Monday, February 24, 2014

Agama dan Demokrasi



AGAMA DAN DEMOKRASI

Demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat dalam mengambil keputusan dan memperhatikan hak-hak yang diperintah : hak berekspresi, hak mengontrol tindakan penguasa, hak untuk diperlakukan sama didepan hukum. Demokrasi dalam pengertian ini, bukan saja tidak bertentangan dengan islam tetapi bahkan mewujudkan ajaran islam in toto dalam kehidupan bernegara. Secara singkat argumentasinya adalah sebagai berikut :
1.      Banyak ayat al-qur’an dan hadits yang memerintahkan untuk bermusyawarah, diantarnya : QS Asy-Syura ayat 38 dan QS Ali Imron ayat 159
2.      Islam seperti termaktub dalam al-qur’an dan sunah menganjurkan orang untuk berani mengatakan yang benar.
3.      Tujuan syariat islam adalah memelihara kemaslahatan manusia, tujuan ini tidak dapat dicapai kecuali dengan menegakkan demokrasi .[1]

  1. Perbedaan Ontologis Agama Dan Demokrasi

Agama diyakini sebagai sistem keyakinan yang mengajarkan kesetiaan total manusia terhadap tuhan secara vertikal. Sementara demokrasi, sebagai ideologi adalah konsepsi produk manusia yang merelatifkan pandangan dogmatis serta absolut, dan senantiasa mengasumsikan proses tawar menawar antara sesama manusia secara horisontal.
 Aktualisasi prima sikap keberagamaan adalah berupa penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Sedangkan pemenuhan demokrasi terwujudkan pada kesediaan berkompromi dengan menenggang kehendak orang lain seraya mengorbankan sebagian kehendak kita. Demokrasi berarti menempatkan kehendak dan rasional manusia yang terlembagakan sebagai acuan perilaku kita dalam bermasyarakat dan bernegara. Sedangkan dalam kehidupan beragama yang menjadi acuan terakhir dan tertinggi adalah ajaran Tuhan.[2]
Dengan perbedaan ontologis tersebut, apakah dengan perbedaan ontologis tadi secara moral dan fungsional juga keduanya tidak bisa bertemu?
Dilihat dari basis empiriknya, agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan demikian agama dan demokrasi memiliki dialektikanya sendiri. Perbedaan basis empirik itu tidak akan menghalangi bertemunya dua konsep, antara yang non empirik dengan yang empirik akan bertemu pada satu titik. Sebab, meski agama berdasarkan wahyu tetapi ia diterima berdasarkan penalaran manusia. Lebih-lebih karena wahyu mengandung nilai-nilai yang mendorong demokrasi. Begitu pula ayat-ayat tentang “syuura”. Kandungan nilai ajaran-ajaran ini jelas mendukung demokrasi.[3]
Baik perilaku keberagamaan maupun demokrasi, sesungguhnya keduanya merupakan fenomena dan realitas budaya. Artinya, yang menjadi subjek adalah manusia. Begitu agama diwahyukan kepada manusia, maka ia sudah terlibat dalam proses kompromi dan tawar-menawar dengan norma-norma budaya yang melembaga dalam kehidupan manusia. Karena itu, kita bisa saja berteori tentang ajaran agama yang murni dan ortodoks, tetapi agaknya absurd untuk mengklaim adanya fenomena dan praktek keberagamaan yang murni, tanpa terjadi interaksi dan akulturasi dengan nilai-nilai budaya lokal dimana agama itu dipraktekkan.[4]
Dalam agama memang tidak ada penjelasan definitif tentang bentuk demokrasi. Inilah fleksibilitas agama. Bentuk demokrasi yang tepat itu tergantung pada penalaran,  bersifat situasional, dan dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Oleh karena itu sampai saat ini tidak ada kesamaan bentuk demokrasi di dunia ini.[5]

  1. Titik Temu Agama Dan Demokrasi

Meskipun secara ontologis agama dan demokrasi berbeda,tetapi keduanya teraktualsasikan dalam wilayah yang sama yaitu, dunia manusia dengan segala kompleksitasnya. Pertanyaannya adalah, apakah antara agama dan demokrasi terdapat premis dan komitmen yang sama tentang cita-cita demokrasi dan kemanusiaan?
Telah disepakati, bahwa agama-agama besar, yaitu yahudi, nasrani, dan islam pada dasarnya memiliki kesamaan orientasi berupa pelayanan kepada manusia agar mereka bisa meningkatkan kualitas dan harkat hidupnya demi kesejahteraan bersama. Pandangan yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan benar adalah pandangan yang keliru. Tetapi pernyataan bahwa nilai kebenaran dan komitmen kemanusiaan hanya terdapat dalam agama tertentu adalah pandangan yang eksklusif dan sektarianistik.
Dalam konteks pengembangan demokrasi, barangkali sikap yang perlu dikembangkan ialah masing-masing orang meyakini dan menghayati ajaran agamanya secara benar, dan itu merupakan komitmen yang sangat pribadi. Masing-masing pemeluk agama boleh mereguk manisnya iman menurut keyakinan dan kepercayaannya. Tetapi meskipun masing-masing berada dalam “cawan” yang berbeda, refleksi iman mereka diharapkan bisa bertemu dalam semangat yang sama untuk menegakkan iman dan harkat kemanusiaan melalui tatakrama demokrasi.
Semakin tinggi tingkat keberagamaan seseorang, barangkali akan semakin tinggi apresiasinya terhadap demokrasi. Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi kadar penghayatan demokrasi seseorang, akan semakin toleran ia menghadapi plurarisme keberagamaan.[6] Selanjutnya bila cita-cita demokrasi dan misi agama adalah pendidikan dan pelayanan pada masyarakat untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiannya melalui pranata masyarakat dan negara, maka agama dan demokrasi mestinya saling mengisi. Agama memberikan pedoman moral dan daya imperatif yang bersifat transenden yang datang dari atas, sementara itu merupakan dinamika etis kemanusiaan yang datang dari bawah.[7]




















DAFTAR PUSTAKA

*      Dkk, Franz Magnis Suseno,  AGAMA DAN DEMOKRASI, Jakarta : CV Guna Aksara, 1992,.
*      Aziz, M. Imam, AGAMA DEMOKRASI DAN KEADILAN, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
*      Hidayat, Komaruddin, TRAGEDI RAJA MIDAS “Moralitas Agama dan Krisis Modernisme”, Jakarta : Paramadina, 1998.


[1] Franz Magnis Suseno, dkk, AGAMA DAN DEMOKRASI, Jakarta : CV Guna Aksara, 1992, hal. 40-41
[2] Komaruddin Hidayat, TRAGEDI RAJA MIDAS “Moralitas Agama dan Krisis Modernisme”, Jakarta : Paramadina, 1998, hal.4
[3] M. Imam Aziz, AGAMA DEMOKRASI DAN KEADILAN, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal.30
[4] Opcit, Komaruddin Hidayat...., hal.5
[5] Opcit, M. Imam Aziz...., hal.31
[6] Opcit, Komaruddin Hidayat...., hal.6

No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...