MODEL-MODEL KLIEN DALAM BPI
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Hadits Dakwah
Dosen Pengampu: Mr. Abdul Sattar
Disusun oleh :
Nur Syafitri Ramadhani (091111043)
Octaviani Zulaekha (091111044)
Puji Astuti (091111045)
BIMBINGAN DAN PENYULUHAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
MODEL-MODEL KLIEN DALAM BPI
A.
PENDAHULUAN
Allah subhanahu wata’ala menciptakan alam dengan segenap
isinya, kemudian mengaturnya adalah dengan kebijak-sanaan, kemurahan, dan kasih
sayang-Nya. Maka kewajiban segenap hamba adalah ta’at, bersyukur, bersabar, dan
memohon rahmat serta ampunan-Nya
Anak-anak yatim ditaqdirkan oleh Allah subhanahu wata’ala
lahir atau tumbuh berkembang tanpa orang tua adalah berdasar kebijaksanaan
Allah subhanahu wata’ala yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Ketiadaan
orang tua bukan berarti kekurangan atau hambatan bagi mereka, akan tetapi
terdapat banyak hikmah yang diatur oleh Allah subhanahu wata’ala di
antaranya:
1.
Sebagai sarana bagi kaum mukminin
untuk saling berlomba, tolong-menolong, terutama ber-lomba menolong anak yatim.
2.
Sebagai sarana bagi kaum mukminin
untuk saling memperhatikan dan peduli terhadap nasib sesama, terutama terhadap
anak yatim.
3.
Sebagai sarana kaum mukminin untuk
menghidupkan sunnah nabi dan menegakkan ajaran Allah subhanahu wata’ala,
tentang perhatian terhadap anak yatim.
4.
Sebagai sarana kaum mukminin
menuntut dirinya memenuhi janji Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
yaitu duduk bersanding dengan beliau bagi siapa yang menjamin anak yatim.
5.
Sebagai wahana berkiprah bagi anak
yatim itu sendiri di kalangan kaum muslimin yang memperhatikannya, bagai
seorang anak kepada bapaknya sendiri.
6.
Sebagai bukti bahwa Allah subhanahu
wata’ala lah yang Mahakuasa, mengatur, dan yang berhak diibadahi.
7.
Sebagai bukti kebenaran iman seorang
mukmin dengan memperhatikan anak yatim.
8.
Sebagai wahana memperhalus dan
memperindah akhlaq kaum mukmin dengan cara bergaul dengan mereka/sebagai
benteng kaum mukmin dari api neraka.
Tiada tatanan kehidupan yang lebih indah dari yang dibawa oleh
syariat Islam. Konsep menuju kehidupan yang tenteram dan damai baik sebagai
individu maupun kelompok telah dipaparkan dengan gamblangnya dalam ayat-ayat
Al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah saw. Di antara konsep tersebut adalah
keharusan menjalin kasih sayang kepada sesama muslim tanpa memandang usia,
asal-usul serta status sosial. Eratnya tali cinta kasih ini juga tidak terbatas
ketika mereka sama-sama masih hidup, bahkan telah mati sekalipun. Allah telah
mengabadikan doa orang-orang yang beriman yang datang setelah kaum Muhajirin
dan Anshar dalam Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar),
mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang
telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian
dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya
Engkau Maha penyantun lagi Maha penyayang’.” (Al-Hasyr: 10)
Kemudian dalam makalah hadits ini kan dipaparkan bagaimana
memberikan bimbingan terhadap anak yatim serta bagaimana sikap terhadap orang
yang lebih tua dan muda.
B.
PERMASALAHAN
1.
Bagaimana
memberikan bimbingan terhadap anak yatim?
2.
Bagaimana
sikap terhadap orang yang lebih tua dan lebih muda?
C.
PEMBAHASAN
1.
Bimbingan Terhadap Anak Yatim
·
Batasan Yatim Menurut
Para Ulama Dan Anjuran Berbuat Ihsan Kepada Mereka
Sebagian fuqaha juga memasukkan dalam kategori anak yatim ini, yaitu mereka
yang kehilangan orang tuanya karena sakit dalam waktu yang sangat lama, atau
karena perceraian, safar, jihad, hilang dan sebab-sebab lainnya. Dan seorang
anak yatim akan keluar dari batasannya sebagai yatim, ketika ia telah mencapai
usia baligh, sesuai dengan hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasalam.
لاَ يُتْمَ بَعْدَ
احْتِلاَمٍ
"Tidak ada keyatiman setelah baligh ......"[1]
"Tidak ada keyatiman setelah baligh ......"[1]
Anak yatim adalah anak-anak yang kehilangan ayahnya karena meninggal sedang
mereka belum mencapai usia baligh. Batasan ini mencakup yatim yang masih ada
hubungan kekerabatan dengan si pemeliharanya, ataupun dari orang lain yang
tidak memiliki hubungan kekerabatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh
Salim bin Id Al Hilali hafizhahullah ketika mengomentari hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: كَافِلُ الْيَتِيمِ لَهُ أَوْ لِغَيْرِهِ أَنَا
وَهُوَ كَهَاتَيْنِ فِي الْجَنَّةِ وَأَشَارَ الرَّاوِيُ وَهُوَ مَالِكُ بْنُ
أَنَسٍ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى
Dari Abu Hurairah ra., Ia berkata: Rasululah saw bersabda :"Orang yang menanggung anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, maka aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya". (HR Bukhori)[2]
Dari Abu Hurairah ra., Ia berkata: Rasululah saw bersabda :"Orang yang menanggung anak yatim, baik dari kerabatnya atau orang lain, maka aku dan dia (kedudukannya) seperti dua jari ini di surga nanti.” Dan perawi, yaitu Malik bin Anas berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya". (HR Bukhori)[2]
Beliau hafizhahullah berkata, "Makna (لَهُ أوْ لِغَيْرِهِ ) adalah kerabatnya ataupun
ajnabi (orang lain). Sedangkan (yang termasuk) kerabat di sini, ialah ibu sang
yatim, atau saudara laki-lakinya ataupun pihak-pihak selain mereka yang
memiliki kekerabatan dengannya.
Anak yatim yang ditinggal mati oleh orang tuanya memerlukan
perawatan (pemeliharaan) dan pendidikan sampai dia dewasa. Apabila anak yatim
itu memiliki harta warisan, maka pemeliharanya wajib memelihara hartanya itu
dan menjaganya dengan baik. Bagi orang yang mampu tidak dibenarkan mengambil
harta anak yatim itu untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Namun,
sekiranya tidak mampu maka dapat mengambil seperlunya untuk menutupi keperlun
hidupnya dan keluarganya dan jangan sampai berlebihan.[3]
Sebagian orang berminat memelihara (mengasuh) anak yatim, karena
mengharapkan hartanya dan mengalihkannya untuk menjadi milik sendiri. Orang
yang berbuat demikian, dosanya amat besar dan mendapat kutukan dari Allah SWT. Telah banyak nash-nash syar’i yang menjelaskan keharaman memakan harta anak
yatim secara zhalim. Seluruh nash-nash tersebut datang dengan shighat tahrim
(konteks pengharaman atau larangan) yang sangat tegas. Di antara nash-nash
tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat An Nisa’ di atas:
إِنَّ الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ
نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala".
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zhalim, sebenarnya mereka menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala".
[an-Nisa’: 10]
Anak-anak yatim memerlukan pendidikan dan tarbiyyah yang lebih spesifik
dibanding anak-anak lainnya. Hal ini mengingat kondisi mereka yang kehilangan
unsur-unsur esensial yang mereka butuhkan dalam hidup.
Diantaranya ialah kasih sayang orang tua. Oleh karena itu, hal pertama yang
mereka butuhkan ialah kepuasan terhadap rasa kasih sayang, terpenuhinya
perasaan aman, serta kehadiran sosok pengasuh pengganti orang tuanya yang mampu
memberikan pengarahan dan bimbingan untuknya, memenuhi segala kebutuhan jasmani
dan rohaninya. Mereka juga membutuhkan dorongan motivasi untuk ikut berkembang
dalam lingkungan masyarakat sebagaimana umumnya anak-anak yang lain. Para yatim
adalah anak-anak yang kehilangan unsur- unsur kekuatan hidup mereka. Mereka
kehilangan muara kasih sayang hakiki dengan meninggalnya orang tua.
وَعَنْ أَبِى شُرَيْحٍ خُوَيْلِدِبْنِ عَمْرٍالْخُزَاعِيِّ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :اَلَّلهُمَّ
إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيْفَيْنِ : ألْيَتِيْمِ وَ الْمَرْأَةِ
Dari Abu Syuraih Khuailid bin ‘Amr Al-Khuza’iy ra., ia berkata: Rasululah
saw bersabda : "Ya Allah, sesungguhnya saya menganggap berdosa agi orang
yang menyia-nyiakan hak dua orang lemah yaitu: anak yatim dan perempuan.”[4]
Untuk itu, Islam mendorong setiap muslim untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yatim dan menjanjikan pahala yang agung bagi siapa saja yang
berbuat baik kepada mereka.
·
Metode tarbiyyah bagi
anak yatim
Di antaranya ialah sebagai berikut :
1) Hendaknya sosok pendidik pengganti orang tua yang meninggal itu memiliki
kemampuan untuk mengarahkan anak yatim, mampu mengemban tanggung jawab
pendidikan mereka dan memahami dengan baik dan sempurna tentang problematika
anak yatim serta hukum-hukumnya. Juga mampu memenuhi kebutuhan mereka akan
kasih sayang dan cinta kasih, dan tidak membedakan anak-anak yatim itu antara
yang satu dengan lainnya.
2) Adanya tekad yang kuat dan niat yang lurus dari pemelihara yatim tersebut
untuk mendidik mereka, karena banyak pemelihara yatim yang meremehkan masalah
ini serta menzhalimi hak mereka. Sewajibnya bagi pemelihara anak yatim untuk
memperlakukan mereka sebagaimana layaknya mereka memperlakukan anak-anak mereka
sendiri.
3) Memberikan waktu luang dan kesempatan yang cukup bagi sang yatim untuk
bergaul dengan anak-anak lainnya. Sebisa mungkin dihindari hal-hal yang bisa
menimbulkan kegoncangan jiwa bagi mereka, serta menjauhi sikap memata-matai
mereka dalam setiap urusan, agar mereka merasa diberi kepercayaan untuk
mengurusi urusannya sendiri. Dengan demikian, akal dan dan fungsi sosialnya
akan berkembang. Sedangkan kewajiban ibu adalah memberikan pemahaman tentang
tanggung jawab hidup kepada anak ketika mereka menginjak usia dewasa, fahamkan
bahwa mereka adalah generasi harapan ibunya. Dengan cara ini, ibu turut
membantu anak untuk mencapai kematangan dan kedewasaan dalam bertindak, serta
kemapanan dalam berpikir untuk menghadapi hidup.
4) Dalam kondisi perceraian, hendaklah kedua orang tua bertindak dengan penuh
bijaksana dan sarat dengan kematangan jiwa, hingga anak dapat tumbuh lurus
tanpa adanya tekanan ataupun gangguan psikhis lainnya. Selayaknya mereka saling
memberikan dan menunjukkan penghormatan kepada mantan pasangan, menghindari
sejauh-jauhnya saling cela dan tuduh satu dengan lainnya serta tidak membeberkan
seluruh konflik yang terjadi di antara mereka berdua kepada sang anak. Dengan
cara seperti ini, kebutuhan anak akan kebahagiaan yang berhak ia dapatkan dari
kedua orang tuanya akan senantiasa tercukupi, serta hak kedua orang tua untuk
mengasuh dan mendidik anak mereka tetap terjaga, karena sikap mulia dan perwira
dari kedua orang tuanya yang saling menghormati satu dengan lainnya meski dalam
kondisi perceraian, akan terekam kuat dalam memori sang anak. Sang anak akan
tetap menghormati kedua orang tuanya, karena hal itu ia lihat dari sikap kedua
orang tuanya dalam wujud nyata. Dan sebaliknya, jika kedua orang tua saling
cela dan menyalahkan satu sama lainya, saling membeberkan kejelekan pasangannya
di hadapan sang anak, hal ini akan merusak kepercayaan dan penghormatan sang
anak kepada kedua orang tuanya sekaligus, sehingga ia tidak lagi mau
menghormati kedua orang tuanya serta sulit untuk menerima arahan dan bimbingan
dari keduanya.[5]
2.
Sikap Terhadap Orang Yang Lebih Tua Dan Lebih Muda
·
Mendahulukan orang yang
lebih tua
Ada beberapa keadaan yang disyariatkan untuk
mengutamakan orang yang lebih tua, di antaranya:
1) Dalam mengimami shalat.
Nabi n bersabda dalam hadits
Malik bin Al-Huwairits z:
إِذَا حَضَرَتِ
الصَّلَاةُ لِيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمُّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
“Bila waktu
shalat telah tiba maka hendaklah salah seorang kalian mengumandangkan adzan dan
orang yang paling tua mengimami shalat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 628)
Disebutkan
dalam hadits lain, bahwa Nabi n bersabda (yang) artinya:
“Yang mengimami manusia adalah
orang yang pandai membaca (memahami) Al-Qur’an. Bila dari sisi bacaan Al-Qur’an
mereka sama maka yang paling tahu tentang sunnah. Bila pengetahuan mereka
tentang sunnah sama maka yang paling dahulu berhijrah. Bila dalam hijrah mereka
sama maka yang paling tua umurnya.” (HR. Muslim)
2) Dalam berbicara dan memberikan keterangan, kecuali yang kecil
lebih tahu dan lebih mampu berbicara.
عَنْ رَافِعِ ابْنِ
خَدِيْحٍ وَسَهْلِ ابْنِ أَبِي حَثْمَةَ أَنَّهُمَا حَدَّثَاهُ أَنَّ عَبْدَاللهِ
بْنَ سَهْلٍ وَمُحَيِّصَةَ بْنَ مَسْعُوْدٍ أَتَيَا خَيْبَرَ فَتَفَرَّقَا فِى
النَّخْلِ فَقُتِلَ عَبْدُاللهِ بْنُ سَهْلٍ فَجَاءَ عَبْدُالرَّحْمَنِ بْنُ
سَهْلٍ وَحُوَيِّصَةُ وَمُحَيِّصَةُ إِبْنَا مَسْعُوْدٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَكَلَّمُوْافِى أَمْرِصَاحِبِهِمْ فَبَدَأَ
عَبْدُالرَّحْمَنِ وَكَانَ أَصْغَرَالْقَوْمِ فَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَبِّرِالْكُبْرَ،قَالَ يَحْيَ لِيَلِيَ الْكَلاَمَ
الأَكْبَرُفَتَكَلَّمُوْافِى أَمْرِصَاحِبِهِمْ
Dari Rofi’ bin Hadij dan Sahl bin Jatsman, keduanya menceritakan bahwa
sesungguhnya Abdullah bin Sahl dan Muhayyishoh bin Mas’ud datang di Haibar,
keduanya berpencar di kebun kurma, kemudian Abdullah bin Sahl terbunuh, segera
datanglah Abdurrohman, Huwayyishoh, dan Muhayyishoh (keduanya putra Mas’ud)
datang menghadap Nabi Muhammad Saw. Mereka melaporkan kejadian yang menimpa
saudaranya. Abdurrohman memulai bicara sedangkan ia orang yang paling muda
usianya. Lalu Nabi bersabda: “Mulyakan yang lebih tua”, ayahnya berkata:
“Hendaknya yang lebih tua yang mulai bicara”, lalu mereka melaporkan kejadian
yang menimpa saudaranya.[6]
Perhatikanlah. Meski seorang dalam keadaan tertimpa musibah namun
seorang tetap menjaga adab-adab agamanya.
3)
Tata
Cara Menyuguhkan Sesuatu
عَنْ إِبْنِ عُمَرَرَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَرَانِيْ فِى الْمَنَامِ أَسَوَّكُ
بِسِوَاكٍ فَجَذَبَنِى رَجُلاَنِي أحَدُهُمَا أَكْبَرُ مِنَ الاَخَرَفَنَاوَلْتُ
السِّوَاكَ الاَصْغَرَ مِنْهُمَا فَقِيْلَ لِيْ كَبِّرْ فَدَفَعْتُهُ إِلَى
الاَكْبَرِ
Dari Ibnu Umar Ra, Nabi Saw bersabda, “saya melihat di dalam mimpi
saya bahwa saya sedang bersiwak, lalu dua orang datang, yang satu lebih tua
dari yang lainnya. Saya memberikan siwak itu kepada orang yang lebih muda. Saya
mendengar suara; berikan kepada yang lebih tua. Maka saya memberikannya kepada
yang lebih tua.” (HR. al-Bukhari dan Musim)[7]
Dalam ulasan terhadap hadits ini, Syekh Ibn Utsaimin berkata:
Hadits ini merupakan dalil untuk memperhitungkan usia dan
mendahulukan orang yang lebih tua dalam memberikan sesuatu. Misalnya, jika anda
menyuguhkan makanan atau minuman, kopi atau teh misalnya, maka anda jangan
memulai dengan orang yang berada di sebelah kanan anda, melainkan dengan orang
yang paling tua di hadapan anda. Sebab, ketika nabi saw hendak memberikan siwak
kepada orang yang lebih muda, dikatakan pada beliau, “berikan kepada yang lebih
tua.” Kita sama-sama tahu, jika orang yang lebih muda itu berada di esbelh kiri
beliau, maka nabi saw tidk akan memberikan siwak itu pertama-tama kepadanya.
Jelas orang itu di sebelah kanan beliau, dan beliau memberikan siwak itu
kepadanya semata-mata karena beliau senang memprioritaskan bagian kanan beliau.
Tapi, beliau mendapat wahyu, “berikanlah kepada yang lebih tua.”
Karena itu jika anda memberikan sesuatu kepada orang-orang yang
berada di hadapan anda, maka mulailah dengan orang yang paling tua dan jangan
memulai dengan orang yang berada di sebelah kanan anda. Tapi, jika orang-orang
itu berjajar di sebelah kanan kiri anda, maka mulailah dengan sebelah kanan
anda.
Dengan demikian, kita dapat menyelaraskan makna hadits yang
menunjukkan keharusan memperhitungkan usia, yakni memprioritaskan orang yang
lebih tua, dengan hadits yang menunjukkan keharusan mmperhitungkan bagian
kanan, yakni memprioritaskan orang yang berada di arah kanan.
Hal ini dikuatkan oleh sebuah riwayat yang mengisahkan bahwa Nabi
Saw memegang wadah minum dan air darinya, sedangkan di sebelah kiri beliau ada
orang tua dan di sebelah kanan beliau ada seorang anak, lalu beliau berkata
kepada anak itu: أَتَاْذَنُ لِى أَنْ أَعْطِيَ هَؤُلاَءِ “Apakah engkau
mengijinkan jika aku memberi mereka terlebih dahulu?” Anak itu berkata, :
“Tidak, Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan giliranku setelahmu kepada
siapapun.” Maka Rasulullah saw memberikan minum tersebut kepada anak muda itu.
(HR. al-Bukhari)[8]
Dengan demikian, jika orang-orang itu berjajar dengan anda, maka
anda harus memulaii dengan orang yang berada di sebelah kanan, sedangkan jika
orang-orang berada di hadapan anda, maka anda harus memulai dengan orang yang
paling tua sebagaimana ditunjukkan oleh Sunnah.
·
Hendaklah Yang Kecil
Memberi Salam Kepada Yang Besar
يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ
عَلَى الْكَبِيْرِ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ، وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْر
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda, “Hendaklah yang
kecil bersalam pada yang lebih besar, dan yang berjalan pada yang duduk, dan
yang sedikit pada yang banyak.”[9]
Ibnu Baththal rahimahullahu mengatakan, sebagaimana yang dinukil
oleh Al-Hafizh rahimahullahu: “Pemberian salam orang yang lebih muda
(kepada yang lebih tua, -pent.) disebabkan hak orang yang lebih tua. Karenanya
orang yang lebih muda diperintahkan untuk memuliakannya serta bersikap rendah
hati kepadanya.” (Fathul Bari, 11/22)
·
Menyayangi anak kecil
Bila orang yang telah lanjut usia mendapatkan hak penghormatan dan
pemuliaan, demikian pula dengan anak yang masih kecil, dia berhak mendapat
kasih sayang yang penuh. Anak kecil yang belum baligh secara umum masih lemah
fisik dan mentalnya, serta belum mengetahui persis tentang kemaslahatan untuk
dirinya. Kondisi yang seperti ini tentunya menggugah kita untuk memberikan
kasih sayang kepadanya, karena beban syariat juga belum ditujukan kepadanya dan
pena pencatat dosa pun belum berlaku atasnya. Oleh karenanya, menyayangi anak
kecil merupakan keharusan.
Di dalam Ash-Shahihah (V: 2196)
dituliskan,
مَنْ
لَمْ يَرْحَمْ صَغِيْرَنَا وَيَعْرِفْ حَقَّ كَبِيرَنَا فَلَيْسَ مِنَّا
“Bukan termasuk golongan kami siapa yang tidak
menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua.”
Hadits ini
merupakan ancaman bagi orang yang menyia-nyiakan dan meremehkan hak orang yang
sudah tua, di mana orang tersebut tidak di atas petunjuk Nabi saw dan tidak
menepati jalannya.
Nabi n bersabda:
لَيْسَ مِنَّا
مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا
“Bukan termasuk golongan kami
orang yang tidak menyayangi anak kecil kami.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi.)[10]
Bila sifat
belas kasihan dicabut dari seseorang maka hal itu menjadi pertanda kecelakaan
baginya. Nabi saw bersabda:
لاَ تُنْزَعُ
الرَّحْمَةُ إِلاَّ مِنْ شَقِيٍّ
“Tidaklah sifat kasih sayang
dicabut melainkan dari orang yang celaka.” (HR. Ahmad)
Pernah pada
suatu saat Nabi saw mencium Hasan bin Ali , cucunya. Waktu itu, di sisi Nabi
ada seorang bernama Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk. Maka Al-Aqra’
mengatakan: “Sesungguhnya saya memiliki sepuluh anak, tidak pernah satu pun
yang saya cium.” Maka Rasulullah saw melihat kepadanya dan mengatakan:
مَنْ لَا
يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ
“Orang yang tidak menyayangi
maka tidak disayangi (Allah ).” (HR. Al-Bukhari no. 5997)[11]
Lihatlah,
betapa meruginya yang tidak mendapat rahmat Allah padahal rahmat-Nya sangat luas.
Sungguh balasan kebaikan adalah kebaikan, sebagaimana firman Allah :
“Tidak ada balasan kebaikan
kecuali kebaikan (pula).” (Ar-Rahman: 60)
Tentunya,
menyayangi anak kecil tidak hanya terbatas pada anaknya sendiri bahkan umum
sifatnya. Bentuk menyayangi anak kecil juga banyak. Misalnya, dengan
mencandainya tanpa ada kedustaan untuk memasukkan kegembiraan pada dirinya,
menciumnya, menggendongnya, mengusap kepalanya, menyapa dan menyalaminya, serta
mengucapkan salam kepadanya.
Pada suatu
saat Anas bin Malik melewati anak-anak kecil lalu ia mengucapkan salam kepada
mereka. Anas berkata: “Dahulu Rasulullah saw melakukan demikian.” (Muttafaqun
‘alaihi)
Termasuk
menyayangi anak kecil adalah tidak mengarahkan mereka kepada hal-hal yang
membahayakannya.
D.
KESIMPULAN
Dalam ulasan di atas, telah kita ketahui bagaimana cara membimbing
anak yatim dengan baik dan bagaimana cara bersikap pada orang yang lebih tua
dan lebih muda. Membimbing anak yatim dilakukan dengan berbagai cara,
diantaranya memberikan kasih sayang, memberi perlindungan
untuk dapat menimbulkan perasaan aman,
serta menghadirkan sosok pengasuh pengganti orang tuanya yang mampu memberikan
pengarahan dan bimbingan untuknya, memenuhi segala kebutuhan jasmani dan
rohaninya.
Kemudian, sikap yang baik terhadap orang yang lebih tua diantaranya adalah
memulyakan dan menghormati yang tua semisal mendahulukan orang tua dalam hal
apapun. Dan sikap yang lebih tua terhadap yang lebih muda adalah menyayangi dan
menghargai.
Demikianlah bimbingan Islam yang sangat mulia. Umat hendaknya
membuka mata agar melihat dengan nyata indahnya agama yang mereka anut ini.
Perlu dipertegas kembali bahwa bimbingan Islam selalu relevan, tidak akan
pernah usang dengan perubahan waktu dan zaman. Kita tidak akan terlalu bahagia
dengan pesatnya teknologi dan menjamurnya penemuan (inovasi) baru, bila mental
umat tidak dibangun, sehingga akidahnya rapuh dan akhlaknya karut-marut.
E.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Harapan kami makalah
ini bisa digunakan sebagai bahan ajar dan bermanfaat bagi semua pembaca. Kami
mohon maaf atas segala kekurangan baik
dalam tulisan atau materi. Dan kami mengharapkan kritik serta saran
pembaca atas pembuatan makalah ini sebagai perbaikan pembuatan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ibnu Utsaimin
Dan Syekh Al-Albani, Syekh, Syarah Riyadhus Shalihin, Jakarta:Sahara
Pustaka, 2006
Katsir, Ibnu, Tafsir
Al Qur’anul Azhim, Jilid I, II dan V, Dar At Thayyibah, Cet. I, Th. 1422H.
Majalah As-Sunnah Edisi
10/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016
Muhammad bin
Ismail Al-Bukhori, Imam Abdullah, Tarjamah Shahih Bukhari Jilid VIII,
Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993
Salim bin Id Al Hilali,
Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Jilid I dan II, Dar Ibnu
Jauzi, Cet. VI, Th. 1422H
Hasan, M. Ali, Mengamalkan
Sunah Rasulullah, Jakarta: Prenada Media, 2003, H. 194
Yahya Bin
Syaraf An-Nawawi, Abu Zakaria, Al-Imam, Riyadhus Shalihin, Beirut: Darul
Fikr, Cet,. IV, Rabiul Awal 1420 H
[1]
Sunan Abu Dawud, no. 2.873. Lihat
Tafsir Ibnu Katsir (II/ 215), tafsir ayat ke 6 dari surat An Nisa’.
[2]
Salim bin Id Al Hilali, Bahjatun
Nazhirin Syarhu Riyadhis Shalihin, Jilid I dan II, Dar Ibnu Jauzi, Cet. VI,
Th. 1422H, no. 2.983
[3]
M. Ali Hasan, Mengamalkan
Sunah Rasulullah, Jakarta: Prenada Media, 2003, H. 194
[4]
Al-Imam Abu
Zakaria Yahya Bin Syaraf An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, Beirut: Darul
Fikr, Cet,. IV, Rabiul Awal 1420 H, hal.293
[5]
Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
10/Tahun VIII/1425H/2004. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016
[6]
Imam Abdullah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Tarjamah Shahih Bukhari Jilid VIII,
Semarang : CV. Asy Syifa’, 1993, hal 127
[7] Syekh Ibnu
Utsaimin Dan Syekh Al-Albani, Syarah Riyadhus Shalihin, Jakarta:Sahara
Pustaka, 2006, Hal 147
[9]
Ibid, hal. 202
[11]
Op. Cit, Imam
Abdullah Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, hal. 25
Ayo bosku Semuanya,
ReplyDeleteYuk iseng bermain game untuk mendapatkan uang tambahan setiap harinya Hanya di arena-domino.vip
Modal Kecil Dapat Puluhan Juta ^^
Bareng saya dan teman-temanku yang cantik-cantik loh !
Info Situs www.arena-domino.vip
yukk di add WA : +855964967353