Tuesday, February 25, 2014

FILSAFAT SUHRAWARDI



       I.            Pendahuluan
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam, kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain, kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam, atau Al-falasifatul Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan berada di bawah pengayoman negara Islam”.[1]
Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyrâqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.
    II.            Biografi, Karya Dan Garis Besar Pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul
A.    Biografi Suhrawardi Al-Maqtul
Nama lengkap Suhrawardi adalah ‘Abu al-Futuh Yahya bin Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/ 1153M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar : Shaikh al-Ishraq, Master of Illuminationist, al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul. Akan tetapi Suhrawardi lebih dikenal dengan sebutan Al-Maqtul.[2]
Sebagaimana umumnya para intelektual muslim, Suhrawardi juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk mengembangkan wawasannya. Wilayah pertama yang ia kunjungi adalah Maragha yang berada di kawasan Azerbaijan. Di kota ini ia belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili. Untuk memperdalam kajian filsafat ia juga berguru pada Fakhr al-Din al-Mardini. Tampaknya tokoh terakhir ini merupakan guru filsafat yang sangat berpengaruh bagi Suhrawardi. Suhrawardi Al-Maqtul melanglang buana ke Persia, Anatolia, Syiria, dan berakhir di Aleppo.[3]
B.     Karya-karya Suhrawardi Al-Maqtul
Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga dalam usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia tekuni. Buah karya Suhrawardi mencapai lebih dari 50-an.[4]
Dalam konteks karya-karyanya ini, Hossein Nasr mengklasifikasikan-nya menjadi lima kategori sebagai berikut :
a.      Memberi interpretasi dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik. Termasuk dalam kelompok ini antara lain kitab : At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan Hikmah al-‘Isyraq.
b.      Membahas tentang filsafat yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami : Al-Lamahat, Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq.
c.       Karya yang bermuatan sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami : Qissah al-Ghurbah al Gharbiyyah, Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
d.      Karya yang merupakan ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik : Risalah al-Tair dan Risalah fi al-‘Ishq.
e.       Karya yang berupa serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).[5]
C.    Garis Besar Pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul
Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyraqiyat) yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradIisi dan agama-agama lain. Suhrawardi memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladunniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-atiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.
 III.            Pemikiran Filsafat Suhrawardi
A.    Filsafat Illuminasi Suhrawardi (Isyraqiyah)
Kata isyraq yang mempunyai padanan llumination dalam bahasa inggris mempunyai arti cahaya atau penerangan. Dalam bahasa filsafat, iluminationisme berarti sumber kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraq apa yang disebut hikmah bukanlah sekedar teori yang diyakini melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam kegelapan yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan. Merupakan sesuatu yang mustahill, kepada cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan dicapai bersama-sama. Karena itu menurut kaum isyraqi sumber pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan dengan subsatansi cahaya.
Lebih jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya digunakan untuk menetapkan suatu faktor yang menentukan wujud, bentuk, materi, hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan tingkat-tingakat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya penggunaan simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyraqiah.
Simbolisme cahaya digunakan oleh suhrawardi untuk menggambarkan masalah-masalah ontologis dan khususnya untuk memaparkan struktur-struktur kosmologis. Sebagai contoh wujud niscaya (semua ada) dalam peripatetik disebut cahaya dari segala cahaya (nur al-anwar), intelek-intelek terpisah disebut cahaya-cahaya abstrak (anwar mujarradah). Tampaknya simbolisme cahaya dinilai lebih cocok dan sesuai untuk menyampaikan prinsip ontologis wujud ekuivokal, karena lebih mudah dipahami bahwa cahaya mungkin mempunyai intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama. Dan juga dianggap lebih dapat diterima untuk membahas kedekatan dan kejauhan dari sumber sebgai indikasi akan derajat kesempurnaan ketika simbolisme digunakan. Sebagai contoh semakin dekat suatu entitas dengan sumbernya yaitu cahaya dari segala cahaya, maka semakin terang cahaya entitas tersebut. Sedangkan ketidak adaan cahaya atau kegelapan mengidentikkan ketidak wujudan (non wujud).[6]
*        Pandangan Illuminasi Tentang Pengetahuan Diri
Psikologi pengetahuan diri ini inti terpentingnya adalah melalui posisi tertentu terhadap pengetahuan diri, Suhrawardi mampu membangun validitas pengetahuan, yaitu bahwa pengetahuan tentang esensi (tidak dapat diperoleh melalui definisi esensialis) mungkin dapat diperoleh melalui pengetahuan diri oleh diri.
Barangkali pandangan Suhrawardi yang paling penting mengenai pengetahuan diri adalah identifikasi dua cara yang dibuat di antara berbagai-bagai ”tingkat” kesadaran. Kesadaran akan esensi diidentifikasi sebagai unsur penting jiwa rasional. Lebih jauh dikatakan dalam Hikmat al-Isyraq bahwa sesuatu yang menyadari akan esensinya sendiri adalah “cahaya abstrak” (nur mujarrad). cahaya abstrak selanjutnya disebut “cahaya diri yang hidup”. Karena itu, jiwa rasional, melalui “aktivitas” kesadaran diri yang diidentifikasi sebagai, atau sama dengan konsep “cahaya abstrak”, yang mengkaitkan tatanan kosmis dengan tatanan fisik melaluiprinsip kesadaran langsung dan berbagai tingkat intensitasnya.
Identifikasi yang baru saja dilakukan sangat penting untuk memahmi filsafat Illuminasi. Kesadaran diri baik sebagai prinsip kosmik maupun sebagai prinsip psikologis, merupakan dasar pengetahuan Illuminasi.[7]

*        Kesadaran Diri Dan Illuminasi
Persepsi seseorang tentang kesadaran dirinya sendiri sama dengan persepsi langsung tentang apa sesuatu itu dalam dirinya, dan bukan persepsi melalui ide kesadaran diri. Ini adalah kebenaran semua wujud yang menjadi dan menyadari esensi mereka sendiri. ‘Kamu”, tegas Suhrawardi, “tidak pernah tidak menyadari esensi kamu.”Ia” membuktikan “ini dengan menegaskan bahwa kesadaran diri tidak dapat dibenarkan melalui sesuatu yang jasmani, kemudian menunjukkan “bahwa dengan  cara ‘Anda adalah Anda’ merupakan wujud yang mengetahui esensinya sendiri, dan sesuatu itu adalah kesadaran diri anda sendiri.
Dari prinsip dasar epistimologi ini, Suhrawardi menarik kesimpulan umum, yaitu bahwa segala sesuatu yang menyadari esensinya sendiri member kesadaran kepada semua wujud yang berada dalam tingkat yang sama, kesadaran terebut menjadi prinsip pengetahuan iluminasi yang menganggap pengetahuan yang benar tentang semua wujud yang menyadari diri, yang berawal dari kesadaran kosmis dan berkembang ke kesadaran individu. Ia lebih jauh menyimpulkan kesadaran diri sama dengan manifestasi wujud, atau sesuatu yang tampak yang diidentifikasi dengan “cahaya murni”.[8]
*        Epistimologi Illuminasi: Proses Intuisi dan Illuminasi-visi
a.       Intuisi
Intuisi dalam pengertian yang digunakan Suhrawardi di sini, sangat mirip dengan sifat “cepat mengerti”, tetapi Suhrawardi menggabungkan bentuk penyimpulan yang khas ini ke dalam epistimologi filsafat illuminasi. Suhrawardi dalam hukum intuisinya digunakan dalam bentuk penyimpulan yang valid. Suhrawardi menganggap “tindakan” intuisi terpenting adalah kemampuan subjek memahami banyak hal yang nampak dalam waktu singkat tanpa guru. Dalam kasus itu intuisi bergerak menangkap istilah pertengahan silogisme yang menyerupai penangkapan langsung (tanpa estensi eksporal) definisi esensialis yaitu esensi sesuatu.
b.      Illuminasi-visi
Proses ganda illuminasi  (musyahadah isyraq) berlaku pada semua tingkat realitas. Beraawal pada tingkat manusia dalam persepsi indra luar, seperti penglihatan (ibshar). Mata (al-bashar, atau subyek yang melihat, al- basher) mampu melihat, yakni melihat objek (al-mubshar) ketika objek itu sendiri disinari (mustanir) oleh matahari di langit. Pada tingkat kosmik, setiap “cahaya abstrak melihat cahaya-cahaya yang derajatnya berada di atasnya, sedang cahaya-cahaya yang lebih tinggi secara terus menerus, pada saat visi, menyinari yang berada di bawahnya. Sumber cahaya (nur al-anwar) menyinari segala sesuatu, dan matahari surgawi, Hurakhsh Agung  memungkinkan visi berlangsung. Akibatnya pengetahuan diperoleh melalui “sepasang” aktivitas: visi-illuminasi, dan daya pendorong yang menyadari prinsip ini adalah kesadaran diri.[9]
*        Illuminasi dan Emanasi
Teori Suhrawardi tentang Illuminasi merupakan bentuk khas teori emanasi seperti yang dikembangkan oleh kaum Neoplatonis. Sifat-sifat dasar emanasi, yang seluruhnya digabungkan oleh Suhrawardi dalam filsafat Illuminasi adalah:
1.      Gerak “menurun” yang mesti, dari yang “lebih tinggi” ke yang “lebih rendah”, yaitu emanasi Nous yang mesti dari teori Plotinus, atau emanasi diri Cahaya segala Cahaya.
2.      Pengeluaran penciptaan: dunia tidak diciptakan atau  dijadikan dari tiada apakah dalam masa ataukah tidak sekaligus; tidak ada “pembuat” tidak ada demiurgus yang menberi tatanan bagi kekacauan primordial atau member “bentuk-bentuk” bagi persoalan eksterna; dan tidak ada “kehendak Tuhan.
3.      Keabadian dunia.
4.      Hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang lebih rendah.
Dalam beberapa teori emanasi, hubungan antara yang tidak terbatas dengan yang terbatas harus dijelaskan. Terdapat ketidak terbatasan yang tidak terbatas dalam jiwa beberapa hal, jika bukan dalam hal-hal yang tak terbatas (alesser infinitt) tatanan ketidak terbatasan yang tidak terbatas.
B.     Kritik Filsafat Paripatetik
1.      Kritik Epistemologi
Menurut Mehdi Amin Razavi, ada dua kontribusi yang disumbangkan Suharawardi terkait dengan wacana epistemologi. Kontribusi pertama adalah kritik Suhrawardi terhadap sejumlah teori pengetahuan, khususnya pengetahuan yang diperoleh melalui definisi, persepsi indra, dan logika. Suhrawardi menolak teori paripatetik dan menyatakan teori tesebut tidak mampu memberikan pengetahuan yang sejati. Suhrawardi menganggap bahwa teori paripatetis gagal membangun teori yang mapan, yang dapat mendatangkan pengetahuan yang sebenarnya. Uraian berikut menunjukkan kelemahan dan kerapuhan teori hushuli model paripatetik. Kelemahan yang menonjol terdapat dalam metode definisi, persepsi indra dan logika. Dengan melihat kelemahan dan kerapuhan teori hushuli model paripatetik, Suhrawardi kemudian menawarkan solusi dengan suatu teori yang diyakini dapat mendatangkan pengetahuan sejati yang disebut ilmu hudhuri (al-‘ilm al-hudhuri, ittishali, syuhudi) yaitu pengetahuan dengan kehadiran sejenis penyinaran langsung dari sumber cahaya (isyraq hudhuri) dan menempatkan jiwa manusia sebagai penerima cahaya. Komponen yang sangat mendasar bagi ‘ilm al-hudhuri adalah penyingkapan (mukasyafah) dan penyaksian (musyahadah). Konsep ‘ilm al-hudhuri ini dipelopori oleh Suhrawardi sebagai salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan sejati setelah ia tidak puas dengan metode epistemologi paripatetik. Jadi, dengan caranya sendiri Suhrawardi menunjukkan sisi kelemahan metode paripatetik untuk menopang pendiriannya.[10]
2.      Kritik Ontologi
·         Teori Akal Sepuluh
Kritik Suhrawardi terhadap teori akal sepuluh menduduki posisi sentral dari seluruh kritik yang dilontarkannya. Secara historis, teori akal sepuluh dalam tradisi falsafah islam dipelopori oleh al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina. Penisbatan teori akal kepada Aristoteles sebenarnya tidak tepat karena teori ini sebenarnya lebih dekat pada teori Neo-Platonisme.
Berkaitan dengan eksistensi Tuhan dengan alam, Aristoteles berpendapat bahwa keberadaan Tuhan dalah pasti (dharuri) demikian juga eksistensi falak-falak dan bintang-bintang adalah pasti. Jadi menurut pandangan ini, terdapat dua wujud yang pasti ada, yakni Tuhan dan alam. Sementara dalam pandangan Ibnu Sina, keberadaan Tuhan adalah waib al wujud sedangkan keberadaan alam adalah mumkin al wujud. Al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina mengikuti teori emanasi Neo-Platonisme yang dipelopri oleh Plotinus. Menurut Plotinus, yang muncul dari Yang Satu adalah akal pertama yang di dalamnya mempunyai tiga oknum, yaitu Yang Satu, akal dan nafs. Plotinus sendiri tidak membatasi jumlah akal yang muncul dari Yang Satu. Inti dari bahasan emanasi adalah menjawab persoalan mendasar mengenai bagaimana keragaman bisa muncul dari Yang Satu.[11]
Berkaitan dengan konsep emanasi yang diungkapkan ketiga filsuf muslim dan khususnya dua filsuf muslim al-Farabi dan Ibn Sina, dalam hal ini Suhrawardi, dengan menggunakan istilah cahaya bagi akal, tidak sependapat dengan pembbatasan akal pada akal sepuluh. Menurutnya, penyebaran akal-akal itu tidak perlu dibatasi, sebab bisa lebih dari sepuluh, seratus, ahkan seribu, dua ribu atau ratusan ribu. Suhrawardi mengatakan : “Cahaya-cahaya dominator (al-anwar al-qahirah) memantulkan cahaya-cahaya dari tiap-tiap tingkatnya. Setiap cahaya yang berada di atas menyinari yang ada di bawahnya pada tiap tingkatnya dan tiap cahaya yang lebih rendah menerima cahay dari Nur al Anwar melalui tiap tingkatan cahaya yang ada di atasnya, sehingga cahaya dominator ke dua akan mendapatkan Nur ats Tsaniy dari Nur al Anwar sebanyak dua kali: pertama dari Nur al Anwar, tanpa perantara (langsung) dan kedua dari cahaya yang berada di atasnya (Nur al Aqrab). Cahaya ketiga memperoleh empat kali pancaran : dua dari pancaran cahaya di atasnya, satu kali dari Nur al Anwar, dengan tanpa perantara (langsung) dan satu lagi dari Nur al Aqrab. Cahaya keempat memeperoleh delapan kali pancaran cahaya: empat kali dari cahaya yang berada di atasnya, dua kali pancaran dari cahaya kedua, satu kali dari Nur al Aqrab dan satu lagi dari Nur al Anwar dengan langsung tanpa perantara. Demikian proses pemancaran cahaya selanjutnya hingga mencapai jumlah yang banyak.”[12]

 IV.            PENUTUP
Inti hikmah iluminasi bagi Suhrawardi adalah ilmu cahaya yang membahas sifat dan cara pembiasannya. Cahaya ini menurutnya tidak dapat di definisikan karena ia merupakan realitas yang paling nyata sekaligus menampakkan sesuatu. Cahaya ini juga merupakan substansi yang masuk kedalam komposisi semua substansi yang lain-meteril maupun imateril. hubungannya dengan objek-objek dibawahnya cahaya ini memiliki dua bentuk yaitu, cahaya yang terang pada dirinya sendiri dan cahaya yang terang sekaligus menerangi lainnya. Cahaya yang terakhir ini menerangi sagala sesuatu, namun bagaimana statusnya, cahaya tetaplah sesuatu yang terang dan sebagaimana disebutkan ia merupakan sebab tampaknya sesuatu yang tidak bisa tidak beremanasi darinya.


DAFTAR PUSTAKA
o   Al-Ahwani, Ahmad Fu’ad, Filsafat Islam, Jakarta:  Pustaka Firdaus, 1988, cet. ke-2
o   Drajat, Amroeni, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005
o   Nasr, Seyyed Hossein, Tiga Pemikir Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Bandung: Risalah, 1986
o   ---------------------------, Science And Civilization In  Islam, Cambridge: Harvard University Press, 1968
o   Razafi, Mehdi Amin, Suhrawardi And The School Of Illumination, Surrey: Curzon Press, 1997
o   Schimmel, Annemarie, Mystical Dimensions Of Islam, Chapel Hill: The University Of North Crolina Press, 1975
o   Ziai, Hussein, Suhrawardi Dan Filsafat Illuminasi, Bandung : Zaman Wacana Mulia, 1990



[1] Ahmad Fu’ad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Jakarta:  Pustaka Firdaus, 1988, cet. ke-2, h. 6
[2] Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Paripatetik, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005, H. 29
[3] Seyyed Hossein Nasr, Science And Civilization In  Islam, Cambridge: Harvard University Press, 1968, H. 328
[4] Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions Of Islam, Chapel Hill: The University Of North Crolina Press, 1975, H. 260
[5] Amroeni Drajat, Op. Cit, h. 54
[6] Seyyed Hossein Nasr, Tiga Pemikir Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Bandung: Risalah, 1986, H.89
[7] Hussein Ziai, Suhrawardi Dan Filsafat Illuminasi, Bandung : Zaman Wacana Mulia, 1990, H. 136-137
[8] Ibid, h. 144
[9]Ibid, H. 141-142
[10] Mehdi Amin Razafi, Suhrawardi And The School Of Illumination, Surrey: Curzon Press, 1997, H. 92
[11] Amroeni Drajat, Op. Cit, h.166
[12]  Ibid h. 182

No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...