FILSAFAT ISLAM DAN OBJEK FILSAFAT
A. Definisi Filsafat dan Filsafat Islam
1. Filsafat menurut
bahasa
Kata-kata
filsafat diucapkan ‘falsafah’ dalam bahasa Arab, dan berasal dari bahasa Yunani
Philosophia
yang berarti ‘cinta kepada pengetahuan’, dan terdiri dari dua kata, yaitu Philos yang
berarti cinta (loving) dan Sophia yang berarti pengetahuan (wisdom, hikmah). Orang
yang cinta kepada pengetahuan disebut “Philosophos” atau “Failasuf”
dalam ucapan Arabnya. Mencintai pengetahuan adalah orang
yang menjadikan pengetahuan sebagai usaha dan tujuan hidupnya, atau dengan
perkataan lain orang yang mengabdikan kepada pengetahuan.[1]
Dalam
buku Filsafat
Umum karangan Dr. Ahmad Tafsir, dikatakan bahwa Philosophia
merupakan kata majemuk yang terdiri dari atas Philo dan Sopiha ; Philo
berarti cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu lalu berusaha
mencapai yang diinginkan itu; Sophia artinya bijaksana yang artinya pandai, pengertian
yang dalam. Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa dari segi bahasa,
filsafat ialah keinginan yang mendalam untuk mendapat kebijakan, atau keinginan
yang mendalam untuk menjadi bijak.[2] Dari berbagai sumber
yang penulis baca semua filosof sepakat bahwa filsafat atau philosophia
terdiri dari dua kata seperti yang telah penulis uraikan di atas. Dengan
demikian pengertian filsafat menurut bahasa ialah cinta pengetahuan atau
kebijaksanaan.
Perkataan
“filsafat” memang berasal dari perkataan Yunani, yang digunakan oleh orang Arab
dalam masa ke-emasan Islam, yang biasa dinamakan juga “zaman-terjemah”,
yaitu antara tahun 878 – 950 M. Seperti yang dikatakan oleh al-Farabi seorang
filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina, bahwa perkataan “filsafat” itu berasal
dari bahasa Yunani, ia masuk dan digunakan sebagai bahasa Arab. Perkataan asal
ialah Philosophia,
yang terdiri dari dua perkataan yaitu Philo yang berarti cinta dan Sophia yang
berarti hikma atau kebenaran.[3] Plato menyebut
Socrates sebagai seorang Philosophos (filosof) dalam pengertian seorang pencinta
kebijaksanaan. Oleh karena itu kata falsafah merupakan hasil Arabisasi, suatu
masdar yang
berarti kerja atau pencarian yang dilakukan oleh para filosof. Dalam bahasa
Belanda didapati perkataan “ Wijsbegeerte”. Wijs berarti cakap, pandai atau
bijaksana. Begeerte
adalah nama benda, atau pekerjaan. Begeren, mengandung arti “menghendaki
sekali” atau “ingin sekali”. Jadi “wijs begeerte” berarti “kemauan yang
keras untuk mendapatkan kecakapan seseorang yang bijaksana”, yang biasanya
dinamakan “wijs”
(orang yang bijaksana).[4] Menurut sejarah
filsafat, istilah “philosophi” pertama kali digunakan dalam sekolah Socrates,
kemudian Plato menanamkan suatu ilmu pengetahuan tentang kegiatan jiwa manusia.
Sebelum
Socrates ada satu kelompok yang menyebut diri mereka Sophist (kaum
sophis) yang berarti para cendekiawan. Mereka menjadikan persepsi manusia
sebagai ukuran realitas (kebenaran, hakikat) dan menggunakan hujah-hujah yang
keliru dalam kesimpulan- kesimpulan mereka. Secara bertahap kata “sophis” (sophis,
sophistes) kehilangan arti aslinya dan kemudian menjadi berarti seseorang yang
menggunakan hujah-hujah yang keliru. Dengan demikian, kita mempunyai kata sophistry (
cara berfikir yang menyesatkan), yang mempunyai asal kata sama dalam bahasa
Arab dengan kata Fatsathah dengan arti yang sama.[5] Socrates karena
kerendahan hati dan kemungkinan juga keinginan untuk menghindarkan
pengidentifikasian dengan kaum sophis , melarang orang menyebut dirinya seorang sophis ,
seorang cendekiawan. Ia menyebut dirinya seorang filosof (philosophos),
pencinta kebijaksanaan, pencinta kebenaran, menggantikan sophistes
yang berarti sarjana dan gelar yang terakhir ini merosot derajatnya menjadi
seorang yang menggunakan penalaran yang salah. Filsafat (philosophia)
kemudian menjadi sama artinya dengan kebijaksanaan (kearifan).[6] Oleh sebab itu, philosophia
( filosof) sebagai satu istilah teknis tidak dipakaikan pada seorang segera
setelahnya. Istilah philosophia juga tidak mempunyai arti yang definitif pada
zaman itu; diceritakan bahwa Aristoteles sendiri tidak menggunakannya.
Belakangan, penggunaan istilah philosophia (filsafat) dan philosophos (filosof) semakin
meluas. Secara etimologi
kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, para ilmuwan dan filosof
sepakat memberi arti yang sama tentang filsafat tersebut.
Selanjutnya
kata filsafat yang banyak terpakai dalam bahasa Indonesia, menurut Prof. Dr.
Harun Nasution bukan berasal dari kata Arab falsafah dan bukan pula dari bahasa
Barat philosophy
. Di sini dipertanyakan tentang apakah fil diambil dari bahasa Barat dan safah dari
kata Arab, sehingga gabungan antara keduanya dan menimbulkan kata filsafat ?[7]
2. Filsafat Menurut Istilah
Pengertian filsafat
menurut istilah yang diberikan oleh beberapa ahli yang terkadang jauh lebih
luas dibandingkan dengan arti menurut bahasa.
Plato
(427 – 347 Seb. Masehi), filsuf Yunani yang termashur murid Socrates,
menyatakan bahwa: Filsafat itu tidaklah lain daripada pengetahuan tentang
segala yang ada.[8] Sementara
Al Farabi ( wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina berkata:
“Filsafat itu ialah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan
bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya”.[9]
Sedangkan
Thomas Hobbes (1588 – 1679 M), seorang filosof Inggris mengemukakan: “Filsafat
ialah ilmu pengetahuan yang menerangkan perhubungan hasil dan sebab atau sebab
dari hasilnya, dan oleh karena itu senantiasa adalah suatu perubahan”.[10]
Dari
definisi di atas dapat dilihat adanya perbedaan dalam mendefinisikan filsafat
antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain.
Perbedaan
definisi ini menurut Abu Bakar Atjeh disebabkan oleh berbedaan konotasi
filsafat pada tokoh-tokoh itu karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut
mereka. Perbedaan itu juga dapat muncul karena perkembangan filsafat itu
sendiri yang menyebabkan beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari
filsafat.[11] Di
sini dapat diambil kesimpulan bahwa perbedaan definisi filsafat antara satu
tokoh dengan tokoh lainnya disebabkan oleh perbedaan konotasi filsafat pada
mereka masing-masing.
3. Definisi Filsafat Islam
Pembahasan
mengenai hal tersebut ada masalah yang dihadapi yaitu apakah filsafat itu
bercorak Islam atau bercorak Arab.
Ketika
filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak
dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku
tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu
menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof
beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam”
(Falasifatul-Islam,
atau Al-falasifatul
Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan
Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh
Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam
bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian
nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat
perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli
filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di
negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.[12]
Seusai
upacara pembukaan Universitas Mesir, seorang ahli masalah ketimuran
(Orientalis) Prof. Nellinuo memberikan ceramah tentang sejarah Ilmu Falak
(Astronomi) di kalangan orang Arab. Dalam kesempatan itu ia menampilkan tentang
penamaan tersebut dan mengupas beberapa tesis yang dibicarakan para ahli
filsafat Islam dari kedua belah pihak (yaitu yang memberi nama Filsafat Islam
dan yang memberi nama Filsafat Arab). Antara lain ia mengatakan sebagai
berikut: “Setiap pembicaraan mengenai masa jahiliyah, atau masa awal kelahiran
Islam, makna sesungguhnya dan yang wajar dari kata-kata “Arab” tidak diragukan
lagi menunjuk pada suatu bangsa yang bermukim di daerah Semenanjung yang
dikenal dengan nama ‘Jazirah Arabiah’. Akan tetapi, jika pembicaraan itu
beralih ke abad-abad berikutnya mulai abad pertama Hijriyah kata “Arab” berubah
menjadi suatu istilah yang maknanya ialah segala bangsa dan rakyat yang
bermukim di seluruh wilayah kerajaan Islam, yang pada umumnya menggunakan
Bahasa Arab dalam menulis buku-buku ilmiah. Dengan demikian istilah “Arab”
mencakup orang Persia, India, Turki, Suriah, Mesir, Barbar (Barbar = penduduk
Afrika Utara) Andalusia dan lain-lain. Yaitu orang dari berbagai kebangsaan
yang menulis buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab, Jika tidak menyebut mereka
dengan “Arab”, sukar sekali untuk berbicara tentang Ilmu Falak, karena sangat
sedikit putera Qathan dan ‘Adnan)[13] yang memiliki
kecerdasan berpikir.[14] Dari pernyataan
tersebut jelaslah bahwa Nellinou menitikberatkan pendapatnya pada bahasa.
Karena itu ia mengatakan ilmu tersebut (filsafat) oleh orang-orang Arab
diartikan ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab.
Courban,
seorang orientalis Perancis ahli tentang Islam dan Iran mempertahankan istilah
Filsafat Islam. Ia mengatakan :
“Jika kita berpegang pada penamaan Filsafat Arab,
maka pemikiran itu menjadi sempit bahkan keliru. Bagaimana kita bisa
menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya atau pemikiran Afdhul Kasyani dan
para ahli pikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad
ke-13, mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia. Jika
sebutan ‘ Arab ‘ dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan
kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita ke
pangkalan ilmu atau sastra. Lagipula saya sendiri menolak mengkaitkan
pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan tertentu. Karena itu istilah
yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam Islam atau Filsafat Islam
atau Filsafat
di Negeri-Negeri Islam , kalau penamaan yang terakhir disebutkan
terasa terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk dijadikan istilah, saya
tetap menolak memberikan predikat ‘ muslimah ‘ (musulman) pada filsafat
tersebut. Sebab penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan pribadi filosof
yang bersangkutan, sedang filsafat islam mencakup segala hal-akhwal”.[15]
Demikian
juga pendapat Dr. Ibrahim Madzakur dengan pernyataan bahwa penamaan filsafat
Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu
bangsa. Saya lebih suka menyebut Filsafat Islam, karena Islam bukan
hanya aqidah atau keyakinan semata-mata melainkan juga peradaban dan sikap
peradaban mencakup segi-segi kehidupan moral, material, pemikiran dan perasaan.
Jadi Filsafat Islam ialah segala studi filsafat yang dilukis di dalam dunia
Islam, baik penulisnya orang Muslim, Nasrani ataupun Yahudi.[16]
Sebenarnya
perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimana pun hidup
dan suburnya pemikiran tersebut (filsafat) adalah di bawah naungan Islam dan
kebanyakan karyanya ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan ‘
Filsafat Arab ‘ ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil umat Arab
semata-mata tidak benar, sebab kenyataan menunjukan bahwa Islam telah
mempersatukan berbagai umat dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan
sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sedangkan kalau yang dimaksud dengan
Filsafat Islam ialah bahwa tersebut adalah hasil pemikiran kaum Muslimin
semata-mata juga berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru
pada aliran Nestorius
dan Jacobitas
dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Sabi’ah, dan kegiatan mereka
dalam berilmu dan berfilsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan
Yahudi yang ada pada masanya.
Namun
pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum Muslimin lebih tepat disebut ‘Filsafat
Islam‘, pengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga kebudayaan.
Pemikiran filsafat sudah barang tentu terpengaruh oleh kebudayaan Islam
tersebut, meskipun pemikiran tersebut adalah Islam baik tentang
problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah
memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan. Dan
dalam pemakaian istilah ‘ Filsafat Islam ‘ lebih banyak dipahami dalam
buku-buku filsafat, seperti an-Najat dan as-Syifa dari Ibn Sina, dalam buku al-Milal wan-Nihal
dari as-Syihrisaani, dalam buku Akhbar al-Hukuma dari al-Qafi dan
Muqqadimah Ibni Khaldun.[17]
Dengan
demikian disimpulkan bahwa filsafat yang muncul dalam kehidupan Islam yang
banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab adalah Filsafat Islam , karena
kegiatan pemikirannya bercorak Islam. Islam disini menjadi jiwa yang mewarnai
suatu pemikiran. Filsafat disebut Islami bukan karena yang melakukan aktivitas
kefilsafatan itu orang yang beragama Islam, atau orang yang berkebangsaan Arab
atau dari segi objeknya yang membahas mengenai pokok-pokok keislaman.
Hakekat
Filsafat Islam ialah aqal dan al-Quran. Filsafat Islam tidak mungkin tanpa aqal dan
al-Quran. Aqal yang memungkinkan aktivitas itu menjadi aktivitas kefilsafatan
dan al-Quran juga menjadi ciri keislamannya. Tidak dapat ditinggalkannya
al-Quran dalam filsafat Islam adalah lebih bersifat spiritual, sehingga
al-Quran tidak membatasi aqal bekerja, aqal tetap bekerja dengan otonomi penuh.[18]
Aqal
dan al-Quran di sini tidak dapat dipahami secara struktural, karena jika aqal
dan al-Quran dipahami secara struktural yang menyiratkan adanya hubungan atas
bawah yang bersifat subordinatif dan reduktif, maka antara satu dengan
lainnya menjadi saling mengatas-bawahi, baik aqal mengatasi al-Quran atau
sebaliknya al-Quran mengatasi aqal. Jika al-Quran mengatasi aqal maka aqal
menjadi kehilangan peran sebagai subjek filsafat yang menuntut otonomi penuh.
Sebaliknya jika aqal mengatasi al-Quran, terbayang di sana bahwa aktivitas
kefilsafatan Islam menjadi sempit karena objeknya hanya al-Quran. Oleh karena
itu, Filsafat Islam adalah aqal dan al-Quran dalam hubungan yang bersifat
dialektis. Aqal dengan otonomi penuh bekerja dengan semangat Quranik. Aqal
sebagai subjek, dan sebagai subjek ia mempunyai komitmen, komitmen itu adalah
wawasan moralitas yang bersumber pada al-Quran. Aqal sebagai subjek berfungsi
untuk memecahkan masalah, sedangkan al-Quran memberikan wawasan moralitas atas
pemecahan masalah yang diambil oleh aqal. Hubungan dialektika aqal dan al-Quran
bersifat fungsional.[19]
Jadi
jelaslah apa yang dikatakan al-Akhwani dalam bukunya Filsafat Islam
bahwa Filsafat Islam adalah pembahasan meliputi berbagai soal alam semesta dan
bermacam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama
lahirnya agama Islam.[20]
B. Objek Filsafat
Isi
filsafat ditentukan oleh objek apa yang dipikirkan, objek yang dipikirkan oleh
filsafat ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Jadi luas sekali.
“Objek
filsafat itu bukan main luasnya”, tulis Louis Katt Soff, yaitu meliputi segala
pengetahuan manusia serta segala sesuatu yang ingin diketahui manusia.[21] Oleh karena itu
manusia memiliki pikiran atau akal yang aktif, maka manusia sesuai dengan
tabiatnya, cenderung untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dan yang mungkin
ada menurut akal pikirannya. Jadi objek filsafat ialah mencari keterangan
sedalam-dalamnya.
Objek
filsafat ada dua yaitu Objek Materia dan Objek Forma, tentang objek materia ini
banyak yang sama dengan objek materia sains. Sains memiliki objek materia yang
empiris; filsafat menyelidiki objek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris
melainkan bagian yang abstrak.[22] Sedang objek forma
filsafat tiada lain ialah mencari keterangan yang sedalam-dalamnya tentang
objek materi filsafat (yakni segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada).[23]
Dari
uraian tertera di atas jelaslah, bahwa:
1. Objek materia filsafat
ialah Sarwa-yang-ada,
yang pada garis besarnya dapat dibagi atas tiga persoalan pokok:
a. Hakekat Tuhan;
b. Hakekat Alam dan
c. Hakekat Manusia.
2. Objek forma filsafat
ialah usaha mencari keterangan secara radikal (sedalam-dalamnya sampai ke
akarnya) tentang objek materi filsafat (sarwa-yang-ada).[24]
Dalam
buku Filsafat
Agama; Titik Temu Akal dengan Wahyu karangan Dr. H. Hamzah Ya’qub
dikatakan bahwa objek filsafat ialah mencari keterangan sedalam-dalamnya. Di
sinilah diketahui bahwa sesuatu yang ada atau yang berwujud inilah yang menjadi
penyelidikan dan menjadi pembagian filsafat menurut objeknya ialah:
1. Ada Umum
yakni menyelidiki apa yang ditinjau secara
umum. Dalam realitanya terdapat bermacam-macam yang kesemuanya mungkin adanya.
Dalam bahasa Eropa, ADA UMUM ini disebut “Ontologia” yang berasal dari perkataan
Yunani “Onontos”
yang berarti “ada”, dalam Bahasa Arab sering menggunakan Untulujia
dan Ilmu
Kainat.
2. Ada Mutlak, sesuatu yang ada secara mutlak yakni zat yang
wajib adanya, tidak tergantung kepada apa dan siapapun juga. Adanya tidak
berpermulaan dan tidak berpenghabisan ia harus terus menerus ada, karena adanya
dengan pasti. Ia merupakan asal adanya segala sesuatu. Ini disebut orang
“Tuhan” dalam Bahasa Yunani disebut “Theodicea” dan dalam Bahasa Arab disebut
“Ilah”
atau “Allah”.
3. Comologia, yaitu filsafat yang mencari hakekat alam dipelajari
apakah sebenarnya alam dan bagaimanakah hubungannya dengan Ada Mutlak. Cosmologia ini
ialah filsafat alam yang menerangkan bahwa adanya alam adalah tidak mutlak, alam
dan isinya adanya itu karena dimungkinkan Allah. “Ada tidak mutlak”, mungkin
“ada” dan mungkin “lenyep sewaktu-waktu” pada suatu masa.
4. Antropologia (Filsafat Manusia), karena manusia termasuk “ada
yang tidak mutlak” maka juga menjadi objek pembahasan. Apakah manusia itu
sebenarnya, apakah kemampuan-kemampuannya dan apakah pendorong tindakannya?
Semua ini diselidiki dan dibahas dalam Antropologia.
5. Etika: filsafat yang menyelidiki tingkah laku manusia.
Betapakah tingkah laku manusia yang dipandang baik dan buruk serta tingkah laku
manusia mana yang membedakannya dengan lain-lain makhluk.
6. Logika:
filsafat akal budi dan biasanya juga disebut mantiq.
Akal budi adalah akal yang terpenting dalam penyelidikan manusia untuk
mengetahui kebenaran. Tanpa kepastian tentang logika, maka semua penyelidikan
tidak mempunyai kekuatan dasar. Tegasnya tanpa akal budi takkan ada
penyelidikan. Oleh karena itu dipersoalkan adakah manusia mempunyai akal budi
dan dapatkah akal budi itu mencari kebenaran? Dengan segera timbul pula soal,
apakah kebenaran itu dan sampai dimanakah kebenaran dapat ditangkap oleh akal
budi manusia. Maka penyelidikan tentang akal budi itu disebut Filsafat Akal Budi
atau Logika.
Penyelidikan tentang bahan dan aturan berpikir
disebut logica
minor, adapun yang menyelidiki isi berpikir disebut logica mayor.
Filsafat
akal budi ini disebut Epistimologi dan
adapula yang menyebut Critica, sebab akal yang menyelidiki akal.[25]
Adapun
objek Filsafat Islam ialah objek kajian filsafat pada umumnya yaitu realitas,
baik yang material maupun yang ghaib. Perbedaannya terletak pada subjek yang
mempunyai komitmen
Qur’anik.[26]
Dalam
hubungan ini objek kajian Filsafat Islam dalam tema besar adalah Tuhan, alam,
manusia dan kebudayaan. Tema besar itu hendaknya dapat dijabarkan lebih spesifik
sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga dapat ditarik benang merah dari
perkembangan sejarah pemikiran kefilsafatan yang hingga sekarang. Setiap zaman
mempunyai semangatnya sendiri-sendiri.
Dari
keterangan di atas dapat dikatakan bahwa objek filsafat itu sama dengan objek
ilmu pengetahuan bila ditinjau secara materia dan berbeda bila secara forma. Sedangkan objek
kajian Filsafat Islam itu sendiri mencakup Tuhan, alam, manusia dan kebudayaan.
[1] A. Hanafi, MA., Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta, Bulan Bintang,
1990), Cet. ke-5, h. 3
[2] Dr. Ahmad Tafsir. Filsafat Umum; Akal Dan Hati Sejak Thales Sampai James,
(Bandung, PT. Remaja Rosda Jarya, 1990), cet. ke-1, h. 8
[3] Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam,
(Semarang, Ramadhani, 1982), cet. ke-2, h. 3
[4] Dr. H. Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama: Titik Temu Akal Dengan
Wahyu, (Jakarta, Pedoman ilmu Jaya, 1992), cet. ke-1, h. 3
[5] Ibid,
h. 12
[6] Ibid
[7]
Prof. Dr. Harun
Nasution, Filsafat Agama,
(Jakarta, Bulan Bintang, 1987), cet. Ke-6, h. 3
[8] H. Endang Saifuddin Anshari, MA., Ilmu, Filsafat dan Agama,
(Surabaya, Bina Ilmu, 1991), cet. Ke-9, h. 82-83
[9] Ibid
[10]
Dr. Hamzah Ya’qub, Op. Cit,
h. 4
[11]
Dr. Ahmad Tafsir, op. cit.,
h. 9
[12] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam,
(Jakarta, Pustaka Firdaus, 1988), cet. ke-2, h. 6
[13] Dua kabilah tertua di Semenanjung Arabia yang secara
umum dapat dipandang sebagai cikal bakal Bangsa Arab.
[14] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, op. cit., h. 6-7
[17] A. Hanafi, MA, op. cit., h. 11
[18]
Dr. H. Musa Asy-Arie, et.
Al., Filsafat Islam;
Kajian Ontologis, Epistimologis, Aksiologis, Historis, Perspektif,
(Yogyakarta, Lembaga studi Filsafat Islam, 1992), cet. ke-1, h. 15
[20] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, op. cit., h. 5
[21] H. Endang saefuddin Anshori, MA., op. cit., h. 84
[22]Dr. Ahmad Tafsir, op. cit, h. 18-19
[23] H. Endang Saefuddin Anshari, MA, op. cit, h. 87
[25] Dr. H. Hamzah Ya’qub, op. cit., h. 7-8
[26] Dr. H. Musa Asy-Arie, et. Al., op. cit., h.
FILSAFAT = Philosophia
Philo = cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu nlalu berusaha mencapai yang diinginkan itu
Sophia = kebijakan, yang artinya pandai, pengertian yang mendalam
Dalam islam
يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا وَمَايَذَّكَّرُوْا اِلاَّ اُولُوْ الأَلْبَابِ (البقرة 269)
“Dia menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah, maka benar-benar diberi anugerah yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran”
Hikmah (حِكْمَهْ) = kendali Hakama (حَكَمَمَ) = menghalangi
Kendali = yakni sesuatu yang mengantar kepada yang baik dan menghindarkan dari pada yang buruk. Untuk mencapai tersebut diperlukan pengetahuan dan pengetahuan menerapkannya.
اُولُوْ الأَلْبَابِ (orang yang mempunyai akal murni yang tidak terselubungi oleh kuli)
[Filsafat Pendidikan Islam] Pengertian, Ruang Lingkup, Kegunaan dan Metode Pengembangan
Philo = cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan karena itu nlalu berusaha mencapai yang diinginkan itu
Sophia = kebijakan, yang artinya pandai, pengertian yang mendalam
Dalam islam
يُؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوْتِيَ خَيْرًا وَمَايَذَّكَّرُوْا اِلاَّ اُولُوْ الأَلْبَابِ (البقرة 269)
“Dia menganugerahkan al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah, maka benar-benar diberi anugerah yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran”
Hikmah (حِكْمَهْ) = kendali Hakama (حَكَمَمَ) = menghalangi
Kendali = yakni sesuatu yang mengantar kepada yang baik dan menghindarkan dari pada yang buruk. Untuk mencapai tersebut diperlukan pengetahuan dan pengetahuan menerapkannya.
اُولُوْ الأَلْبَابِ (orang yang mempunyai akal murni yang tidak terselubungi oleh kuli)
[Filsafat Pendidikan Islam] Pengertian, Ruang Lingkup, Kegunaan dan Metode Pengembangan
Posted on 25
Mei 2009 by AKHMAD
SUDRAJAT
oleh : M. Ihsan Dacholfany
A. Pendahuluan
Setiap orang memiliki filsafat walaupun ia mungkin tidak
sadar akan hal tersebut. Kita semua mempunyai ide-ide tentang benda-benda,
tentang sejarah, arti kehidupan, mati, Tuhan, benar atau salah, keindahan atau
kejelekan dan sebagainya. 1) Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan
terhadap kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
Definisi tersebut menunjukkan arti sebagai informal. 2) Filsafat adalah suatu
proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan yang sikap yang sangat kita
junjung tinggi. Ini adalah arti yang formal. 3) Filsafat adalah usaha untuk
mendapatkan gambaran keseluruhan. 4) Filsafat adalah sebagai analisa logis dari
bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. 5) Filsafat adalah
sekumpulan problema-problema yang langsung yang mendapat perhatian dari manusia
dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.
Dari beberapa definisi tadi
bahwasanya semua jawaban yang ada difilsafat tadi hanyalah buah pemikiran dari
ahli filsafat saja secara rasio. Banyak orang termenung pada suatu waktu.
Kadang-kadang karena ada kejadian yang membingungkan dan kadang-kadang hanya
karena ingin tahu, dan berfikir sungguh-sungguh tentang soal-soal yang pokok.
Apakah kehidupan itu, dan mengapa aku berada disini? Mengapa ada sesuatu?
Apakah kedudukan kehidupan dalam alam yang besar ini ? Apakah alam itu
bersahabat atau bermusuhan ? apakah yang terjadi itu telah terjadi secara
kebetulan ? atau karena mekanisme, atau karena ada rencana, ataukah ada maksud
dan fikiran didalam benda .
Semua soal tadi adalah falsafi,
usaha untuk mendapatkan jawaban atau pemecahan terhadapnya telah menimbulkan
teori-teori dan sistem pemikiran seperti idealisme, realisme, pragmatisme. Oleh
karena itu filsafat dimulai oleh rasa heran, bertanya dan memikir tentang
asumsi-asumsi kita yang fundamental (mendasar), maka kita perlukan untuk
meneliti bagaimana filsafat itu menjawabnya.
B. Pengertian Filsafat pendidikan Islam
Secara harfiah, kata filsafat
berasal dari kata Philo yang berarti cinta, dan kata Sophos yang berarti ilmu
atau hikmah. Dengan demikian, filsafat berarti cinta cinta terhadap ilmu atau
hikmah. Terhadap pengertian seperti ini al-Syaibani mengatakan bahwa filsafat
bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha
mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya dan menciptakan sikap positif
terhadapnya. Selanjutnya ia menambahkan bahwa filsafat dapat pula berarti
mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, dan berusaha
menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Selain itu terdapat pula teori lain
yang mengatakan bahwa filsafat berasal dari kata Arab falsafah, yang berasal
dari bahasa Yunani, Philosophia: philos berarti cinta, suka (loving), dan sophia yang
berarti pengetahuan, hikmah (wisdom).
Jadi, Philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada
kebenaran atau lazimnya disebut Pholosopher yang dalam bahasa Arab disebut
failasuf.
Sementara itu, A. Hanafi, M.A.
mengatakan bahwa pengertian filsafat telah mengalami perubahan-perubahan
sepanjang masanya. Pitagoras (481-411 SM), yang dikenal sebagai orang yang
pertama yang menggunakan perkataan tersebut. Dari beberapa kutipan di atas
dapat diketahui bahwa pengertian fisafat dar segi kebahsan atau semantik adalah
cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah
suatu kegiatan atau aktivitas yang menempatkan pengetahuan atau kebikasanaan
sebagai sasaran utamanya. Filsafat juga memilki pengertian dari segi istilah
atau kesepakatan yang lazim digunakan oleh para ahli, atau pengertian dari segi
praktis.
Selanjutnya bagaimanakah
pandangan para ahli mengenai pendidikan dalam arti yang lazim digunakan dalam
praktek pendidikan. Dalam hubungan ini dijumpai berbagai rumusan yang
berbeda-beda. Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah
bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan
jasmani dan rohani si – terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Berdasarkan rumusannya ini,
Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu: (1) Usaha
(kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan
secara sadar; (2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong; (3) Ada yang di didik
atau si terdidik; dan (4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut,
dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Sebagai suatu agama, Islam
memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna dan kompherhensif dibandingkan dengan
agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang
paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman
atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan
hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga
mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya
mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber
untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al
Sunnah.
Sebagai sumber ajaran, al
Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh
perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Demikian pula
dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian
yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah
mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education ).
Dari uraian diatas, terlihat
bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan
al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan
pengajaran. Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam
upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini di akui dengan jelas bahwa
pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan
menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan
menjadi merdeka, dan seterusnya.
Dasar pelaksanaan Pendidikan
Islam terutama adalah al Qur’an dan al Hadist Firman Allah : “ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu
(al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah
iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki
diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi
petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52 )” Dan Hadis
dari Nabi SAW : “ Sesungguhnya
orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak
taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal
pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan
memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
Dari ayat dan hadis di atas
tadi dapat diambil kesimpulan :
1.
Bahwa al Qur’an diturunkan kepada
umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus dalam arti
memberi bimbingan dan petunjuk kearah jalan yang diridloi Allah SWT.
2.
Menurut Hadist Nabi, bahwa
diantara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengamalkan ajaran
Allah, yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan
Islam.
3.
Al Qur’an dan Hadist
tersebut menerangkan bahwa nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada
jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada umatnya agar saling
memberi petunjuk, memberikan bimbingan, penyuluhan, dan pendidikan Islam. Bagi
umat Islam maka dasar agama Islam merupakan fondasi utama keharusan
berlangsungnya pendidikan. Karena ajaran Islam bersifat universal yang
kandungannya sudah tercakup seluruh aspek kehidupan ini.
Pendidikan dalam arti umum
mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan
pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada
generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan
bersama, dengan sebaik-baiknya. Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan
corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah
pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan
penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit,
dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern
dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para
ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan
memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu
pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik. Kalau teori pendidikan
hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang
sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang
melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung
unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi
itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa
hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan,
hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan
sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati
sebelumnya.
Sedangkan para ahli filsafat
pendidikan, sebaiknya mungkin tersesat dalam abstraksi yang tinggi yang penuh
dengan debat tiada berkeputusan,akan tetapi tanpa adanya gagasan jelas buat
menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan yang ideal. Tidak ada satupun dari
permasalahan kita mendesak dapat dipecahkan dengan cepat atau dengan
mengulang-ulang dengan gigih kata-kata yang hampa. Tidak dapat dihindari, bahwa
orang-orang yang memperdapatkan masalah ini, apabila mereka terus berpikir,yang
lebih baik daripada mengadakan reaksi, mereka tentu akan menyadari bahwa mereka
itu telah membicarakan masalah yang sangat mendasar.
Sebagai ajaran (doktrin) Islam
mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan
dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah
dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu
kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki
daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
Pendidikan Islam
mengidentifikasi sasarannya yang digali dari sumber ajarannya yaitu Al Quran
dan Hadist, meliputi empat pengembangan fungsi manusia :
1.
Menyadarkan secara
individual pada posisi dan fungsinya ditengah-tengah makhluk lain serta
tanggung jawab dalam kehidupannya.
2.
Menyadarkan fungsi manusia
dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap
ketertiban masyarakatnya.
3.
Menyadarkan manusia
terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada Nya
4.
Menyadarkan manusia tentang
kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah tuhan
menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk
mengambil manfaatnya
Setelah mengikuti uraian diatas
kiranya dapat diketahui bahwa Filsafat Pendidikan Islam itu merupakan suatu
kajian secara filosofis mengenai masalah yang terdapat dalam kegiatan
pendidikan yang didasarkan pada al Qur’an dan al Hadist sebagai sumber primer,
dan pendapat para ahli, khususnya para filosof Muslim, sebagai sumber sekunder.
Dengan demikian, filsafat
pendidikan Islam secara singkat dapat dikatakan adalah filsafat pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam atau filsafat pendidikan yang dijiwai oleh ajaran
Islam, jadi ia bukan filsafat yang bercorak liberal, bebas, tanpa batas etika
sebagaimana dijumpai dalam pemikiran filsafat pada umumnya.
C. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
Penjelasan mengenai ruang
lingkup ini mengandung indikasi bahwa filsafat pendidikan Islam telah diakui
sebagai sebuah disiplin ilmu. Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa sumber
bacaan, khususnya buku yang menginformasikan hasil penelitian tentang filsafat
pendidikan Islam. Sebagai sebuah disiplin ilmu, mau tidak mau filsafat
pendidikan Islam harus menunjukkan dengan jelas mengenai bidang kajiannya atau
cakupan pembahasannya. Muzayyin Arifin menyatakan bahwa mempelajari filsafat
pendidikan Islam berarti memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematik.
Logis, dan menyeluruh (universal) tentang pendidikan, ysng tidak hanya
dilatarbelakangi oleh pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kita
untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Pendapat ini memberi petunjuk
bahwa ruang lingkup filsafat Pendidikan Islam adalah masalah-masalah yang
terdapat dalam kegiatan pendidikan, seperti masalah tujuan pendidikan, masalah
guru, kurikulum, metode, dan lingkungan.
D. Kegunaan Filsafat Pendidikan Islam
Prof. Mohammad Athiyah Abrosyi
dalam kajiannya tentang pendidikan Islam telah menyimpulkan 5 tujuan yang asasi
bagi pendidikan Islam yang diuraikan dalam “ At Tarbiyah Al Islamiyah Wa Falsafatuha “ yaitu :
1.
Untuk membantu pembentukan
akhlak yang mulia. Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa
pendidikan Islam.
2.
Persiapan untuk kehidupan
dunia dan kehidupan akhirat. Pendidikan Islam tidak hanya menaruh perhatian
pada segi keagamaan saja dan tidak hanya dari segi keduniaan saja, tetapi dia
menaruh perhatian kepada keduanya sekaligus.
3.
Menumbuhkan ruh ilmiah pada
pelajaran dan memuaskan untuk mengetahui dan memungkinkan ia mengkaji ilmu
bukan sekedar sebagai ilmu. Dan juga agar menumbuhkan minat pada sains, sastra,
kesenian, dalam berbagai jenisnya.
4.
Menyiapkan pelajar dari
segi profesional, teknis, dan perusahaan supaya ia dapat mengusai profesi
tertentu, teknis tertentu dan perusahaan tertentu, supaya dapat ia mencari
rezeki dalam hidup dengan mulia di samping memelihara dari segi kerohanian dan
keagamaan.
5.
Persiapan untuk mencari
rezeki dan pemeliharaan segi-segi kemanfaatan. Pendidikan Islam tidaklah
semuanya bersifat agama atau akhlak, atau sprituil semata-mata, tetapi menaruh
perhatian pada segi-segi kemanfaatan pada tujuan-tujuan, kurikulum, dan
aktivitasnya. Tidak lah tercapai kesempurnaan manusia tanpa memadukan antara
agama dan ilmu pengetahuan.
E. Metode Pengembangan Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai suatu metode,
pengembangan filsafat pendidikan Islam biasanya memerlukan empat hal sebagai
berikut :
Pertama, bahan-bahan yang akan digunakan dalam pengembangan
filsafat pendidikan. Dalam hal ini dapat berupa bahan tertulis, yaitu al Qur’an
dan al Hadist yang disertai pendapat para ulama serta para filosof dan lainnya
; dan bahan yang akan di ambil dari pengalaman empirik dalam praktek
kependidikan.
Kedua, metode pencarian bahan. Untuk mencari bahan-bahan
yang bersifat tertulis dapat dilakukan melalui studi kepustakaan dan studi
lapangan yang masing-masing prosedurnya telah diatur sedemikian rupa. Namun
demikian, khusus dalam menggunakan al Qur’an dan al Hadist dapat digunakan jasa
Ensiklopedi al Qur’an semacam Mu’jam al Mufahras li Alfazh al Qur’an al Karim
karangan Muhammad Fuad Abd Baqi dan Mu’jam al muhfars li Alfazh al Hadist
karangan Weinsink.
Ketiga, metode pembahasan. Untuk ini Muzayyin Arifin
mengajukan alternatif metode analsis-sintesis, yaitu metode yang berdasarkan
pendekatan rasional dan logis terhadap sasaran pemikiran secara induktif,
dedukatif, dan analisa ilmiah.
Keempat, pendekatan. Dalam hubungannya dengan pembahasan
tersebut di atas harus pula dijelaskan pendekatan yang akan digunakan untuk
membahas tersebut. Pendekatan ini biasanya diperlukan dalam analisa, dan
berhubungan dengan teori-teori keilmuan tertentu yang akan dipilih untuk
menjelaskan fenomena tertentu pula. Dalam hubungan ini pendekatan lebih
merupakan pisau yang akan digunakan dalam analisa. Ia semacam paradigma (cara
pandang) yang akan digunakan untuk menjelaskan suatu fenomena.
F. Penutup
Islam dengan sumber ajarannya
al Qur’an dan al Hadist yang diperkaya oleh penafsiran para ulama ternyata
telah menunjukkan dengan jelas dan tinggi terhadap berbagai masalah yang
terdapat dalam bidang pendidikan. Karenanya tidak heran ntuk kita katakan bahwa
secara epistimologis Islam memilki konsep yang khas tentang pendidikan, yakni
pendidikan Islam.
Demikian pula pemikiran
filsafat Islam yang diwariskan para filosof Muslim sangat kaya dengan
bahan-bahan yang dijadikan rujukan guna membangun filsafat pendidikan Islam.
Konsep ini segera akan memberikan warna tersendiri terhadap dunia pendidikan
jika diterapkan secara konsisten. Namun demikian adanya pandangan tersebut
bukan berarti Islam bersikap ekslusif. Rumusan, ide dan gagasan mengenai
kependidikan yang dari luar dapat saja diterima oleh Islam apabila mengandung
persamaan dalam hal prinsip, atau paling kurang tidak bertentangan. Tugas kita
selanjutnya adalah melanjutkan penggalian secara intensif terhadap apa yang
telah dilakukan oleh para ahli, karena apa yang dirumuskan para ahli tidak
lebih sebagai bahan perbangdingan, zaman sekarang berbeda dengan zaman mereka
dahulu. Karena itu upaya penggalian masalah kependidikan ini tidak boleh
terhenti, jika kita sepakat bahwa pendidikan Islam ingin eksis ditengah-tengah
percaturan global.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar
Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Prasetya, Drs., Filsafat
Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000
Titus, Smith, Nolan.,
Persoalan-persoalan Filsafat, Cet. I, Bulan Bintang, Jakarta, 1984.
Ali Saifullah H.A., Drs.,
Antara Filsafat dan Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1983.
Zuhairini. Dra, dkk., Filsafat
Pendidikan Islam, Cet.II, Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
Abuddin Nata, M.A., Filsafat
Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997
M.
Ihsan Dacholfany adalah
mahasiswa ISID 1997 – Staf Pengajar PP Gontor – Perpustakaan Darussalam)
MI.
Sebelumnya sudah kita bicarakan tentang dua metode filsafat
yang paling berpengaruh, yaitu filsafat iluminasi dan peripatetik, yang mana
satu sama lain mempunyai ciri khas dan perbedaan tersendiri.
Metode Iluminasi sangat bertumpu kepada kemampuan kita untuk menahan hawa nafsu dan pencerahanan batin sebagai upaya untuk mencapai hakikat selain argumen dan penalaran. Sedangkan metode peripatetik sangat mengandalkan argumen sebagai tumpuan utama dalam mencari hakikat.
Kedua metode ini pada perkembangan berikutnya diakui sangat mempengaruhi kebudayaan Islam. Pendukung dari kedua paham ini diantaranya adalah tokoh-tokoh besar didalam dunia Islam. Namun terlepas dari itu semua, didunia Islam sendiri dikenal juga beberapa metode lainnya yang juga sangat berpengaruh seperti metode tasawuf (irfan) dan metode kalam (teologi) .
Sekarang mari kita lihat lebih kedalam lagi, mari kita perhatikan beberapa metode penting lainnya yang juga mempengaruhi corak filsafat dan yang berada langsung dibawah PENGARUH AJARAN ISLAM. Setidaknya sekara kita bisa melihat ada 4 metode penting yang digunakan dalam pemikiran filsafat Islam, yaitu :
1. Metode Filsafat Argumentatif Peripatetik.
Metode ini sangat mengutamakan silogisme (qiyas) , argumentasi rasional (istidlal aqli) dan demonstrasi rasional (burhan aqli) . Metode argumentatif peripatetik ini pada dikenal memiliki banyak pengikut seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Mir Damad, Al Kindi , Ibnu Sina dan lain-lainnya. Tokoh paham ini yang paling menonjol adalah Ibnu Sina.
2. Metode Filsafat Iluminatif
Metode ini seperti sudah dijelaskan sebelumnya, sangat bertumpu kepada argumentasi rasional, demonstrasi rasional dan serta berjuang melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa.
3. Metode Pengembaran Rohani (tasawuf)
Metode tasawuf (irfan) semata-mata hanya bertumpu kepada penyucian jiwa dan mengadakan perjalanan guna mendekatkan diri kepada Allah sehingga mampu mengetahui dan sampai kepada berbagai hakikat. Beda dengan filsafat Iluminatif, metode irfan ini sama sekali tidak bertumpu kepada argumentasi rasional ataupun demonstarsi rasional. Berdasarkan metode ini tujuan bukan hanya untuk menyingkap hakikat TETAPI sampai kepada hakikat itu sendiri.
Metode irfan memilik satu persamaan dan dua sisi perbedaan dengan metode iluminasi. Sisi persamaannya adalah bertumpu kepada penyucian jiwa. Sedangkan perbedaannya adalah tentang penggunaan argumentasi dan demonstrasi rasional.
4. Metode Teologi Argumentatif (kalam)
Para teolog Islam (Mutakallimin) , seperti halnya para filsuf peripatetik bertumpu pada argumentasi penalaran dan demonstrasi rasional, namun demikian terdapat dua perbedaan yang mendasar didalam pengunaannya.
Yang pertama, para teolog muslim khususnya kaum mu`tazilah menggunakan penalaran rasional ‘baik dan buruk’ berdasarkan kemampuan akal. Dan berdasarkan dengan prinsip ini maka kaum mu`tazilah mewujudkan berbagai prinsip yang lain seperti prinsip kelembutan, kewajiban atas Allah untuk mendahulukan yang baik dan sebagainya.
Sedangkan para filsuf berkeyakinan bahwa prinsip ‘baik dan buruk’ merupakan prinsip yang relatif dan klaim manusia.
Yang kedua, para teolog muslim mengklaim bahwa mereka lebih konsisten dalam membela Islam daripada filsuf, mereka berpendapat bahwa pembahasan filsafat adalah pembahasan yang bebas, mereka tidak menentukan tujuan ideologinya. Sementara teolog muslim jelas telah menentukan tujuan ideologinya.
Metode Iluminasi sangat bertumpu kepada kemampuan kita untuk menahan hawa nafsu dan pencerahanan batin sebagai upaya untuk mencapai hakikat selain argumen dan penalaran. Sedangkan metode peripatetik sangat mengandalkan argumen sebagai tumpuan utama dalam mencari hakikat.
Kedua metode ini pada perkembangan berikutnya diakui sangat mempengaruhi kebudayaan Islam. Pendukung dari kedua paham ini diantaranya adalah tokoh-tokoh besar didalam dunia Islam. Namun terlepas dari itu semua, didunia Islam sendiri dikenal juga beberapa metode lainnya yang juga sangat berpengaruh seperti metode tasawuf (irfan) dan metode kalam (teologi) .
Sekarang mari kita lihat lebih kedalam lagi, mari kita perhatikan beberapa metode penting lainnya yang juga mempengaruhi corak filsafat dan yang berada langsung dibawah PENGARUH AJARAN ISLAM. Setidaknya sekara kita bisa melihat ada 4 metode penting yang digunakan dalam pemikiran filsafat Islam, yaitu :
1. Metode Filsafat Argumentatif Peripatetik.
Metode ini sangat mengutamakan silogisme (qiyas) , argumentasi rasional (istidlal aqli) dan demonstrasi rasional (burhan aqli) . Metode argumentatif peripatetik ini pada dikenal memiliki banyak pengikut seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Bajah, Mir Damad, Al Kindi , Ibnu Sina dan lain-lainnya. Tokoh paham ini yang paling menonjol adalah Ibnu Sina.
2. Metode Filsafat Iluminatif
Metode ini seperti sudah dijelaskan sebelumnya, sangat bertumpu kepada argumentasi rasional, demonstrasi rasional dan serta berjuang melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa.
3. Metode Pengembaran Rohani (tasawuf)
Metode tasawuf (irfan) semata-mata hanya bertumpu kepada penyucian jiwa dan mengadakan perjalanan guna mendekatkan diri kepada Allah sehingga mampu mengetahui dan sampai kepada berbagai hakikat. Beda dengan filsafat Iluminatif, metode irfan ini sama sekali tidak bertumpu kepada argumentasi rasional ataupun demonstarsi rasional. Berdasarkan metode ini tujuan bukan hanya untuk menyingkap hakikat TETAPI sampai kepada hakikat itu sendiri.
Metode irfan memilik satu persamaan dan dua sisi perbedaan dengan metode iluminasi. Sisi persamaannya adalah bertumpu kepada penyucian jiwa. Sedangkan perbedaannya adalah tentang penggunaan argumentasi dan demonstrasi rasional.
4. Metode Teologi Argumentatif (kalam)
Para teolog Islam (Mutakallimin) , seperti halnya para filsuf peripatetik bertumpu pada argumentasi penalaran dan demonstrasi rasional, namun demikian terdapat dua perbedaan yang mendasar didalam pengunaannya.
Yang pertama, para teolog muslim khususnya kaum mu`tazilah menggunakan penalaran rasional ‘baik dan buruk’ berdasarkan kemampuan akal. Dan berdasarkan dengan prinsip ini maka kaum mu`tazilah mewujudkan berbagai prinsip yang lain seperti prinsip kelembutan, kewajiban atas Allah untuk mendahulukan yang baik dan sebagainya.
Sedangkan para filsuf berkeyakinan bahwa prinsip ‘baik dan buruk’ merupakan prinsip yang relatif dan klaim manusia.
Yang kedua, para teolog muslim mengklaim bahwa mereka lebih konsisten dalam membela Islam daripada filsuf, mereka berpendapat bahwa pembahasan filsafat adalah pembahasan yang bebas, mereka tidak menentukan tujuan ideologinya. Sementara teolog muslim jelas telah menentukan tujuan ideologinya.
PENGARUH ORIENTALIS TERHADAP KAJIAN SEJARAH FILSAFAT ISLAM
[Hamba-Swaramuslim]
Bila kita mengkaji sejarah filsafat Islam, terutama di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, maka kita akan menemukan adanya silabus yang seragam. Yaitu kajian filsafat Islam yang diawali dengan kajian terhadap al-Kindi. Selanjutnya diikuti oleh al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd dan kawan-kawan, dan setelah itu selesai.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama karena usahanya dalam penterjemahan naskah-naskah Yunani yang dipeloporinya. Banyak orang mengir bahwa fakta ini menunjukkan bahwa memang al-Kindilah filosof Muslim pertama, artinya, sebelum itu tidak ada filosof Muslim. Artinya pula, bahwa sebelum penterjemahan naskah-naskah Yunani ke dalam bahasa Arab dan Persi, tidak ada tradisi filsafat dalam Islam. Dan filsafat Islam baru ada setelah masuknya teks-teks Yunani ke dalam dunia Islam. Benarkah klaim ini?
Bila ditelusuri, klaim-klaim seperti ini [bahkan menjadi baku dalam silabus-silabus kajian filsafat Islam] ini bisa ditelusuri dari kajian-kajian para orientalis [dengan mengecualikan beberapa orang di antara mereka]. Mereka [para orientalis] berpendapat bahwa tidak ada tradisi filsafat dalam Islam [Peter F.E]. Atau Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat [De Boer]. Ada juga yang berpendapat lebih ekstrim bahwa tradisi rasional dalam Islam itu sepenuhnya dipengaruhi oleh tradisi Hellenisme dan Yunani.
Memang, secara bahasa nama filsafat berasal dari bahasa Yunani yang diarabkan. Dan tidak bisa dipungkiri bila dalam tradisi intelektual Islam, filsafat merupakan penjelasan, penafsiran, dan adapsi elemen-elemen penting filsafat Yunani. Tapi dalam faktanya, cendekiawan Muslim juga menyeleksi dan mengembangkan elemen-elemen tersebut. Juga perlu diperhatikan bahwa, mereka [cendekiawan Muslim] tidak akan mampu menafsirkan, menjelaskan, serta mengadapsi pandangan-pandangan dalam cakrawala keimuan Islam bila mereka tidak memiliki pandangan hidup yang kuat.
Dalam sejarah Islam, filsafat atau falsafah Islam dirujuk pada tradisi ilmiah Islam pada abad ke-8, terutama pada pegnkajian teks-teks Yunani. Namun, dalam perjalanannya, nama ini telah diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam. Asal-usul nama filsafat juga tidak lagi dipermasalahkan. Yang lebih ditekankan dalam filsafat Islam adalah ilmu tentang Wujud. Ibn Taymiyah juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-shahihah. Maka, nama ini diterima sebagai ilmu tentang Wujud. Dan pada kenyataannya, apa yang dikaji dalam filsafat pada umumnya diawali dengan pengkajian tentang Wujud ini.
Sayangnya, para orientalis hanya melihat filsfat Islam dari kaca mata mereka. Yaitu, yang dinamakan filsafat adalah tradisi rasional Yunani, terutama Neoplatonis Aristotelian atau filsfat paripatetik saja. Akibatnya, tradisi rasional Islam dan cendekiawan Muslim yang masuk dalam daftar filosof hanya mereka yang Neoplatonis Aristotelian, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan lainnya. Atau secara singkat framework yang dipakai adalah sebagai berikut. Filsfat Islam dimulai oleh al-Kindi yang mula-mula bersentuhan dengan teks-teks Yunani. Tradisi ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh generasi berikutnya dengan sangat canggih, yaitu oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Namun pada tahap berikutnya, ada serangan terhadap tradisi filsafat ini oleh seorang teolog, yaitu al-Ghazali. Sayangnya, serangan ini tidka tepat sasaran. Maka oleh generasi berikutnya, kritik al-Ghazali dijawab oleh Ibn Rusyd yang berasal dari dataran Barat Andalusia.
Pada umumnya, kajian tentang sejarah filsafat akan berhendi sampai di sini. Kalaupun ada penambahan, maka rel yang digunakan tetap merujuk pada filsafat paripatetik.
Lalu bagaimana mendudukkan sejarah filsafat Islam yang tepat?
Seperti yang dijelaskan di atas, memang nama filsafat Islam berasal dari Yunani. Dalam Islam sendiri terdapat konsep hikmah. Ketika umat Islam berkenalan dengan filsafat Yunani, mereka mengembangkannya namun tetap berpegangan pada konsep hikmah tersebut. Jadi, yang terjadi bukan pengambilan seluruh pemikiran filsafat Yunani ke dalam Islam, tapi hikmah dalam Islam telah menemukan sparing partnernya untuk berkembang. Dengan demikian, filsafat Islam dapat didefinisikan sesuai dengan konsep-konsep dalam wahyu dan berpijak pada doktrin tawhid. Di sini filsafat Islam tidka hanya dapat dicari akarnya dari al-Qur`an, hadis, dan tradisi intelektual Islam, tapi juga dapat dikembangkan berdasarkan konsep-konsep yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, framework Sejarah Filsafat Islam dimulai dengan pembahsan dari konsep al-Qur`an, Kalam, falsafah (pemikir Muslim baik pengikut paripatetik maupun pengkrtiknya), dan tasawwuf.
Dengan pengkajian yang luas tersebut, kajian sejarah filsafat Islam akan menemukan akarnya dalam tradisi Islam. Ia tidka hanya berakar pada penterjemahan pada abad ke-8 saja. Ia juga mencakup semua aktifitas berpikir dalam Islam, baik dari kalangan teolog [seperti Hasan al-Basri, Wasil bin Atha�f, dan lainnya], bidang hukum [seeprti Abu Hanifah, Ja�ffar Shidiq, Malik bin Anas, dan lainnya], tradisionalis [seperti Urwah bin Zubair, Ibn Ishaq, dan lainnya], dan dari mazhab-mazhab filsafat itu sendiri, seprti mazhab Sunni, paripatetik, Sufi, Naturalis, dan Ikhwan al-Shafa. Sehingga didatapi pula, bahwa tradisi paripatetik [al-Kindi dan lainnya] itu hanya bagian kecil dari sebuah tradisi berpikir rasional dalam Islam. Pengkajian selanjutnya adalah tahap perkembangan dan reorientasi pemikiran filsafat hingga masa kini.
Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah pendefinisian ulang terhadap filsafat Islam. Filsafat Islam harus didefinisikan sesuai dengan adanya fakta sejarah tradisi rasional dalam Islam. Selain itu, perlu juga dijelaskan tentang proses lahirnya filsafat Islam secara benar. Dengan demikian, sejarah filsafat Islam akan bisa dilacak dari akarnay yang paling dalam.
Catatan ini disarikan dari kuliah-kuliah bersama Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi di beberapa kesempatan yang membahas tentang Orientalisme dan Pandangan Hidup Islam [Islamic Worldview] yang diselenggarakan oleh Insist
[Hamba-Swaramuslim]
Bila kita mengkaji sejarah filsafat Islam, terutama di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, maka kita akan menemukan adanya silabus yang seragam. Yaitu kajian filsafat Islam yang diawali dengan kajian terhadap al-Kindi. Selanjutnya diikuti oleh al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Ibn Rusyd dan kawan-kawan, dan setelah itu selesai.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim pertama karena usahanya dalam penterjemahan naskah-naskah Yunani yang dipeloporinya. Banyak orang mengir bahwa fakta ini menunjukkan bahwa memang al-Kindilah filosof Muslim pertama, artinya, sebelum itu tidak ada filosof Muslim. Artinya pula, bahwa sebelum penterjemahan naskah-naskah Yunani ke dalam bahasa Arab dan Persi, tidak ada tradisi filsafat dalam Islam. Dan filsafat Islam baru ada setelah masuknya teks-teks Yunani ke dalam dunia Islam. Benarkah klaim ini?
Bila ditelusuri, klaim-klaim seperti ini [bahkan menjadi baku dalam silabus-silabus kajian filsafat Islam] ini bisa ditelusuri dari kajian-kajian para orientalis [dengan mengecualikan beberapa orang di antara mereka]. Mereka [para orientalis] berpendapat bahwa tidak ada tradisi filsafat dalam Islam [Peter F.E]. Atau Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat [De Boer]. Ada juga yang berpendapat lebih ekstrim bahwa tradisi rasional dalam Islam itu sepenuhnya dipengaruhi oleh tradisi Hellenisme dan Yunani.
Memang, secara bahasa nama filsafat berasal dari bahasa Yunani yang diarabkan. Dan tidak bisa dipungkiri bila dalam tradisi intelektual Islam, filsafat merupakan penjelasan, penafsiran, dan adapsi elemen-elemen penting filsafat Yunani. Tapi dalam faktanya, cendekiawan Muslim juga menyeleksi dan mengembangkan elemen-elemen tersebut. Juga perlu diperhatikan bahwa, mereka [cendekiawan Muslim] tidak akan mampu menafsirkan, menjelaskan, serta mengadapsi pandangan-pandangan dalam cakrawala keimuan Islam bila mereka tidak memiliki pandangan hidup yang kuat.
Dalam sejarah Islam, filsafat atau falsafah Islam dirujuk pada tradisi ilmiah Islam pada abad ke-8, terutama pada pegnkajian teks-teks Yunani. Namun, dalam perjalanannya, nama ini telah diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam. Asal-usul nama filsafat juga tidak lagi dipermasalahkan. Yang lebih ditekankan dalam filsafat Islam adalah ilmu tentang Wujud. Ibn Taymiyah juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-shahihah. Maka, nama ini diterima sebagai ilmu tentang Wujud. Dan pada kenyataannya, apa yang dikaji dalam filsafat pada umumnya diawali dengan pengkajian tentang Wujud ini.
Sayangnya, para orientalis hanya melihat filsfat Islam dari kaca mata mereka. Yaitu, yang dinamakan filsafat adalah tradisi rasional Yunani, terutama Neoplatonis Aristotelian atau filsfat paripatetik saja. Akibatnya, tradisi rasional Islam dan cendekiawan Muslim yang masuk dalam daftar filosof hanya mereka yang Neoplatonis Aristotelian, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan lainnya. Atau secara singkat framework yang dipakai adalah sebagai berikut. Filsfat Islam dimulai oleh al-Kindi yang mula-mula bersentuhan dengan teks-teks Yunani. Tradisi ini dilanjutkan dan dikembangkan oleh generasi berikutnya dengan sangat canggih, yaitu oleh al-Farabi dan Ibn Sina. Namun pada tahap berikutnya, ada serangan terhadap tradisi filsafat ini oleh seorang teolog, yaitu al-Ghazali. Sayangnya, serangan ini tidka tepat sasaran. Maka oleh generasi berikutnya, kritik al-Ghazali dijawab oleh Ibn Rusyd yang berasal dari dataran Barat Andalusia.
Pada umumnya, kajian tentang sejarah filsafat akan berhendi sampai di sini. Kalaupun ada penambahan, maka rel yang digunakan tetap merujuk pada filsafat paripatetik.
Lalu bagaimana mendudukkan sejarah filsafat Islam yang tepat?
Seperti yang dijelaskan di atas, memang nama filsafat Islam berasal dari Yunani. Dalam Islam sendiri terdapat konsep hikmah. Ketika umat Islam berkenalan dengan filsafat Yunani, mereka mengembangkannya namun tetap berpegangan pada konsep hikmah tersebut. Jadi, yang terjadi bukan pengambilan seluruh pemikiran filsafat Yunani ke dalam Islam, tapi hikmah dalam Islam telah menemukan sparing partnernya untuk berkembang. Dengan demikian, filsafat Islam dapat didefinisikan sesuai dengan konsep-konsep dalam wahyu dan berpijak pada doktrin tawhid. Di sini filsafat Islam tidka hanya dapat dicari akarnya dari al-Qur`an, hadis, dan tradisi intelektual Islam, tapi juga dapat dikembangkan berdasarkan konsep-konsep yang terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, framework Sejarah Filsafat Islam dimulai dengan pembahsan dari konsep al-Qur`an, Kalam, falsafah (pemikir Muslim baik pengikut paripatetik maupun pengkrtiknya), dan tasawwuf.
Dengan pengkajian yang luas tersebut, kajian sejarah filsafat Islam akan menemukan akarnya dalam tradisi Islam. Ia tidka hanya berakar pada penterjemahan pada abad ke-8 saja. Ia juga mencakup semua aktifitas berpikir dalam Islam, baik dari kalangan teolog [seperti Hasan al-Basri, Wasil bin Atha�f, dan lainnya], bidang hukum [seeprti Abu Hanifah, Ja�ffar Shidiq, Malik bin Anas, dan lainnya], tradisionalis [seperti Urwah bin Zubair, Ibn Ishaq, dan lainnya], dan dari mazhab-mazhab filsafat itu sendiri, seprti mazhab Sunni, paripatetik, Sufi, Naturalis, dan Ikhwan al-Shafa. Sehingga didatapi pula, bahwa tradisi paripatetik [al-Kindi dan lainnya] itu hanya bagian kecil dari sebuah tradisi berpikir rasional dalam Islam. Pengkajian selanjutnya adalah tahap perkembangan dan reorientasi pemikiran filsafat hingga masa kini.
Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah pendefinisian ulang terhadap filsafat Islam. Filsafat Islam harus didefinisikan sesuai dengan adanya fakta sejarah tradisi rasional dalam Islam. Selain itu, perlu juga dijelaskan tentang proses lahirnya filsafat Islam secara benar. Dengan demikian, sejarah filsafat Islam akan bisa dilacak dari akarnay yang paling dalam.
Catatan ini disarikan dari kuliah-kuliah bersama Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi di beberapa kesempatan yang membahas tentang Orientalisme dan Pandangan Hidup Islam [Islamic Worldview] yang diselenggarakan oleh Insist
(Tulisan ini pertama kali ditulis untuk menjawab soal UAS
mata kuliah Filsafat Islam yang diampu oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, M.Phil.)
Pandangan
Hidup Islam dan Barat
Antara Islam dan Barat terjadi perlombaan cara pandang
dalam segala sesuatu. Sebagian orang Islam ada yang memandang Islam perlu
dimodernkan, sedangkan pihak Barat ada yang memandang perlu mendirikan syariah
atas dasar pluralisme.[1]
Hal seperti terjadi karena ada proses pengaruh dan mempengaruhi antara Islam
dan Barat, ada proses asimilasi antara intelektual muslim dan intelektual Barat
dari zaman ke zaman yang menemui banyak problem dan kekeliruan.
Tradisi berfikir Yunani melahirkan Filsafat yang tumbuh
dan berkembang pesat dan mempunyai pengaruh yang sangat besar dari zaman ke
zaman. Hingga saat inipun, ilmuwan dari berbagai kalangan masih sangat
menggandrungi tradisi befikir ini dengan bebagai coraknya.
Dalam Islam, Agama merupakan pandangan hidup. Pandangan
hidup Islam tergambar dalam wahyu yang menjelaskan konsep Ketuhanan, yang
kemudian dari konsep ini lahirlah konsep-konsep penting bagi manusia, antara
lain: konsep dunia, konsep kehidupan, konsep manusia, konsep ilmu, konsep nilai
konsep kebahagiaan, dan konsep-konsep lainnya. Dan dari konsep-konsep itu
lahirlah teori-teori keilmuan dan menjadi berbagai disiplin ilmu pengetahuan
yang bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, pemahaman sahabat Rosul dalam
memahami ilmu melahirkan tradisi sendiri, yang kemudian disebut tradisi
intelektual Islam. Walaupun dalam perjalannya, tradisi ini banyak bertemu
dengan tradisi lain, yang memungkinkan terjadinya pertukaran budaya dan tradisi
keilmuan. Tetapi tetap, dalam sejarahnya, para ulama dan cendekiawam Muslim
telah melakukan proses seleksi dan adopsi yang sangat ketat terhadap pemikiran
yang datang dari luar Islam.[2]
Filsafat
Islam Menurut Worldview Islam
Islam adalah pandangan hidup yang bersumber dari wahyu.
Pandangan yang terkandung di dalamnya semua konsep bagi manusia, yang pada
perjalannanya, para sahabat dalam mempelajari konsep-konsep itu terangkum dan
terstruktur dalam tradisi berfikir, yang bermula pada kronologi turunnya wahyu
kepada Nabi Muhammad SAW oleh Jibril, kemudian diajarkan kepada para sahabat,
dilanjutkan oleh para pengikut Rosulullah, dari Tabi’in, Tabi’ tabi’in, serta
para ulama dari zaman ke zaman hingga ulama pada zaman sekarang yang merupakan warosatul anbiya.
Worldview[3]
sebagai bangunan konsep bagi manusia, dapat kita rangkum dalam sebuah
pertanyaan “Apa arti dunia bagi kita sebagai seorang muslim?”. Melalui
pandangan hidup Islam, seorang muslim memahami segala sesuatu yang terstruktur
dalam konsep-konsep (konsep Tuhan, konsep manusia, konsep ilmu, dan konsep
lainnya)[4]
dengan didasarkan kepada wahyu. Dengan tradisi berfikir seperti itu, seorang
muslim diajarkan bagaimana memahami konsep-konsep penting dalam Islam, inilah
yang kita sebut cara berfikir rasional dalam Islam ( Filsafat Islam) dengan
mengaitkannya dalam Al Quran.[5]
Jadi, timbulnya filsafat Islam menurut worldview Islam,
ialah tradisi berfikir yang lahir dan diajarkan oleh Rosulullah, secara turun
temurun melalui sahabat-sahabatnya dan dikembangkan oleh ulama-ulama
(mutakallimun, failusuf, muhaddist, mufassir, dll) sampai pada zaman kita. Dan
mangalami tukar-menukar, pinjam-meminjam (baca: asimilasi) dengan filsafat yang
lahir di Yunani tanpa mengubah apapun yang sudah diajarkan oleh Rosulullah.
Tradisi berfikir ini bersumber dari wahyu yang bertujuan sebagai penjabaran
makna dari wahyu itu sendiri, yang kemudian hari menjadi kerangka berfikir
seorang muslim dalam mempelajari dan menyelesaikan masalah-masalah manusia.
Maka jelaslah, dengan tradisi berfikir seperti ini, seorang muslim dalam
menjelaskan masalah-masalah manusia dalam kehidupannya, dari zaman Rosul sampai
zaman sekarang, selalu bertolak dari worldview-nya sebagai seorang muslim.
Filsafat
Islam Dalam Kajian Orientalis
Jika di dalam filsafat Islam Tuhan sudah ditemukan,
filsafat di Barat malah sebaliknya. Di dunia Barat, orang belajar filsafat
untuk mencari Tuhan, jika menemukanNya maka menjadi beragama, dan jika tidak
menemukanNya dia menjadi atheis, walaupun keduanya sama-sama tetap menjadi
kafir karena tetap tidak tunduk pada Tuhan.
Dan inilah yang dipaksakan oleh orientalis terhadap
filsafat Islam. Orientalis mengklaim filsafat Islam, atau yang mereka sebut
filsafat Arab, bermula dari Aristoteles. Dalam kajian orientalisme, Hellenisme
memberikan pengaruh besar dalam pemikiran rasional kepada peradaban Islam,
bahkan mengklaim telah memberikan konsep-konsep penting dalam filsafat Islam.
Para orientalis tentunya belum mengenal tradisi
intelektual Islam yang telah melahirkan filsafat Islam, ataupun sudah mengenal
tapi tidak mau mengakui tentang itu. Dalam berbagai contoh, salah satunya
adalah metode qiyas, yang disebut sebagai metode filsafat pertama dalam
filsafat Islam, para orientalis menyebutnya sebagai silogisme yang diajarkan dalam filsafat Yunani. Contoh lain
bisa banyak kita temukan dalam berbagai kasus, bahkan tafsir Al Quran disamakan
dengan heurmenetika yang digunakan dalam penafsiran Bibel.
[1] Menurut Muhammad Muslih, Selama berabad-abad, Barat
selalu dilihat sebagai guru, karena lebih maju dan modern. Sebaliknya Timur
selalu dianggap tradisional sehingga perlu upaya modernisasi dan sivilisasi.
Gambaran ini merupakan kenyataan ataukah lebih sebagai bangunan image. Sekedar bangunan image ataukah sudah menjadi
kesadaran. Maka melihat peradaban Barat dan Timur lebih dari sekedar
membandingkannya, lebih jauh dari itu mestinya terlibat upaya penelusuran
bangunan image dan
kesadaran tentang keduanya, dalam
makalah yang disampaikan M. Muslih pada Workshop Evaluasi Pembaharuan Pemikiran
Islam, Forum
Komunikasi Ushuluddin (FOKUS),
CIOS, 3 Mei 2007.
[2] Adian Husaini, MA. Ketika Kampus Islam Dibajak Orientalis, http: // swara
muslim.com / id .
[3] Menurut Ninian Smart worldview adalah kepercayaan,
perasaan dan apa-apa yang terdapat dalam pikiran orang yang befungsi sebagai
motor bagi keberlangsungan dan perubahan sosial dan moral” Worldview, Crosscultural Explorations of
Human Belief (Charles Sribner’s sons, New York, n.d. 1-2)
[4] Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, Pandangan Hidup dan Tradisi Intelektual
Islam: Eksposisi awal framework pemikiran Islam, (makalah belum
diterbitkan, dibagikan dalam kelas filsafat Islam fakultas Ushuluddin semester
V Institut studi Islam Darussalam). 2010. Hal. 9.
[5] Seperti yang disampaikan oleh Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi
dalam materi kuliah filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Semester V
Institut Studi Islam Darussalam, Kampus Robithoh, Ponorogo, 2010.
PENGARUH ORIENTALIS TERHADAP KAJIAN
SEJARAH FILSAFAT ISLAM
Bila kita mengkaji sejarah filsafat
Islam, terutama di perguruan-perguruan tinggi di Indonesia, maka kita akan
menemukan adanya silabus yang seragam. Yaitu kajian filsafat Islam yang diawali
dengan kajian terhadap al-Kindi. Selanjutnya diikuti oleh al-Farabi, Ibn Sina,
al-Ghazali, Ibn Rusyd dan kawan-kawan, dan setelah itu selesai.
Al-Kindi dikenal sebagai filosof Muslim
pertama karena usahanya dalam penterjemahan naskah-naskah Yunani yang
dipeloporinya. Banyak orang mengir bahwa fakta ini menunjukkan bahwa memang
al-Kindilah filosof Muslim pertama, artinya, sebelum itu tidak ada filosof
Muslim. Artinya pula, bahwa sebelum penterjemahan naskah-naskah Yunani ke dalam
bahasa Arab dan Persi, tidak ada tradisi filsafat dalam Islam. Dan filsafat
Islam baru ada setelah masuknya teks-teks Yunani ke dalam dunia Islam. Benarkah
klaim ini?
Bila ditelusuri, klaim-klaim seperti ini
[bahkan menjadi baku dalam silabus-silabus kajian filsafat Islam] ini bisa
ditelusuri dari kajian-kajian para orientalis [dengan mengecualikan beberapa
orang di antara mereka]. Mereka [para orientalis] berpendapat bahwa tidak ada
tradisi filsafat dalam Islam [Peter F.E]. Atau Islam datang ke dunia ini tanpa
filsafat [De Boer]. Ada juga yang berpendapat lebih ekstrim bahwa tradisi
rasional dalam Islam itu sepenuhnya dipengaruhi oleh tradisi Hellenisme dan
Yunani.
Memang, secara bahasa nama filsafat
berasal dari bahasa Yunani yang diarabkan. Dan tidak bisa dipungkiri bila dalam
tradisi intelektual Islam, filsafat merupakan penjelasan, penafsiran, dan
adapsi elemen-elemen penting filsafat Yunani. Tapi dalam faktanya, cendekiawan
Muslim juga menyeleksi dan mengembangkan elemen-elemen tersebut. Juga perlu
diperhatikan bahwa, mereka [cendekiawan Muslim] tidak akan mampu menafsirkan,
menjelaskan, serta mengadapsi pandangan-pandangan dalam cakrawala keimuan Islam
bila mereka tidak memiliki pandangan hidup yang kuat.
Dalam sejarah Islam, filsafat atau
falsafah Islam dirujuk pada tradisi ilmiah Islam pada abad ke-8, terutama pada
pegnkajian teks-teks Yunani. Namun, dalam perjalanannya, nama ini telah
diterima sebagai salah satu cabang pengetahuan dalam Islam. Asal-usul nama
filsafat juga tidak lagi dipermasalahkan. Yang lebih ditekankan dalam filsafat
Islam adalah ilmu tentang Wujud. Ibn Taymiyah juga tidak keberatan dengan
istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-shahihah. Maka, nama ini diterima sebagai ilmu tentang Wujud.
Dan pada kenyataannya, apa yang dikaji dalam filsafat pada umumnya diawali
dengan pengkajian tentang Wujud ini.
Sayangnya, para orientalis hanya melihat
filsfat Islam dari kaca mata mereka. Yaitu, yang dinamakan filsafat adalah
tradisi rasional Yunani, terutama Neoplatonis Aristotelian atau filsfat
paripatetik saja. Akibatnya, tradisi rasional Islam dan cendekiawan Muslim yang
masuk dalam daftar filosof hanya mereka yang Neoplatonis Aristotelian, seperti
al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan lainnya. Atau secara singkat framework yang
dipakai adalah sebagai berikut. Filsfat Islam dimulai oleh al-Kindi yang
mula-mula bersentuhan dengan teks-teks Yunani. Tradisi ini dilanjutkan dan
dikembangkan oleh generasi berikutnya dengan sangat canggih, yaitu oleh
al-Farabi dan Ibn Sina. Namun pada tahap berikutnya, ada serangan terhadap
tradisi filsafat ini oleh seorang teolog, yaitu al-Ghazali. Sayangnya, serangan
ini tidka tepat sasaran. Maka oleh generasi berikutnya, kritik al-Ghazali
dijawab oleh Ibn Rusyd yang berasal dari dataran Barat Andalusia.
Pada umumnya, kajian tentang sejarah
filsafat akan berhendi sampai di sini. Kalaupun ada penambahan, maka rel yang
digunakan tetap merujuk pada filsafat paripatetik.
Lalu bagaimana mendudukkan sejarah
filsafat Islam yang tepat?
Seperti yang dijelaskan di atas, memang
nama filsafat Islam berasal dari Yunani. Dalam Islam sendiri terdapat konsep
hikmah. Ketika umat Islam berkenalan dengan filsafat Yunani, mereka
mengembangkannya namun tetap berpegangan pada konsep hikmah tersebut. Jadi,
yang terjadi bukan pengambilan seluruh pemikiran filsafat Yunani ke dalam
Islam, tapi hikmah dalam Islam telah menemukan sparing partnernya untuk
berkembang. Dengan demikian, filsafat Islam dapat didefinisikan sesuai dengan
konsep-konsep dalam wahyu dan berpijak pada doktrin tawhid. Di sini filsafat
Islam tidka hanya dapat dicari akarnya dari al-Qur`an, hadis, dan tradisi
intelektual Islam, tapi juga dapat dikembangkan berdasarkan konsep-konsep yang
terdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, framework Sejarah Filsafat Islam dimulai
dengan pembahsan dari konsep al-Qur`an, Kalam, falsafah (pemikir Muslim baik
pengikut paripatetik maupun pengkrtiknya), dan tasawwuf.
Dengan pengkajian yang luas tersebut,
kajian sejarah filsafat Islam akan menemukan akarnya dalam tradisi Islam. Ia
tidka hanya berakar pada penterjemahan pada abad ke-8 saja. Ia juga mencakup
semua aktifitas berpikir dalam Islam, baik dari kalangan teolog [seperti Hasan
al-Basri, Wasil bin Atha’, dan lainnya], bidang hukum [seeprti Abu Hanifah,
Ja’far Shidiq, Malik bin Anas, dan lainnya], tradisionalis [seperti Urwah bin
Zubair, Ibn Ishaq, dan lainnya], dan dari mazhab-mazhab filsafat itu sendiri,
seprti mazhab Sunni, paripatetik, Sufi, Naturalis, dan Ikhwan al-Shafa.
Sehingga didatapi pula, bahwa tradisi paripatetik [al-Kindi dan lainnya] itu
hanya bagian kecil dari sebuah tradisi berpikir rasional dalam Islam.
Pengkajian selanjutnya adalah tahap perkembangan dan reorientasi pemikiran
filsafat hingga masa kini.
Yang perlu dilakukan dalam hal ini adalah
pendefinisian ulang terhadap filsafat Islam. Filsafat Islam harus didefinisikan
sesuai dengan adanya fakta sejarah tradisi rasional dalam Islam. Selain itu,
perlu juga dijelaskan tentang proses lahirnya filsafat Islam secara benar.
Dengan demikian, sejarah filsafat Islam akan bisa dilacak dari akarnay yang
paling dalam.
Catatan
ini disarikan dari kuliah-kuliah bersama Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi di beberapa
kesempatan yang membahas tentang Orientalisme dan Pandangan Hidup Islam
[Islamic Worldview] yang diselenggarakan oleh Insists.
Cinangka, 17 April 2008.
No comments:
Post a Comment