Tuesday, February 25, 2014

MODEL KLIEN DALAM BPI



MODEL-MODEL KLIEN DALAM BPI
MAKALAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits Dakwah
Dosen Pengampu: Mr. Abdul Sattar




Disusun oleh :
Nur Syafitri Ramadhani (091111043)
Octaviani Zulaekha (091111044)
Puji Astuti (091111045)



BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
MODEL-MODEL KLIEN DALAM BPI
A.    PENDAHULUAN
Allah subhanahu wata’ala menciptakan alam dengan segenap isinya, kemudian mengaturnya adalah dengan kebijak-sanaan, kemurahan, dan kasih sayang-Nya. Maka kewajiban segenap hamba adalah ta’at, bersyukur, bersabar, dan memohon rahmat serta ampunan-Nya
Anak-anak yatim ditaqdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala lahir atau tumbuh berkembang tanpa orang tua adalah berdasar kebijaksanaan Allah subhanahu wata’ala yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Ketiadaan orang tua bukan berarti kekurangan atau hambatan bagi mereka, akan tetapi terdapat banyak hikmah yang diatur oleh Allah subhanahu wata’ala di antaranya:
1.      Sebagai sarana bagi kaum mukminin untuk saling berlomba, tolong-menolong, terutama ber-lomba menolong anak yatim.
2.      Sebagai sarana bagi kaum mukminin untuk saling memperhatikan dan peduli terhadap nasib sesama, terutama terhadap anak yatim.
3.      Sebagai sarana kaum mukminin untuk menghidupkan sunnah nabi dan menegakkan ajaran Allah subhanahu wata’ala, tentang perhatian terhadap anak yatim.
4.      Sebagai sarana kaum mukminin menuntut dirinya memenuhi janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu duduk bersanding dengan beliau bagi siapa yang menjamin anak yatim.
5.      Sebagai wahana berkiprah bagi anak yatim itu sendiri di kalangan kaum muslimin yang memperhatikannya, bagai seorang anak kepada bapaknya sendiri.
6.      Sebagai bukti bahwa Allah subhanahu wata’ala lah yang Mahakuasa, mengatur, dan yang berhak diibadahi.
7.      Sebagai bukti kebenaran iman seorang mukmin dengan memperhatikan anak yatim.
8.      Sebagai wahana memperhalus dan memperindah akhlaq kaum mukmin dengan cara bergaul dengan mereka/sebagai benteng kaum mukmin dari api neraka.
Tiada tatanan kehidupan yang lebih indah dari yang dibawa oleh syariat Islam. Konsep menuju kehidupan yang tenteram dan damai baik sebagai individu maupun kelompok telah dipaparkan dengan gamblangnya dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah saw. Di antara konsep tersebut adalah keharusan menjalin kasih sayang kepada sesama muslim tanpa memandang usia, asal-usul serta status sosial. Eratnya tali cinta kasih ini juga tidak terbatas ketika mereka sama-sama masih hidup, bahkan telah mati sekalipun. Allah telah mengabadikan doa orang-orang yang beriman yang datang setelah kaum Muhajirin dan Anshar dalam Al-Qur’an:
 
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)
Kemudian dalam makalah hadits ini kan dipaparkan bagaimana memberikan bimbingan terhadap anak yatim serta bagaimana sikap terhadap orang yang lebih tua dan muda.
B.     PERMASALAHAN
1.      Bagaimana memberikan bimbingan terhadap anak yatim?
2.      Bagaimana sikap terhadap orang yang lebih tua dan lebih muda?
C.    PEMBAHASAN
1.      Bimbingan Terhadap Anak Yatim
·         Batasan Yatim Menurut Para Ulama Dan Anjuran Berbuat Ihsan Kepada Mereka
Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu mereka yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan seorang anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam.
لاَ يُتْمَ بَعْدَ احْتِلاَمٍ
"Tidak ada keyatiman setelah baligh ......"[1]
Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى

Dari Abu Hurairah ra., Ia berkata: Rasululah saw bersabda :"Orang yang menanggung anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, maka aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya". (HR Bukhori)[2]
Beliau hafizhahullah berkata, "Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah kerabatnya ataupun ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang memiliki kekerabatan dengannya.
Anak yatim yang ditinggal mati oleh orang tuanya memerlukan perawatan (pemeliharaan) dan pendidikan sampai dia dewasa. Apabila anak yatim itu memiliki harta warisan, maka pemeliharanya wajib memelihara hartanya itu dan menjaganya dengan baik. Bagi orang yang mampu tidak dibenarkan mengambil harta anak yatim itu untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Namun, sekiranya tidak mampu maka dapat mengambil seperlunya untuk menutupi keperlun hidupnya dan keluarganya dan jangan sampai berlebihan.[3]
Sebagian orang berminat memelihara (mengasuh) anak yatim, karena mengharapkan hartanya dan mengalihkannya untuk menjadi milik sendiri. Orang yang berbuat demikian, dosanya amat besar dan mendapat kutukan dari Allah SWT. Telah banyak nash-nash syar’i yang menjelaskan keharaman memakan harta anak yatim secara zhalim. Seluruh nash-nash tersebut datang dengan shighat tahrim (konteks pengharaman atau larangan) yang sangat tegas. Di antara nash-nash tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat An Nisa’ di atas:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala".
[an-Nisa’: 10]
Anak-anak yatim memerlukan pendidikan dan tarbiyyah yang lebih spesifik dibanding anak-anak lainnya. Hal ini mengingat kondisi mereka yang kehilangan unsur-unsur esensial yang mereka butuhkan dalam hidup.
Diantaranya ialah kasih sayang orang tua. Oleh karena itu, hal pertama yang mereka butuhkan ialah kepuasan terhadap rasa kasih sayang, terpenuhinya perasaan aman, serta kehadiran sosok pengasuh pengganti orang tuanya yang mampu memberikan pengarahan dan bimbingan untuknya, memenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohaninya. Mereka juga membutuhkan dorongan motivasi untuk ikut berkembang dalam lingkungan masyarakat sebagaimana umumnya anak-anak yang lain. Para yatim adalah anak-anak yang kehilangan unsur- unsur kekuatan hidup mereka. Mereka kehilangan muara kasih sayang hakiki dengan meninggalnya orang tua.
وَعَنْ أَبِى شُرَيْحٍ خُوَيْلِدِبْنِ عَمْرٍالْخُزَاعِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :اَلَّلهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيْفَيْنِ : ألْيَتِيْمِ وَ الْمَرْأَةِ
Dari Abu Syuraih Khuailid bin ‘Amr Al-Khuza’iy ra., ia berkata: Rasululah saw bersabda : "Ya Allah, sesungguhnya saya menganggap berdosa agi orang yang menyia-nyiakan hak dua orang lemah yaitu: anak yatim dan perempuan.”[4]
Untuk itu, Islam mendorong setiap muslim untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yatim dan menjanjikan pahala yang agung bagi siapa saja yang berbuat baik kepada mereka.
·         Metode tarbiyyah bagi anak yatim
Di antaranya ialah sebagai berikut :
1)      Hendaknya sosok pendidik pengganti orang tua yang meninggal itu memiliki kemampuan untuk mengarahkan anak yatim, mampu mengemban tanggung jawab pendidikan mereka dan memahami dengan baik dan sempurna tentang problematika anak yatim serta hukum-hukumnya. Juga mampu memenuhi kebutuhan mereka akan kasih sayang dan cinta kasih, dan tidak membedakan anak-anak yatim itu antara yang satu dengan lainnya.
2)      Adanya tekad yang kuat dan niat yang lurus dari pemelihara yatim tersebut untuk mendidik mereka, karena banyak pemelihara yatim yang meremehkan masalah ini serta menzhalimi hak mereka. Sewajibnya bagi pemelihara anak yatim untuk memperlakukan mereka sebagaimana layaknya mereka memperlakukan anak-anak mereka sendiri.
3)      Memberikan waktu luang dan kesempatan yang cukup bagi sang yatim untuk bergaul dengan anak-anak lainnya. Sebisa mungkin dihindari hal-hal yang bisa menimbulkan kegoncangan jiwa bagi mereka, serta menjauhi sikap memata-matai mereka dalam setiap urusan, agar mereka merasa diberi kepercayaan untuk mengurusi urusannya sendiri. Dengan demikian, akal dan dan fungsi sosialnya akan berkembang. Sedangkan kewajiban ibu adalah memberikan pemahaman tentang tanggung jawab hidup kepada anak ketika mereka menginjak usia dewasa, fahamkan bahwa mereka adalah generasi harapan ibunya. Dengan cara ini, ibu turut membantu anak untuk mencapai kematangan dan kedewasaan dalam bertindak, serta kemapanan dalam berpikir untuk menghadapi hidup.
4)      Dalam kondisi perceraian, hendaklah kedua orang tua bertindak dengan penuh bijaksana dan sarat dengan kematangan jiwa, hingga anak dapat tumbuh lurus tanpa adanya tekanan ataupun gangguan psikhis lainnya. Selayaknya mereka saling memberikan dan menunjukkan penghormatan kepada mantan pasangan, menghindari sejauh-jauhnya saling cela dan tuduh satu dengan lainnya serta tidak membeberkan seluruh konflik yang terjadi di antara mereka berdua kepada sang anak. Dengan cara seperti ini, kebutuhan anak akan kebahagiaan yang berhak ia dapatkan dari kedua orang tuanya akan senantiasa tercukupi, serta hak kedua orang tua untuk mengasuh dan mendidik anak mereka tetap terjaga, karena sikap mulia dan perwira dari kedua orang tuanya yang saling menghormati satu dengan lainnya meski dalam kondisi perceraian, akan terekam kuat dalam memori sang anak. Sang anak akan tetap menghormati kedua orang tuanya, karena hal itu ia lihat dari sikap kedua orang tuanya dalam wujud nyata. Dan sebaliknya, jika kedua orang tua saling cela dan menyalahkan satu sama lainya, saling membeberkan kejelekan pasangannya di hadapan sang anak, hal ini akan merusak kepercayaan dan penghormatan sang anak kepada kedua orang tuanya sekaligus, sehingga ia tidak lagi mau menghormati kedua orang tuanya serta sulit untuk menerima arahan dan bimbingan dari keduanya.[5]

2.      Sikap Terhadap Orang Yang Lebih Tua Dan Lebih Muda
·         Mendahulukan orang yang lebih tua
Ada beberapa keadaan yang disyariatkan untuk mengutamakan orang yang lebih tua, di antaranya:
1)      Dalam mengimami shalat.
Nabi n bersabda dalam hadits Malik bin Al-Huwairits z:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمُّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
“Bila waktu shalat telah tiba maka hendaklah salah seorang kalian mengumandangkan adzan dan orang yang paling tua mengimami shalat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 628)
Disebutkan dalam hadits lain, bahwa Nabi n bersabda (yang) artinya:
“Yang mengimami manusia adalah orang yang pandai membaca (memahami) Al-Qur’an. Bila dari sisi bacaan Al-Qur’an mereka sama maka yang paling tahu tentang sunnah. Bila pengetahuan mereka tentang sunnah sama maka yang paling dahulu berhijrah. Bila dalam hijrah mereka sama maka yang paling tua umurnya.” (HR. Muslim)
2)      Dalam berbicara dan memberikan keterangan, kecuali yang kecil lebih tahu dan lebih mampu berbicara.
عَنْ رَافِعِ ابْنِ خَدِيْحٍ وَسَهْلِ ابْنِ أَبِي حَثْمَةَ أَنَّهُمَا حَدَّثَاهُ أَنَّ عَبْدَاللهِ بْنَ سَهْلٍ وَمُحَيِّصَةَ بْنَ مَسْعُوْدٍ أَتَيَا خَيْبَرَ فَتَفَرَّقَا فِى النَّخْلِ فَقُتِلَ عَبْدُاللهِ بْنُ سَهْلٍ فَجَاءَ عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ سَهْلٍ وَحُوَيِّصَةُ وَمُحَيِّصَةُ إِبْنَا مَسْعُوْدٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَكَلَّمُوْافِى أَمْرِصَاحِبِهِمْ فَبَدَأَ عَبْدُالرَّحْمَنِ وَكَانَ أَصْغَرَالْقَوْمِ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَبِّرِالْكُبْرَ،قَالَ يَحْيَ لِيَلِيَ الْكَلاَمَ الأَكْبَرُفَتَكَلَّمُوْافِى أَمْرِصَاحِبِهِمْ
Dari Rofi’ bin Hadij dan Sahl bin Jatsman, keduanya menceritakan bahwa sesungguhnya Abdullah bin Sahl dan Muhayyishoh bin Mas’ud datang di Haibar, keduanya berpencar di kebun kurma, kemudian Abdullah bin Sahl terbunuh, segera datanglah Abdurrohman, Huwayyishoh, dan Muhayyishoh (keduanya putra Mas’ud) datang menghadap Nabi Muhammad Saw. Mereka melaporkan kejadian yang menimpa saudaranya. Abdurrohman memulai bicara sedangkan ia orang yang paling muda usianya. Lalu Nabi bersabda: “Mulyakan yang lebih tua”, ayahnya berkata: “Hendaknya yang lebih tua yang mulai bicara”, lalu mereka melaporkan kejadian yang menimpa saudaranya.[6]
Perhatikanlah. Meski seorang dalam keadaan tertimpa musibah namun seorang tetap menjaga adab-adab agamanya.
3)      Tata Cara Menyuguhkan Sesuatu
عَنْ إِبْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرَانِيْ فِى الْمَنَامِ أَسَوَّكُ بِسِوَاكٍ فَجَذَبَنِى رَجُلاَنِي أحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنَ الاَخَرَفَنَاوَلْتُ السِّوَاكَ الاَصْغَرَ مِنْهُمَا فَقِيْلَ لِيْ كَبِّرْ فَدَفَعْتُهُ إِلَى الاَكْبَرِ
Dari Ibnu Umar Ra, Nabi Saw bersabda, “saya melihat di dalam mimpi saya bahwa saya sedang bersiwak, lalu dua orang datang, yang satu lebih tua dari yang lainnya. Saya memberikan siwak itu kepada orang yang lebih muda. Saya mendengar suara; berikan kepada yang lebih tua. Maka saya memberikannya kepada yang lebih tua.” (HR. al-Bukhari dan Musim)[7]
Dalam ulasan terhadap hadits ini, Syekh Ibn Utsaimin berkata:
Hadits ini merupakan dalil untuk memperhitungkan usia dan mendahulukan orang yang lebih tua dalam memberikan sesuatu. Misalnya, jika anda menyuguhkan makanan atau minuman, kopi atau teh misalnya, maka anda jangan memulai dengan orang yang berada di sebelah kanan anda, melainkan dengan orang yang paling tua di hadapan anda. Sebab, ketika nabi saw hendak memberikan siwak kepada orang yang lebih muda, dikatakan pada beliau, “berikan kepada yang lebih tua.” Kita sama-sama tahu, jika orang yang lebih muda itu berada di esbelh kiri beliau, maka nabi saw tidk akan memberikan siwak itu pertama-tama kepadanya. Jelas orang itu di sebelah kanan beliau, dan beliau memberikan siwak itu kepadanya semata-mata karena beliau senang memprioritaskan bagian kanan beliau. Tapi, beliau mendapat wahyu, “berikanlah kepada yang lebih tua.”
Karena itu jika anda memberikan sesuatu kepada orang-orang yang berada di hadapan anda, maka mulailah dengan orang yang paling tua dan jangan memulai dengan orang yang berada di sebelah kanan anda. Tapi, jika orang-orang itu berjajar di sebelah kanan kiri anda, maka mulailah dengan sebelah kanan anda.
Dengan demikian, kita dapat menyelaraskan makna hadits yang menunjukkan keharusan memperhitungkan usia, yakni memprioritaskan orang yang lebih tua, dengan hadits yang menunjukkan keharusan mmperhitungkan bagian kanan, yakni memprioritaskan orang yang berada di arah kanan.
Hal ini dikuatkan oleh sebuah riwayat yang mengisahkan bahwa Nabi Saw memegang wadah minum dan air darinya, sedangkan di sebelah kiri beliau ada orang tua dan di sebelah kanan beliau ada seorang anak, lalu beliau berkata kepada anak itu:   أَتَاْذَنُ لِى أَنْ أَعْطِيَ هَؤُلاَءِ “Apakah engkau mengijinkan jika aku memberi mereka terlebih dahulu?” Anak itu berkata, : “Tidak, Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan giliranku setelahmu kepada siapapun.” Maka Rasulullah saw memberikan minum tersebut kepada anak muda itu. (HR. al-Bukhari)[8]
Dengan demikian, jika orang-orang itu berjajar dengan anda, maka anda harus memulaii dengan orang yang berada di sebelah kanan, sedangkan jika orang-orang berada di hadapan anda, maka anda harus memulai dengan orang yang paling tua sebagaimana ditunjukkan oleh Sunnah.
·         Hendaklah Yang Kecil Memberi Salam Kepada Yang Besar
يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ، وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْر
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah yang kecil bersalam pada yang lebih besar, dan yang berjalan pada yang duduk, dan yang sedikit pada yang banyak.”[9]
Ibnu Baththal rahimahullahu mengatakan, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh rahimahullahu: “Pemberian salam orang yang lebih muda (kepada yang lebih tua, -pent.) disebabkan hak orang yang lebih tua. Karenanya orang yang lebih muda diperintahkan untuk memuliakannya serta bersikap rendah hati kepadanya.” (Fathul Bari, 11/22)
·         Menyayangi anak kecil
Bila orang yang telah lanjut usia mendapatkan hak penghormatan dan pemuliaan, demikian pula dengan anak yang masih kecil, dia berhak mendapat kasih sayang yang penuh. Anak kecil yang belum baligh secara umum masih lemah fisik dan mentalnya, serta belum mengetahui persis tentang kemaslahatan untuk dirinya. Kondisi yang seperti ini tentunya menggugah kita untuk memberikan kasih sayang kepadanya, karena beban syariat juga belum ditujukan kepadanya dan pena pencatat dosa pun belum berlaku atasnya. Oleh karenanya, menyayangi anak kecil merupakan keharusan.
Di dalam Ash-Shahihah (V: 2196) dituliskan,
 مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
 “Bukan termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua.”
Hadits ini merupakan ancaman bagi orang yang menyia-nyiakan dan meremehkan hak orang yang sudah tua, di mana orang tersebut tidak di atas petunjuk Nabi saw dan tidak menepati jalannya.
Nabi n bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi anak kecil kami.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.)[10]
Bila sifat belas kasihan dicabut dari seseorang maka hal itu menjadi pertanda kecelakaan baginya. Nabi saw bersabda:
لاَ تُنْزَعُ الرَّحْمَةُ إِلاَّ مِنْ شَقِيٍّ
“Tidaklah sifat kasih sayang dicabut melainkan dari orang yang celaka.” (HR. Ahmad)
Pernah pada suatu saat Nabi saw mencium Hasan bin Ali , cucunya. Waktu itu, di sisi Nabi ada seorang bernama Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Maka Al-Aqra’ mengatakan: “Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak, tidak pernah satu pun yang saya cium.” Maka Rasulullah saw melihat kepadanya dan mengatakan:
مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Orang yang tidak menyayangi maka tidak disayangi (Allah ).” (HR. Al-Bukhari no. 5997)[11]
Lihatlah, betapa meruginya yang tidak mendapat rahmat Allah padahal rahmat-Nya sangat luas. Sungguh balasan kebaikan adalah kebaikan, sebagaimana firman Allah :
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)
Tentunya, menyayangi anak kecil tidak hanya terbatas pada anaknya sendiri bahkan umum sifatnya. Bentuk menyayangi anak kecil juga banyak. Misalnya, dengan mencandainya tanpa ada kedustaan untuk memasukkan kegembiraan pada dirinya, menciumnya, menggendongnya, mengusap kepalanya, menyapa dan menyalaminya, serta mengucapkan salam kepadanya.
Pada suatu saat Anas bin Malik melewati anak-anak kecil lalu ia mengucapkan salam kepada mereka. Anas berkata: “Dahulu Rasulullah saw melakukan demikian.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Termasuk menyayangi anak kecil adalah tidak mengarahkan mereka kepada hal-hal yang membahayakannya.
D.    KESIMPULAN
Dalam ulasan di atas, telah kita ketahui bagaimana cara membimbing anak yatim dengan baik dan bagaimana cara bersikap pada orang yang lebih tua dan lebih muda. Membimbing anak yatim dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya memberikan kasih sayang, memberi perlindungan untuk dapat menimbulkan  perasaan aman, serta menghadirkan sosok pengasuh pengganti orang tuanya yang mampu memberikan pengarahan dan bimbingan untuknya, memenuhi segala kebutuhan jasmani dan rohaninya.
Kemudian, sikap yang baik terhadap orang yang lebih tua diantaranya adalah memulyakan dan menghormati yang tua semisal mendahulukan orang tua dalam hal apapun. Dan sikap yang lebih tua terhadap yang lebih muda adalah menyayangi dan menghargai.
Demikianlah bimbingan Islam yang sangat mulia. Umat hendaknya membuka mata agar melihat dengan nyata indahnya agama yang mereka anut ini. Perlu dipertegas kembali bahwa bimbingan Islam selalu relevan, tidak akan pernah usang dengan perubahan waktu dan zaman. Kita tidak akan terlalu bahagia dengan pesatnya teknologi dan menjamurnya penemuan (inovasi) baru, bila mental umat tidak dibangun, sehingga akidahnya rapuh dan akhlaknya karut-marut.
E.     PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Harapan kami makalah ini bisa digunakan sebagai bahan ajar dan bermanfaat bagi semua pembaca. Kami mohon maaf atas segala kekurangan baik  dalam tulisan atau materi. Dan kami mengharapkan kritik serta saran pembaca atas pembuatan makalah ini sebagai perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Utsaimin Dan Syekh Al-Albani, Syekh, Syarah Riyadhus Shalihin, Jakarta:Sahara Pustaka, 2006
Katsir, Ibnu, Tafsir Al Qur’anul Azhim, Jilid I, II dan V, Dar At Thayyibah, Cet. I, Th. 1422H.
Majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016
Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Imam Abdullah, Tarjamah Shahih Bukhari Jilid VIII, Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993
Salim bin Id Al Hilali, Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Jilid I dan II, Dar Ibnu Jauzi, Cet. VI, Th. 1422H
Hasan, M. Ali, Mengamalkan Sunah Rasulullah, Jakarta: Prenada Media, 2003, H. 194
Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Abu Zakaria, Al-Imam, Riyadhus Shalihin, Beirut: Darul Fikr, Cet,. IV, Rabiul Awal 1420 H



[1] Sunan Abu Dawud, no. 2.873. Lihat Tafsir Ibnu Katsir (II/ 215), tafsir ayat ke 6 dari surat An Nisa’.
[2] Salim bin Id Al Hilali, Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Jilid I dan II, Dar Ibnu Jauzi, Cet. VI, Th. 1422H, no. 2.983

[3] M. Ali Hasan, Mengamalkan Sunah Rasulullah, Jakarta: Prenada Media, 2003, H. 194
[4] Al-Imam Abu Zakaria Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, Beirut: Darul Fikr, Cet,. IV, Rabiul Awal 1420 H, hal.293

[5] Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016
[6] Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Tarjamah Shahih Bukhari Jilid VIII, Semarang : CV. Asy Syifa’, 1993, hal 127
[7] Syekh Ibnu Utsaimin Dan Syekh Al-Albani, Syarah Riyadhus Shalihin, Jakarta:Sahara Pustaka, 2006, Hal 147
[8] Ibid, hal. 148
[9] Ibid, hal. 202
[10] Op. Cit, Imam al-Nawawi, hal  322
[11] Op. Cit, Imam Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, hal. 25

1 comment:

  1. Ayo bosku Semuanya,
    Yuk iseng bermain game untuk mendapatkan uang tambahan setiap harinya Hanya di arena-domino.vip
    Modal Kecil Dapat Puluhan Juta ^^
    Bareng saya dan teman-temanku yang cantik-cantik loh !
    Info Situs www.arena-domino.vip
    yukk di add WA : +855964967353

    ReplyDelete

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...