AGAMA
DAN DEMOKRASI
Demokrasi
sebagai sistem pemerintahan yang mengikutsertakan rakyat dalam mengambil
keputusan dan memperhatikan hak-hak yang diperintah : hak berekspresi, hak
mengontrol tindakan penguasa, hak untuk diperlakukan sama didepan hukum.
Demokrasi dalam pengertian ini, bukan saja tidak bertentangan dengan islam
tetapi bahkan mewujudkan ajaran islam in
toto dalam kehidupan bernegara. Secara singkat argumentasinya adalah
sebagai berikut :
1.
Banyak ayat
al-qur’an dan hadits yang memerintahkan untuk bermusyawarah, diantarnya : QS
Asy-Syura ayat 38 dan QS Ali Imron ayat 159
2.
Islam seperti
termaktub dalam al-qur’an dan sunah menganjurkan orang untuk berani mengatakan
yang benar.
3.
Tujuan syariat
islam adalah memelihara kemaslahatan manusia, tujuan ini tidak dapat dicapai
kecuali dengan menegakkan demokrasi .[1]
- Perbedaan Ontologis Agama Dan Demokrasi
Agama
diyakini sebagai sistem keyakinan yang mengajarkan kesetiaan total manusia
terhadap tuhan secara vertikal. Sementara demokrasi, sebagai ideologi adalah
konsepsi produk manusia yang merelatifkan pandangan dogmatis serta absolut, dan
senantiasa mengasumsikan proses tawar menawar antara sesama manusia secara
horisontal.
Aktualisasi prima sikap keberagamaan adalah
berupa penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak Tuhan. Sedangkan pemenuhan
demokrasi terwujudkan pada kesediaan berkompromi dengan menenggang kehendak
orang lain seraya mengorbankan sebagian kehendak kita. Demokrasi berarti
menempatkan kehendak dan rasional manusia yang terlembagakan sebagai acuan
perilaku kita dalam bermasyarakat dan bernegara. Sedangkan dalam kehidupan
beragama yang menjadi acuan terakhir dan tertinggi adalah ajaran Tuhan.[2]
Dengan
perbedaan ontologis tersebut, apakah
dengan perbedaan ontologis tadi secara moral dan fungsional juga keduanya tidak
bisa bertemu?
Dilihat
dari basis empiriknya, agama dan demokrasi memang berbeda. Agama berasal dari
wahyu sementara demokrasi berasal dari pergumulan pemikiran manusia. Dengan
demikian agama dan demokrasi memiliki dialektikanya sendiri. Perbedaan basis
empirik itu tidak akan menghalangi bertemunya dua konsep, antara yang non
empirik dengan yang empirik akan bertemu pada satu titik. Sebab, meski agama
berdasarkan wahyu tetapi ia diterima berdasarkan penalaran manusia. Lebih-lebih
karena wahyu mengandung nilai-nilai yang mendorong demokrasi. Begitu pula
ayat-ayat tentang “syuura”. Kandungan
nilai ajaran-ajaran ini jelas mendukung demokrasi.[3]
Baik
perilaku keberagamaan maupun demokrasi, sesungguhnya keduanya merupakan
fenomena dan realitas budaya. Artinya, yang menjadi subjek adalah manusia. Begitu
agama diwahyukan kepada manusia, maka ia sudah terlibat dalam proses kompromi
dan tawar-menawar dengan norma-norma budaya yang melembaga dalam kehidupan manusia.
Karena itu, kita bisa saja berteori tentang ajaran agama yang murni dan
ortodoks, tetapi agaknya absurd untuk
mengklaim adanya fenomena dan praktek keberagamaan yang murni, tanpa terjadi
interaksi dan akulturasi dengan nilai-nilai budaya lokal dimana agama itu
dipraktekkan.[4]
Dalam
agama memang tidak ada penjelasan definitif tentang bentuk demokrasi. Inilah
fleksibilitas agama. Bentuk demokrasi yang tepat itu tergantung pada
penalaran, bersifat situasional, dan
dipengaruhi oleh faktor kebudayaan. Oleh karena itu sampai saat ini tidak ada
kesamaan bentuk demokrasi di dunia ini.[5]
- Titik Temu Agama Dan Demokrasi
Meskipun
secara ontologis agama dan demokrasi berbeda,tetapi keduanya teraktualsasikan
dalam wilayah yang sama yaitu, dunia manusia dengan segala kompleksitasnya.
Pertanyaannya adalah, apakah antara agama
dan demokrasi terdapat premis dan komitmen yang sama tentang cita-cita
demokrasi dan kemanusiaan?
Telah
disepakati, bahwa agama-agama besar, yaitu yahudi, nasrani, dan islam pada
dasarnya memiliki kesamaan orientasi berupa pelayanan kepada manusia agar
mereka bisa meningkatkan kualitas dan harkat hidupnya demi kesejahteraan
bersama. Pandangan yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan benar adalah
pandangan yang keliru. Tetapi pernyataan bahwa nilai kebenaran dan komitmen
kemanusiaan hanya terdapat dalam agama tertentu adalah pandangan yang eksklusif
dan sektarianistik.
Dalam
konteks pengembangan demokrasi, barangkali sikap yang perlu dikembangkan ialah
masing-masing orang meyakini dan menghayati ajaran agamanya secara benar, dan
itu merupakan komitmen yang sangat pribadi. Masing-masing pemeluk agama boleh
mereguk manisnya iman menurut keyakinan dan kepercayaannya. Tetapi meskipun
masing-masing berada dalam “cawan” yang berbeda, refleksi iman mereka
diharapkan bisa bertemu dalam semangat yang sama untuk menegakkan iman dan
harkat kemanusiaan melalui tatakrama demokrasi.
Semakin
tinggi tingkat keberagamaan seseorang, barangkali akan semakin tinggi
apresiasinya terhadap demokrasi. Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi kadar
penghayatan demokrasi seseorang, akan semakin toleran ia menghadapi plurarisme
keberagamaan.[6] Selanjutnya bila
cita-cita demokrasi dan misi agama adalah pendidikan dan pelayanan pada
masyarakat untuk mengaktualisasikan potensi kemanusiannya melalui pranata
masyarakat dan negara, maka agama dan demokrasi mestinya saling mengisi. Agama
memberikan pedoman moral dan daya imperatif yang bersifat transenden yang
datang dari atas, sementara itu merupakan dinamika etis kemanusiaan yang datang
dari bawah.[7]
DAFTAR
PUSTAKA
Dkk, Franz
Magnis Suseno, AGAMA DAN DEMOKRASI, Jakarta : CV Guna Aksara, 1992,.
Aziz, M. Imam, AGAMA DEMOKRASI DAN KEADILAN, Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.
Hidayat,
Komaruddin, TRAGEDI RAJA MIDAS “Moralitas
Agama dan Krisis Modernisme”, Jakarta : Paramadina, 1998.
[1]
Franz Magnis Suseno, dkk, AGAMA DAN
DEMOKRASI, Jakarta : CV Guna Aksara, 1992, hal. 40-41
[2]
Komaruddin Hidayat, TRAGEDI RAJA MIDAS
“Moralitas Agama dan Krisis Modernisme”, Jakarta : Paramadina, 1998, hal.4
[3]
M. Imam Aziz, AGAMA DEMOKRASI DAN
KEADILAN, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, hal.30
[4]
Opcit, Komaruddin Hidayat...., hal.5
[5]
Opcit, M. Imam Aziz...., hal.31
[6]
Opcit, Komaruddin Hidayat...., hal.6
No comments:
Post a Comment