan kata Fatsathah dengan arti yang sama.[5] Socrates karena kerendahan hati dan kemungkinan juga keinginan untuk menghindarkan pengidentifikasian dengan kaum sophis , melarang orang menyebut dirinya seorang sophis , seorang cendekiawan. Ia menyebut dirinya seorang filosof (philosophos), pencinta kebijaksanaan, pencinta kebenaran, menggantikan sophistes yang berarti sarjana dan gelar yang terakhir ini merosot derajatnya menjadi seorang yang menggunakan penalaran yang salah. Filsafat (philosophia) kemudian menjadi sama artinya dengan kebijaksanaan (kearifan).[6] Oleh sebab itu, philosophia ( filosof) sebagai satu istilah teknis tidak dipakaikan pada seorang segera setelahnya. Istilah philosophia juga tidak mempunyai arti yang definitif pada zaman itu; diceritakan bahwa Aristoteles sendiri tidak menggunakannya. Belakangan, penggunaan istilah philosophia (filsafat) dan philosophos (filosof) semakin meluas. Secara etimologi kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, para ilmuwan dan filosof sepakat memberi arti yang sama tentang filsafat tersebut.
Selanjutnya kata filsafat yang banyak terpakai dalam bahasa Indonesia, menurut Prof. Dr. Harun Nasution bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari bahasa Barat philosophy . Di sini dipertanyakan tentang apakah fil diambil dari bahasa Barat dan safah dari kata Arab, sehingga gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat ?[7]
2. Filsafat Menurut Istilah
Pengertian filsafat menurut istilah yang diberikan oleh beberapa ahli yang terkadang jauh lebih luas dibandingkan dengan arti menurut bahasa.
Plato (427 – 347 Seb. Masehi), filsuf Yunani yang termashur murid Socrates, menyatakan bahwa: Filsafat itu tidaklah lain daripada pengetahuan tentang segala yang ada.[8] Sementara Al Farabi ( wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina berkata: “Filsafat itu ialah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya”.[9]
Sedangkan Thomas Hobbes (1588 – 1679 M), seorang filosof Inggris mengemukakan: “Filsafat ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan perhubungan hasil dan sebab atau sebab dari hasilnya, dan oleh karena itu senantiasa adalah suatu perubahan”.[10]
Dari definisi di atas dapat dilihat adanya perbedaan dalam mendefinisikan filsafat antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
Perbedaan definisi ini menurut Abu Bakar Atjeh disebabkan oleh berbedaan konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang menyebabkan beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat.[11] Di sini dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan definisi filsafat antara satu tokoh dengan tokoh lainnya disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat pada mereka masing-masing.
3. Definisi Filsafat Islam
Pembahasan mengenai hal tersebut ada masalah yang dihadapi yaitu apakah filsafat itu bercorak Islam atau bercorak Arab.
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.[12]
Seusai upacara pembukaan Universitas Mesir, seorang ahli masalah ketimuran (Orientalis) Prof. Nellinuo memberikan ceramah tentang sejarah Ilmu Falak (Astronomi) di kalangan orang Arab. Dalam kesempatan itu ia menampilkan tentang penamaan tersebut dan mengupas beberapa tesis yang dibicarakan para ahli filsafat Islam dari kedua belah pihak (yaitu yang memberi nama Filsafat Islam dan yang memberi nama Filsafat Arab). Antara lain ia mengatakan sebagai berikut: “Setiap pembicaraan mengenai masa jahiliyah, atau masa awal kelahiran Islam, makna sesungguhnya dan yang wajar dari kata-kata “Arab” tidak diragukan lagi menunjuk pada suatu bangsa yang bermukim di daerah Semenanjung yang dikenal dengan nama ‘Jazirah Arabiah’. Akan tetapi, jika pembicaraan itu beralih ke abad-abad berikutnya mulai abad pertama Hijriyah kata “Arab” berubah menjadi suatu istilah yang maknanya ialah segala bangsa dan rakyat yang bermukim di seluruh wilayah kerajaan Islam, yang pada umumnya menggunakan Bahasa Arab dalam menulis buku-buku ilmiah. Dengan demikian istilah “Arab” mencakup orang Persia, India, Turki, Suriah, Mesir, Barbar (Barbar = penduduk Afrika Utara) Andalusia dan lain-lain. Yaitu orang dari berbagai kebangsaan yang menulis buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab, Jika tidak menyebut mereka dengan “Arab”, sukar sekali untuk berbicara tentang Ilmu Falak, karena sangat sedikit putera Qathan dan ‘Adnan)[13] yang memiliki kecerdasan berpikir.[14] Dari pernyataan tersebut jelaslah bahwa Nellinou menitikberatkan pendapatnya pada bahasa. Karena itu ia mengatakan ilmu tersebut (filsafat) oleh orang-orang Arab diartikan ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab.
Courban, seorang orientalis Perancis ahli tentang Islam dan Iran mempertahankan istilah Filsafat Islam. Ia mengatakan :
Jika kita berpegang pada penamaan Filsafat Arab, maka pemikiran itu menjadi sempit bahkan keliru. Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya atau pemikiran Afdhul Kasyani dan para ahli pikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad ke-13, mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia. Jika sebutan ‘ Arab ‘ dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita ke pangkalan ilmu atau sastra. Lagipula saya sendiri menolak mengkaitkan pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan tertentu. Karena itu istilah yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam Islam atau Filsafat Islam atau Filsafat di Negeri-Negeri Islam , kalau penamaan yang terakhir disebutkan terasa terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk dijadikan istilah, saya tetap menolak memberikan predikat ‘ muslimah ‘ (musulman) pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedang filsafat islam mencakup segala hal-akhwal”.[15]
Demikian juga pendapat Dr. Ibrahim Madzakur dengan pernyataan bahwa penamaan filsafat Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu bangsa. Saya lebih suka menyebut Filsafat Islam, karena Islam bukan hanya aqidah atau keyakinan semata-mata melainkan juga peradaban dan sikap peradaban mencakup segi-segi kehidupan moral, material, pemikiran dan perasaan. Jadi Filsafat Islam ialah segala studi filsafat yang dilukis di dalam dunia Islam, baik penulisnya orang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi.[16]
Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimana pun hidup dan suburnya pemikiran tersebut (filsafat) adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan karyanya ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan ‘ Filsafat Arab ‘ ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil umat Arab semata-mata tidak benar, sebab kenyataan menunjukan bahwa Islam telah mempersatukan berbagai umat dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sedangkan kalau yang dimaksud dengan Filsafat Islam ialah bahwa tersebut adalah hasil pemikiran kaum Muslimin semata-mata juga berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan Jacobitas dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Sabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan berfilsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.
Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut ‘Filsafat Islam‘, pengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan. Pemikiran filsafat sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam tersebut, meskipun pemikiran tersebut adalah Islam baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan. Dan dalam pemakaian istilah ‘ Filsafat Islam ‘ lebih banyak dipahami dalam buku-buku filsafat, seperti an-Najat dan as-Syifa dari Ibn Sina, dalam buku al-Milal wan-Nihal dari as-Syihrisaani, dalam buku Akhbar al-Hukuma dari al-Qafi dan Muqqadimah Ibni Khaldun.[17]
Dengan demikian disimpulkan bahwa filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam yang banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab adalah Filsafat Islam , karena kegiatan pemikirannya bercorak Islam. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman.
Hakekat Filsafat Islam ialah aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa aqal dan al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan dan al-Quran juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditinggalkannya al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga al-Quran tidak membatasi aqal bekerja, aqal tetap bekerja dengan otonomi penuh.[18]
Aqal dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika aqal dan al-Quran dipahami secara struktural yang menyiratkan adanya hubungan atas bawah yang bersifat subordinatif dan reduktif, maka antara satu dengan lainnya menjadi saling mengatas-bawahi, baik aqal mengatasi al-Quran atau sebaliknya al-Quran mengatasi aqal. Jika al-Quran mengatasi aqal maka aqal menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut otonomi penuh. Sebaliknya jika aqal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran. Oleh karena itu, Filsafat Islam adalah aqal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat dialektis. Aqal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat Quranik. Aqal sebagai subjek, dan sebagai subjek ia mempunyai komitmen, komitmen itu adalah wawasan moralitas yang bersumber pada al-Quran. Aqal sebagai subjek berfungsi untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran memberikan wawasan moralitas atas pemecahan masalah yang diambil oleh aqal. Hubungan dialektika aqal dan al-Quran bersifat fungsional.[19]
Jadi jelaslah apa yang dikatakan al-Akhwani dalam bukunya Filsafat Islam bahwa Filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam.[20]
B. Objek Filsafat
Isi filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan, objek yang dipikirkan oleh filsafat ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Jadi luas sekali.
Objek filsafat itu bukan main luasnya”, tulis Louis Katt Soff, yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia.[21] Oleh karena itu manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada menurut akal pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya.
Objek filsafat ada dua yaitu Objek Materia dan Objek Forma, tentang objek materia ini banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang empiris; filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris melainkan bagian yang abstrak.[22] Sedang objek forma filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).[23]
Dari uraian tertera di atas jelaslah, bahwa:
1. Objek materia filsafat ialah Sarwa-yang-ada, yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok:
a. Hakekat Tuhan;
b. Hakekat Alam dan
c. Hakekat Manusia.
2. Objek forma filsafat ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke akarnya) tentang objek materi filsafat (sarwa-yang-ada).[24]
Dalam buku Filsafat Agama; Titik Temu Akal dengan Wahyu karangan Dr. H. Hamzah Ya’qub dikatakan bahwa objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya. Di sinilah diketahui bahwa sesuatu yang ada atau yang berwujud inilah yang menjadi penyelidikan dan menjadi pembagian filsafat menurut objeknya ialah:
1. Ada Umum yakni menyelidiki apa yang ditinjau secara umum. Dalam realitanya terdapat bermacam-macam yang kesemuanya mungkin adanya. Dalam bahasa Eropa, ADA UMUM ini disebut “Ontologia” yang berasal dari perkataan Yunani “Onontos” yang berarti “ada”, dalam Bahasa Arab sering menggunakan Untulujia dan Ilmu Kainat.
2. Ada Mutlak, sesuatu yang ada secara mutlak yakni zat yang wajib adanya, tidak tergantung kepada apa dan siapapun juga. Adanya tidak berpermulaan dan tidak berpenghabisan ia harus terus menerus ada, karena adanya dengan pasti. Ia merupakan asal adanya segala sesuatu. Ini disebut orang “Tuhan” dalam Bahasa Yunani disebut “Theodicea” dan dalam Bahasa Arab disebut “Ilah” atau “Allah”.
3. Comologia, yaitu filsafat yang mencari hakekat alam dipelajari apakah sebenarnya alam dan bagaimanakah hubungannya dengan Ada Mutlak. Cosmologia ini ialah filsafat alam yang menerangkan bahwa adanya alam adalah tidak mutlak, alam dan isinya adanya itu karena dimungkinkan Allah. “Ada tidak mutlak”, mungkin “ada” dan mungkin “lenyep sewaktu-waktu” pada suatu masa.
4. Antropologia (Filsafat Manusia), karena manusia termasuk “ada yang tidak mutlak” maka juga menjadi objek pembahasan. Apakah manusia itu sebenarnya, apakah kemampuan-kemampuannya dan apakah pendorong tindakannya? Semua ini diselidiki dan dibahas dalam Antropologia.
5. Etika: filsafat yang menyelidiki tingkah laku manusia. Betapakah tingkah laku manusia yang dipandang baik dan buruk serta tingkah laku manusia mana yang membedakannya dengan lain-lain makhluk.
6. Logika: filsafat akal budi dan biasanya juga disebut mantiq. Akal budi adalah akal yang terpenting dalam penyelidikan manusia untuk mengetahui kebenaran. Tanpa kepastian tentang logika, maka semua penyelidikan tidak mempunyai kekuatan dasar. Tegasnya tanpa akal budi takkan ada penyelidikan. Oleh karena itu dipersoalkan adakah manusia mempunyai akal budi dan dapatkah akal budi itu mencari kebenaran? Dengan segera timbul pula soal, apakah kebenaran itu dan sampai dimanakah kebenaran dapat ditangkap oleh akal budi manusia. Maka penyelidikan tentang akal budi itu disebut Filsafat Akal Budi atau Logika.
Penyelidikan tentang bahan dan aturan berpikir disebut logica minor, adapun yang menyelidiki isi berpikir disebut logica mayor. Filsafat akal budi ini disebut Epistimologi dan adapula yang menyebut Critica, sebab akal yang menyelidiki akal.[25]
Adapun objek Filsafat Islam ialah objek kajian filsafat pada umumnya yaitu realitas, baik yang material maupun yang ghaib. Perbedaannya terletak pada subjek yang mempunyai komitmen Qur’anik.[26]
Dalam hubungan ini objek kajian Filsafat Islam dalam tema besar adalah Tuhan, alam, manusia dan kebudayaan. Tema besar itu hendaknya dapat dijabarkan lebih spesifik sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga dapat ditarik benang merah dari perkembangan sejarah pemikiran kefilsafatan yang hingga sekarang. Setiap zaman mempunyai semangatnya sendiri-sendiri.
Dari keterangan di atas dapat dikatakan bahwa objek filsafat itu sama dengan objek ilmu pengetahuan bila ditinjau secara materia dan berbeda bila secara forma. Sedangkan objek kajian Filsafat Islam itu sendiri mencakup Tuhan, alam, manusia dan kebudayaan.


[1] A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), Cet. ke-5, h. 3

[2] Dr. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum; Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai James, (Bandung, PT. Remaja Rosda Jarya, 1990), cet. ke-1, h. 8

[3] Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam, (Semarang, Ramadhani, 1982), cet. ke-2, h. 3

[4] Dr. H. Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal Dengan Wahyu, (Jakarta, Pedoman ilmu Jaya, 1992), cet. ke-1, h. 3

[5] Ibid, h. 12

[6] Ibid

[7] Prof. Dr. Harun Nasution, Filsafat Agama, (Jakarta, Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-6, h. 3

[8] H. Endang Saifuddin Anshari, MA., Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya, Bina Ilmu, 1991), cet. Ke-9, h. 82-83

[9] Ibid

[10] Dr. Hamzah Ya’qub, Op. Cit, h. 4

[11] Dr. Ahmad Tafsir, op. cit., h. 9

[12] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988), cet. ke-2, h. 6

[13] Dua kabilah tertua di Semenanjung Arabia yang secara umum dapat dipandang sebagai cikal bakal Bangsa Arab.

[14] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, op. cit., h. 6-7

[15] Ibid, h. 9-10

[16] Ibid, h. 11

[17] A. Hanafi, MA, op. cit., h. 11

[18] Dr. H. Musa Asy-Arie, et. Al., Filsafat Islam; Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif, (Yogyakarta, Lembaga studi Filsafat Islam, 1992), cet. ke-1, h. 15

[19] Ibid, h. 16

[20] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, op. cit., h. 5

[21] H. Endang saefuddin Anshori, MA., op. cit., h. 84

[22]Dr. Ahmad Tafsir, op. cit, h. 18-19

[23] H. Endang Saefuddin Anshari, MA, op. cit, h. 87

[24] Ibid, h. 87-88

[25] Dr. H. Hamzah Ya’qub, op. cit., h. 7-8

[26] Dr. H. Musa Asy-Arie, et. Al., op. cit., h.

FILSAFAT = Philosophia
Philo = cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu nlalu berusaha mencapai yang diinginkan itu
Sophia = kebijakan, yang artinya pandai, pengertian yang mendalam
Dalam islam

يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا وَمَايَذَّكَّرُوْا اِلاَّ اُولُوْ الأَلْبَابِ (البقرة 269)
“Dia menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah, maka benar-benar diberi anugerah yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran”

Hikmah (حِكْمَهْ) = kendali Hakama (حَكَمَمَ) = menghalangi
Kendali = yakni sesuatu yang mengantar kepada yang baik dan menghindarkan dari pada yang buruk. Untuk mencapai tersebut diperlukan pengetahuan dan pengetahuan menerapkannya.
اُولُوْ الأَلْبَابِ (orang yang mempunyai akal murni yang tidak terselubungi oleh kuli)
[Filsafat Pendidikan Islam] Pengertian, Ruang Lingkup, Kegunaan dan Metode Pengembangan
oleh : M. Ihsan Dacholfany
A. Pendahuluan
Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak sadar akan hal tersebut. Kita semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda, tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan, benar atau salah, keindahan atau kejelekan dan sebagainya. 1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis. Definisi tersebut menunjukkan arti sebagai informal. 2) Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan yang sikap yang sangat kita junjung tinggi. Ini adalah arti yang formal. 3) Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. 4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. 5) Filsafat adalah sekumpulan problema-problema yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Dari beberapa definisi tadi bahwasanya semua jawaban yang ada difilsafat tadi hanyalah buah pemikiran dari ahli filsafat saja secara rasio. Banyak orang termenung pada suatu waktu. Kadang-kadang karena ada kejadian yang membingungkan dan kadang-kadang hanya karena ingin tahu, dan berfikir sungguh-sungguh tentang soal-soal yang pokok. Apakah kehidupan itu, dan mengapa aku berada disini? Mengapa ada sesuatu? Apakah kedudukan kehidupan dalam alam yang besar ini ? Apakah alam itu bersahabat atau bermusuhan ? apakah yang terjadi itu telah terjadi secara kebetulan ? atau karena mekanisme, atau karena ada rencana, ataukah ada maksud dan fikiran didalam benda .
Semua soal tadi adalah falsafi, usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan teori-teori dan sistem pemikiran seperti idealisme, realisme, pragmatisme. Oleh karena itu filsafat dimulai oleh rasa heran, bertanya dan memikir tentang asumsi-asumsi kita yang fundamental (mendasar), maka kita perlukan untuk meneliti bagaimana filsafat itu menjawabnya.
B. Pengertian Filsafat pendidikan Islam
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Selain itu terdapat pula teori lain yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang berarti pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut failasuf.
Sementara itu, A. Hanafi, M.A. mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan sebagai sasaran utamanya. Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi praktis.
Selanjutnya bagaimanakah pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam praktek pendidikan. Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si – terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu: (1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar; (2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong; (3) Ada yang di didik atau si terdidik; dan (4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah.
Sebagai sumber ajaran, al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education ).
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Dasar pelaksanaan Pendidikan Islam terutama adalah al Qur’an dan al Hadist Firman Allah : “ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52 )” Dan Hadis dari Nabi SAW : “ Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
Dari ayat dan hadis di atas tadi dapat diambil kesimpulan :
1.    Bahwa al Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi Allah SWT.
2.    Menurut Hadist Nabi, bahwa diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.
3.    Al Qur’an dan Hadist tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam. Bagi umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini.
Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya. Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik. Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya.
Sedangkan para ahli filsafat pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh dengan debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal. Tidak ada satupun dari permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar.
Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan Islam mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
1.    Menyadarkan secara individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta tanggung jawab dalam kehidupannya.
2.    Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakatnya.
3.    Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya
4.    Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya
Setelah mengikuti uraian diatas kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer, dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder.
Dengan demikian, filsafat pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Penjelasan mengenai ruang lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam telah diakui sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik. Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, ysng tidak hanya dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
D. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Prof. Mohammad Athiyah Abrosyi dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “ At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu :
1.    Untuk membantu pembentukan akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam.
2.    Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
3.    Menumbuhkan ruh ilmiah pada pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra, kesenian, dalam berbagai jenisnya.
4.    Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan keagamaan.
5.    Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan.
E. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai suatu metode, pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal sebagai berikut :
Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya ; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek kependidikan.
Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, khusus dalam menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karim karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist karangan Weinsink.
Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif, dedukatif, dan analisa ilmiah.
Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
F. Penutup
Islam dengan sumber ajarannya al Qur’an dan al Hadist yang diperkaya oleh penafsiran para ulama ternyata telah menunjukkan dengan jelas dan tinggi terhadap berbagai masalah yang terdapat dalam bidang pendidikan. Karenanya tidak heran ntuk kita katakan bahwa secara epistimologis Islam memilki konsep yang khas tentang pendidikan, yakni pendidikan Islam.
Demikian pula pemikiran filsafat Islam yang diwariskan para filosof Muslim sangat kaya dengan bahan-bahan yang dijadikan rujukan guna membangun filsafat pendidikan Islam. Konsep ini segera akan memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan jika diterapkan secara konsisten. Namun demikian adanya pandangan tersebut bukan berarti Islam bersikap ekslusif. Rumusan, ide dan gagasan mengenai kependidikan yang dari luar dapat saja diterima oleh Islam apabila mengandung persamaan dalam hal prinsip, atau paling kurang tidak bertentangan. Tugas kita selanjutnya adalah melanjutkan penggalian secara intensif terhadap apa yang telah dilakukan oleh para ahli, karena apa yang dirumuskan para ahli tidak lebih sebagai bahan perbangdingan, zaman sekarang berbeda dengan zaman mereka dahulu. Karena itu upaya penggalian masalah kependidikan ini tidak boleh terhenti, jika kita sepakat bahwa pendidikan Islam ingin eksis ditengah-tengah percaturan global.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Titus, Smith, Nolan., Persoalan-persoalan Filsafat, Cet. I, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Ali Saifullah H.A., Drs., Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983.
Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
M.   Ihsan Dacholfany adalah mahasiswa ISID 1997 – Staf Pengajar PP Gontor – Perpustakaan Darussalam)
MI. 

Sebelumnya sudah kita bicarakan tentang dua metode filsafat yang paling berpengaruh, yaitu filsafat iluminasi dan peripatetik, yang mana satu sama lain mempunyai ciri khas dan perbedaan tersendiri.

Metode Iluminasi sangat bertumpu kepada kemampuan kita untuk menahan hawa nafsu dan pencerahanan batin sebagai upaya untuk mencapai hakikat selain argumen dan penalaran. Sedangkan metode peripatetik sangat mengandalkan argumen sebagai tumpuan utama dalam mencari hakikat.

Kedua metode ini pada perkembangan berikutnya diakui sangat mempengaruhi kebudayaan Islam. Pendukung dari kedua paham ini diantaranya adalah tokoh-tokoh besar didalam dunia Islam. Namun terlepas dari itu semua, didunia Islam sendiri dikenal juga beberapa metode lainnya yang juga sangat berpengaruh seperti metode tasawuf (irfan) dan metode kalam (teologi) .

Sekarang mari kita lihat lebih kedalam lagi, mari kita perhatikan beberapa metode penting lainnya yang juga mempengaruhi corak filsafat dan yang berada langsung dibawah PENGARUH AJARAN ISLAM. Setidaknya sekara kita bisa melihat ada 4 metode penting yang digunakan dalam pemikiran filsafat Islam, yaitu :

1. Metode Filsafat Argumentatif Peripatetik.
Metode ini sangat mengutamakan silogisme (qiyas) , argumentasi rasional (istidlal aqli) dan demonstrasi rasional (burhan aqli) . Metode argumentatif peripatetik ini pada dikenal memiliki banyak pengikut seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Mir Damad, Al Kindi , Ibnu Sina dan lain-lainnya. Tokoh paham ini yang paling menonjol adalah Ibnu Sina.

2. Metode Filsafat Iluminatif
Metode ini seperti sudah dijelaskan sebelumnya, sangat bertumpu kepada argumentasi rasional, demonstrasi rasional dan serta berjuang melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa.

3. Metode Pengembaran Rohani (tasawuf)
Metode tasawuf (irfan) semata-mata hanya bertumpu kepada penyucian jiwa dan mengadakan perjalanan guna mendekatkan diri kepada Allah sehingga mampu mengetahui dan sampai kepada berbagai hakikat. Beda dengan filsafat Iluminatif, metode irfan ini sama sekali tidak bertumpu kepada argumentasi rasional ataupun demonstarsi rasional. Berdasarkan metode ini tujuan bukan hanya untuk menyingkap hakikat TETAPI sampai kepada hakikat itu sendiri.

Metode irfan memilik satu persamaan dan dua sisi perbedaan dengan metode iluminasi. Sisi persamaannya adalah bertumpu kepada penyucian jiwa. Sedangkan perbedaannya adalah tentang penggunaan argumentasi dan demonstrasi rasional.

4. Metode Teologi Argumentatif (kalam)
Para teolog Islam (Mutakallimin) , seperti halnya para filsuf peripatetik bertumpu pada argumentasi penalaran dan demonstrasi rasional, namun demikian terdapat dua perbedaan yang mendasar didalam pengunaannya.

Yang pertama, para teolog muslim khususnya kaum mu`tazilah menggunakan penalaran rasional ‘baik dan buruk’ berdasarkan kemampuan akal. Dan berdasarkan dengan prinsip ini maka kaum mu`tazilah mewujudkan berbagai prinsip yang lain seperti prinsip kelembutan, kewajiban atas Allah untuk mendahulukan yang baik dan sebagainya.

Sedangkan para filsuf berkeyakinan bahwa prinsip ‘baik dan buruk’ merupakan prinsip yang relatif dan klaim manusia.

Yang kedua, para teolog muslim mengklaim bahwa mereka lebih konsisten dalam membela Islam daripada filsuf, mereka berpendapat bahwa pembahasan filsafat adalah pembahasan yang bebas, mereka tidak menentukan tujuan ideologinya. Sementara teolog muslim jelas telah menentukan tujuan ideologinya.


PENGARUH ORIENTALIS TERHADAP KAJIAN SEJARAH FILSAFAT ISLAM
[Hamba-Swaramuslim]

Bila kita mengkaji sejarah filsafat Islam, terutama di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, maka kita akan menemukan adanya silabus yang seragam. Yaitu kajian filsafat Islam yang diawali dengan kajian terhadap al-Kindi. Selanjutnya diikuti oleh al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd dan kawan-kawan, dan setelah itu selesai.

Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama karena usahanya dalam penterjemahan naskah-naskah Yunani yang dipeloporinya. Banyak orang mengir bahwa fakta ini menunjukkan bahwa memang al-Kindilah filosof Muslim pertama, artinya, sebelum itu tidak ada filosof Muslim. Artinya pula, bahwa sebelum penterjemahan naskah-naskah Yunani ke dalam bahasa Arab dan Persi, tidak ada tradisi filsafat dalam Islam. Dan filsafat Islam baru ada setelah masuknya teks-teks Yunani ke dalam dunia Islam. Benarkah klaim ini?


Bila ditelusuri, klaim-klaim seperti ini [bahkan menjadi baku dalam silabus-silabus kajian filsafat Islam] ini bisa ditelusuri dari kajian-kajian para orientalis [dengan mengecualikan beberapa orang di antara mereka]. Mereka [para orientalis] berpendapat bahwa tidak ada tradisi filsafat dalam Islam [Peter F.E]. Atau Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat [De Boer]. Ada juga yang berpendapat lebih ekstrim bahwa tradisi rasional dalam Islam itu sepenuhnya dipengaruhi oleh tradisi Hellenisme dan Yunani.

Memang, secara bahasa nama filsafat berasal dari bahasa Yunani yang diarabkan. Dan tidak bisa dipungkiri bila dalam tradisi intelektual Islam, filsafat merupakan penjelasan, penafsiran, dan adapsi elemen-elemen penting filsafat Yunani. Tapi dalam faktanya, cendekiawan Muslim juga menyeleksi dan mengembangkan elemen-elemen tersebut. Juga perlu diperhatikan bahwa, mereka [cendekiawan Muslim] tidak akan mampu menafsirkan, menjelaskan, serta mengadapsi pandangan-pandangan dalam cakrawala keimuan Islam bila mereka tidak memiliki pandangan hidup yang kuat.

Dalam sejarah Islam, filsafat atau falsafah Islam dirujuk pada tradisi ilmiah Islam pada abad ke-8, terutama pada pegnkajian teks-teks Yunani. Namun, dalam perjalanannya, nama ini telah diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam. Asal-usul nama filsafat juga tidak lagi dipermasalahkan. Yang lebih ditekankan dalam filsafat Islam adalah ilmu tentang Wujud. Ibn Taymiyah juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-shahihah. Maka, nama ini diterima sebagai ilmu tentang Wujud. Dan pada kenyataannya, apa yang dikaji dalam filsafat pada umumnya diawali dengan pengkajian tentang Wujud ini.

Sayangnya, para orientalis hanya melihat filsfat Islam dari kaca mata mereka. Yaitu, yang dinamakan filsafat adalah tradisi rasional Yunani, terutama Neoplatonis Aristotelian atau filsfat paripatetik saja. Akibatnya, tradisi rasional Islam dan cendekiawan Muslim yang masuk dalam daftar filosof hanya mereka yang Neoplatonis Aristotelian, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan lainnya. Atau secara singkat framework yang dipakai adalah sebagai berikut. Filsfat Islam dimulai oleh al-Kindi yang mula-mula bersentuhan dengan teks-teks Yunani. Tradisi ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh generasi berikutnya dengan sangat canggih, yaitu oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Namun pada tahap berikutnya, ada serangan terhadap tradisi filsafat ini oleh seorang teolog, yaitu al-Ghazali. Sayangnya, serangan ini tidka tepat sasaran. Maka oleh generasi berikutnya, kritik al-Ghazali dijawab oleh Ibn Rusyd yang berasal dari dataran Barat Andalusia.

Pada umumnya, kajian tentang sejarah filsafat akan berhendi sampai di sini. Kalaupun ada penambahan, maka rel yang digunakan tetap merujuk pada filsafat paripatetik.

Lalu bagaimana mendudukkan sejarah filsafat Islam yang tepat?

Seperti yang dijelaskan di atas, memang nama filsafat Islam berasal dari Yunani. Dalam Islam sendiri terdapat konsep hikmah. Ketika umat Islam berkenalan dengan filsafat Yunani, mereka mengembangkannya namun tetap berpegangan pada konsep hikmah tersebut. Jadi, yang terjadi bukan pengambilan seluruh pemikiran filsafat Yunani ke dalam Islam, tapi hikmah dalam Islam telah menemukan sparing partnernya untuk berkembang. Dengan demikian, filsafat Islam dapat didefinisikan sesuai dengan konsep-konsep dalam wahyu dan berpijak pada doktrin tawhid. Di sini filsafat Islam tidka hanya dapat dicari akarnya dari al-Qur`an, hadis, dan tradisi intelektual Islam, tapi juga dapat dikembangkan berdasarkan konsep-konsep yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, framework Sejarah Filsafat Islam dimulai dengan pembahsan dari konsep al-Qur`an, Kalam, falsafah (pemikir Muslim baik pengikut paripatetik maupun pengkrtiknya), dan tasawwuf.


Dengan pengkajian yang luas tersebut, kajian sejarah filsafat Islam akan menemukan akarnya dalam tradisi Islam. Ia tidka hanya berakar pada penterjemahan pada abad ke-8 saja. Ia juga mencakup semua aktifitas berpikir dalam Islam, baik dari kalangan teolog [seperti Hasan al-Basri, Wasil bin Atha�f, dan lainnya], bidang hukum [seeprti Abu Hanifah, Ja�ffar Shidiq, Malik bin Anas, dan lainnya], tradisionalis [seperti Urwah bin Zubair, Ibn Ishaq, dan lainnya], dan dari mazhab-mazhab filsafat itu sendiri, seprti mazhab Sunni, paripatetik, Sufi, Naturalis, dan Ikhwan al-Shafa. Sehingga didatapi pula, bahwa tradisi paripatetik [al-Kindi dan lainnya] itu hanya bagian kecil dari sebuah tradisi berpikir rasional dalam Islam. Pengkajian selanjutnya adalah tahap perkembangan dan reorientasi pemikiran filsafat hingga masa kini.

Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah pendefinisian ulang terhadap filsafat Islam. Filsafat Islam harus didefinisikan sesuai dengan adanya fakta sejarah tradisi rasional dalam Islam. Selain itu, perlu juga dijelaskan tentang proses lahirnya filsafat Islam secara benar. Dengan demikian, sejarah filsafat Islam akan bisa dilacak dari akarnay yang paling dalam.

Catatan ini disarikan dari kuliah-kuliah bersama Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi di beberapa kesempatan yang membahas tentang Orientalisme dan Pandangan Hidup Islam [Islamic Worldview] yang diselenggarakan oleh Insist
 

(Tulisan ini pertama kali ditulis untuk menjawab soal UAS mata kuliah Filsafat Islam yang diampu oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.Phil.)
Pandangan Hidup Islam dan Barat
Antara Islam dan Barat terjadi perlombaan cara pandang dalam segala sesuatu. Sebagian orang Islam ada yang memandang Islam perlu dimodernkan, sedangkan pihak Barat ada yang memandang perlu mendirikan syariah atas dasar pluralisme.[1] Hal seperti terjadi karena ada proses pengaruh dan mempengaruhi antara Islam dan Barat, ada proses asimilasi antara intelektual muslim dan intelektual Barat dari zaman ke zaman yang menemui banyak problem dan kekeliruan.
Tradisi berfikir Yunani melahirkan Filsafat yang tumbuh dan berkembang pesat dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dari zaman ke zaman. Hingga saat inipun, ilmuwan dari berbagai kalangan masih sangat menggandrungi tradisi befikir ini dengan bebagai coraknya.
Dalam Islam, Agama merupakan pandangan hidup. Pandangan hidup Islam tergambar dalam wahyu yang menjelaskan konsep Ketuhanan, yang kemudian dari konsep ini lahirlah konsep-konsep penting bagi manusia, antara lain: konsep dunia, konsep kehidupan, konsep manusia, konsep ilmu, konsep nilai konsep kebahagiaan, dan konsep-konsep lainnya. Dan dari konsep-konsep itu lahirlah teori-teori keilmuan dan menjadi berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, pemahaman sahabat Rosul dalam memahami ilmu melahirkan tradisi sendiri, yang kemudian disebut tradisi intelektual Islam. Walaupun dalam perjalannya, tradisi ini banyak bertemu dengan tradisi lain, yang memungkinkan terjadinya pertukaran budaya dan tradisi keilmuan. Tetapi tetap, dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim telah melakukan proses seleksi dan adopsi yang sangat ketat terhadap pemikiran yang datang dari luar Islam.[2]
Filsafat Islam Menurut Worldview Islam
Islam adalah pandangan hidup yang bersumber dari wahyu. Pandangan yang terkandung di dalamnya semua konsep bagi manusia, yang pada perjalannanya, para sahabat dalam mempelajari konsep-konsep itu terangkum dan terstruktur dalam tradisi berfikir, yang bermula pada kronologi turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad SAW oleh Jibril, kemudian diajarkan kepada para sahabat, dilanjutkan oleh para pengikut Rosulullah, dari Tabi’in, Tabi’ tabi’in, serta para ulama dari zaman ke zaman hingga ulama pada zaman sekarang yang merupakan warosatul anbiya.
Worldview[3] sebagai bangunan konsep bagi manusia, dapat kita rangkum dalam sebuah pertanyaan “Apa arti dunia bagi kita sebagai seorang muslim?”. Melalui pandangan hidup Islam, seorang muslim memahami segala sesuatu yang terstruktur dalam konsep-konsep (konsep Tuhan, konsep manusia, konsep ilmu, dan konsep lainnya)[4] dengan didasarkan kepada wahyu. Dengan tradisi berfikir seperti itu, seorang muslim diajarkan bagaimana memahami konsep-konsep penting dalam Islam, inilah yang kita sebut cara berfikir rasional dalam Islam ( Filsafat Islam) dengan mengaitkannya dalam Al Quran.[5]
Jadi, timbulnya filsafat Islam menurut worldview Islam, ialah tradisi berfikir yang lahir dan diajarkan oleh Rosulullah, secara turun temurun melalui sahabat-sahabatnya dan dikembangkan oleh ulama-ulama (mutakallimun, failusuf, muhaddist, mufassir, dll) sampai pada zaman kita. Dan mangalami tukar-menukar, pinjam-meminjam (baca: asimilasi) dengan filsafat yang lahir di Yunani tanpa mengubah apapun yang sudah diajarkan oleh Rosulullah. Tradisi berfikir ini bersumber dari wahyu yang bertujuan sebagai penjabaran makna dari wahyu itu sendiri, yang kemudian hari menjadi kerangka berfikir seorang muslim dalam mempelajari dan menyelesaikan masalah-masalah manusia. Maka jelaslah, dengan tradisi berfikir seperti ini, seorang muslim dalam menjelaskan masalah-masalah manusia dalam kehidupannya, dari zaman Rosul sampai zaman sekarang, selalu bertolak dari worldview-nya sebagai seorang muslim.
Filsafat Islam Dalam Kajian Orientalis
Jika di dalam filsafat Islam Tuhan sudah ditemukan, filsafat di Barat malah sebaliknya. Di dunia Barat, orang belajar filsafat untuk mencari Tuhan, jika menemukanNya maka menjadi beragama, dan jika tidak menemukanNya dia menjadi atheis, walaupun keduanya sama-sama tetap menjadi kafir karena tetap tidak tunduk pada Tuhan.
Dan inilah yang dipaksakan oleh orientalis terhadap filsafat Islam. Orientalis mengklaim filsafat Islam, atau yang mereka sebut filsafat Arab, bermula dari Aristoteles. Dalam kajian orientalisme, Hellenisme memberikan pengaruh besar dalam pemikiran rasional kepada peradaban Islam, bahkan mengklaim telah memberikan konsep-konsep penting dalam filsafat Islam.
Para orientalis tentunya belum mengenal tradisi intelektual Islam yang telah melahirkan filsafat Islam, ataupun sudah mengenal tapi tidak mau mengakui tentang itu. Dalam berbagai contoh, salah satunya adalah metode qiyas, yang disebut sebagai metode filsafat pertama dalam filsafat Islam, para orientalis menyebutnya sebagai silogisme yang diajarkan dalam filsafat Yunani. Contoh lain bisa banyak kita temukan dalam berbagai kasus, bahkan tafsir Al Quran disamakan dengan heurmenetika yang digunakan dalam penafsiran Bibel.

[1] Menurut Muhammad Muslih, Selama berabad-abad, Barat selalu dilihat sebagai guru, karena lebih maju dan modern. Sebaliknya Timur selalu dianggap tradisional sehingga perlu upaya modernisasi dan sivilisasi. Gambaran ini merupakan kenyataan ataukah lebih sebagai bangunan image. Sekedar bangunan image ataukah sudah menjadi kesadaran. Maka melihat peradaban Barat dan Timur lebih dari sekedar membandingkannya, lebih jauh dari itu mestinya terlibat upaya penelusuran bangunan image dan kesadaran tentang keduanya, dalam makalah yang disampaikan M. Muslih pada Workshop Evaluasi Pembaharuan Pemikiran Islam, Forum Komunikasi Ushuluddin (FOKUS), CIOS, 3 Mei 2007.
[2] Adian Husaini, MA. Ketika Kampus Islam Dibajak Orientalis, http: // swara muslim.com  / id .
[3] Menurut Ninian Smart worldview adalah kepercayaan, perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral”   Worldview, Crosscultural Explorations of Human Belief (Charles Sribner’s sons, New York, n.d. 1-2)
[4] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi,  Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual Islam: Eksposisi awal framework pemikiran Islam, (makalah belum diterbitkan, dibagikan dalam kelas filsafat Islam fakultas Ushuluddin semester V Institut studi Islam Darussalam). 2010. Hal. 9.
[5] Seperti yang disampaikan oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi dalam materi kuliah  filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Semester V Institut Studi Islam Darussalam, Kampus Robithoh, Ponorogo, 2010.


PENGARUH ORIENTALIS TERHADAP KAJIAN
SEJARAH FILSAFAT ISLAM 

Bila kita mengkaji sejarah filsafat Islam, terutama di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, maka kita akan menemukan adanya silabus yang seragam. Yaitu kajian filsafat Islam yang diawali dengan kajian terhadap al-Kindi. Selanjutnya diikuti oleh al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd dan kawan-kawan, dan setelah itu selesai.

Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama karena usahanya dalam penterjemahan naskah-naskah Yunani yang dipeloporinya. Banyak orang mengir bahwa fakta ini menunjukkan bahwa memang al-Kindilah filosof Muslim pertama, artinya, sebelum itu tidak ada filosof Muslim. Artinya pula, bahwa sebelum penterjemahan naskah-naskah Yunani ke dalam bahasa Arab dan Persi, tidak ada tradisi filsafat dalam Islam. Dan filsafat Islam baru ada setelah masuknya teks-teks Yunani ke dalam dunia Islam. Benarkah klaim ini?

Bila ditelusuri, klaim-klaim seperti ini [bahkan menjadi baku dalam silabus-silabus kajian filsafat Islam] ini bisa ditelusuri dari kajian-kajian para orientalis [dengan mengecualikan beberapa orang di antara mereka]. Mereka [para orientalis] berpendapat bahwa tidak ada tradisi filsafat dalam Islam [Peter F.E]. Atau Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat [De Boer]. Ada juga yang berpendapat lebih ekstrim bahwa tradisi rasional dalam Islam itu sepenuhnya dipengaruhi oleh tradisi Hellenisme dan Yunani.

Memang, secara bahasa nama filsafat berasal dari bahasa Yunani yang diarabkan. Dan tidak bisa dipungkiri bila dalam tradisi intelektual Islam, filsafat merupakan penjelasan, penafsiran, dan adapsi elemen-elemen penting filsafat Yunani. Tapi dalam faktanya, cendekiawan Muslim juga menyeleksi dan mengembangkan elemen-elemen tersebut. Juga perlu diperhatikan bahwa, mereka [cendekiawan Muslim] tidak akan mampu menafsirkan, menjelaskan, serta mengadapsi pandangan-pandangan dalam cakrawala keimuan Islam bila mereka tidak memiliki pandangan hidup yang kuat.

Dalam sejarah Islam, filsafat atau falsafah Islam dirujuk pada tradisi ilmiah Islam pada abad ke-8, terutama pada pegnkajian teks-teks Yunani. Namun, dalam perjalanannya, nama ini telah diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam. Asal-usul nama filsafat juga tidak lagi dipermasalahkan. Yang lebih ditekankan dalam filsafat Islam adalah ilmu tentang Wujud. Ibn Taymiyah juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-shahihah. Maka, nama ini diterima sebagai ilmu tentang Wujud. Dan pada kenyataannya, apa yang dikaji dalam filsafat pada umumnya diawali dengan pengkajian tentang Wujud ini.

Sayangnya, para orientalis hanya melihat filsfat Islam dari kaca mata mereka. Yaitu, yang dinamakan filsafat adalah tradisi rasional Yunani, terutama Neoplatonis Aristotelian atau filsfat paripatetik saja. Akibatnya, tradisi rasional Islam dan cendekiawan Muslim yang masuk dalam daftar filosof hanya mereka yang Neoplatonis Aristotelian, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan lainnya. Atau secara singkat framework yang dipakai adalah sebagai berikut. Filsfat Islam dimulai oleh al-Kindi yang mula-mula bersentuhan dengan teks-teks Yunani. Tradisi ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh generasi berikutnya dengan sangat canggih, yaitu oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Namun pada tahap berikutnya, ada serangan terhadap tradisi filsafat ini oleh seorang teolog, yaitu al-Ghazali. Sayangnya, serangan ini tidka tepat sasaran. Maka oleh generasi berikutnya, kritik al-Ghazali dijawab oleh Ibn Rusyd yang berasal dari dataran Barat Andalusia.

Pada umumnya, kajian tentang sejarah filsafat akan berhendi sampai di sini. Kalaupun ada penambahan, maka rel yang digunakan tetap merujuk pada filsafat paripatetik.

Lalu bagaimana mendudukkan sejarah filsafat Islam yang tepat?

Seperti yang dijelaskan di atas, memang nama filsafat Islam berasal dari Yunani. Dalam Islam sendiri terdapat konsep hikmah. Ketika umat Islam berkenalan dengan filsafat Yunani, mereka mengembangkannya namun tetap berpegangan pada konsep hikmah tersebut. Jadi, yang terjadi bukan pengambilan seluruh pemikiran filsafat Yunani ke dalam Islam, tapi hikmah dalam Islam telah menemukan sparing partnernya untuk berkembang. Dengan demikian, filsafat Islam dapat didefinisikan sesuai dengan konsep-konsep dalam wahyu dan berpijak pada doktrin tawhid. Di sini filsafat Islam tidka hanya dapat dicari akarnya dari al-Qur`an, hadis, dan tradisi intelektual Islam, tapi juga dapat dikembangkan berdasarkan konsep-konsep yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, framework Sejarah Filsafat Islam dimulai dengan pembahsan dari konsep al-Qur`an, Kalam, falsafah (pemikir Muslim baik pengikut paripatetik maupun pengkrtiknya), dan tasawwuf.


Dengan pengkajian yang luas tersebut, kajian sejarah filsafat Islam akan menemukan akarnya dalam tradisi Islam. Ia tidka hanya berakar pada penterjemahan pada abad ke-8 saja. Ia juga mencakup semua aktifitas berpikir dalam Islam, baik dari kalangan teolog [seperti Hasan al-Basri, Wasil bin Atha’, dan lainnya], bidang hukum [seeprti Abu Hanifah, Ja’far Shidiq, Malik bin Anas, dan lainnya], tradisionalis [seperti Urwah bin Zubair, Ibn Ishaq, dan lainnya], dan dari mazhab-mazhab filsafat itu sendiri, seprti mazhab Sunni, paripatetik, Sufi, Naturalis, dan Ikhwan al-Shafa. Sehingga didatapi pula, bahwa tradisi paripatetik [al-Kindi dan lainnya] itu hanya bagian kecil dari sebuah tradisi berpikir rasional dalam Islam. Pengkajian selanjutnya adalah tahap perkembangan dan reorientasi pemikiran filsafat hingga masa kini.

Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah pendefinisian ulang terhadap filsafat Islam. Filsafat Islam harus didefinisikan sesuai dengan adanya fakta sejarah tradisi rasional dalam Islam. Selain itu, perlu juga dijelaskan tentang proses lahirnya filsafat Islam secara benar. Dengan demikian, sejarah filsafat Islam akan bisa dilacak dari akarnay yang paling dalam.

Catatan ini disarikan dari kuliah-kuliah bersama Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi di beberapa kesempatan yang membahas tentang Orientalisme dan Pandangan Hidup Islam [Islamic Worldview] yang diselenggarakan oleh Insists.

Cinangka, 17 April 2008.


No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...