I.
Pendahuluan
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan Islam,
kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab,
tampillah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain,
kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta
pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “kaum
filosof Islam”, ada pula yang menamakan “para filosof beragama
Islam”, kadang-kadang disebut juga dengan ungkapan “para hikmah Islam” (Falasifatul-Islam,
atau Al-falasifatul
Islamiyyin atau Hukuma’ul-Islam), mengikuti sebutan
yang diberikan Syahrastani, Al-Qithi’, Al-Baihaqi dan lain-lain. Oleh sebab itu
Syaikh Musthafa ‘Abdurrazaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Sejarah Islam bahwa para ahli filsafat telah sepakat memberi nama
demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh
dikisrukan: “Maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama
yang telah diberikan oleh ahli filsafat itu sendiri yaitu Filsafat
Islam dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir di negeri Islam dan
berada di bawah pengayoman negara Islam”.[1]
Usaha
untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi
oleh Ibn ‘Arabî dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh
para filosof lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di
antara para filosof itu adalah Suhrawardî. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi
(al-isyrâqiyat)
yang bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual dengan
tradisi-tradisi dan agama-agama lain. Suhrawardî memperkenalkan diri sebagai
penyatu kembali apa yang disebutnya sebagai hikmat al-ladûnniyat
(kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat al-’âtiqat
(kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah perenial (abadi)
dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara orang-orang Hindu,
Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai masa Aristoteles.
II.
Biografi,
Karya Dan Garis Besar Pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul
A.
Biografi
Suhrawardi Al-Maqtul
Nama lengkap Suhrawardi adalah ‘Abu al-Futuh Yahya bin
Habash bin Amirak Shihab al-Din as-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/
1153M di Suhraward, sebuah kampung di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat
Zanjan. Ia memiliki sejumlah gelar : Shaikh al-Ishraq, Master of
Illuminationist, al-Hakim, ash-Shahid, the Martyr, dan al-Maqtul. Akan
tetapi Suhrawardi lebih dikenal dengan sebutan Al-Maqtul.[2]
Sebagaimana umumnya para intelektual muslim, Suhrawardi juga melakukan
perjalanan ke berbagai daerah untuk mengembangkan wawasannya. Wilayah pertama
yang ia kunjungi adalah Maragha yang berada di kawasan Azerbaijan. Di kota ini
ia belajar filsafat, hukum dan teologi kepada Majd al-Din al-Jili. Untuk
memperdalam kajian filsafat ia juga berguru pada Fakhr al-Din al-Mardini.
Tampaknya tokoh terakhir ini merupakan guru filsafat yang sangat berpengaruh
bagi Suhrawardi. Suhrawardi Al-Maqtul melanglang buana ke Persia, Anatolia,
Syiria, dan berakhir di Aleppo.[3]
B. Karya-karya
Suhrawardi Al-Maqtul
Suhrawardi adalah sosok pemuda yang cerdas, kreatif, dan dinamis. Ia
termasuk dalam jajaran para filosof-sufi yang sangat produktif sehingga dalam
usianya yang relatif pendek itu ia mampu melahirkan banyak karya. Hal ini
menunjukkan kedalaman pengetahuannya dalam bidang filsafat dan tasawuf yang ia
tekuni. Buah karya Suhrawardi mencapai lebih dari 50-an.[4]
Dalam konteks karya-karyanya ini, Hossein Nasr mengklasifikasikan-nya
menjadi lima kategori sebagai berikut :
a.
Memberi interpretasi
dan memodifikasi kembali ajaran peripatetik. Termasuk dalam kelompok ini antara
lain kitab : At-Talwihat al-Lauhiyyat al-‘Arshiyyat, Al-Muqawamat, dan
Hikmah al-‘Isyraq.
b.
Membahas tentang filsafat
yang disusun secara singkat dengan bahasa yang mudah dipahami : Al-Lamahat,
Hayakil al-Nur, dan Risalah fi al-‘Ishraq.
c.
Karya yang bermuatan
sufistik dan menggunakan lambang yang sulit dipahami : Qissah al-Ghurbah al
Gharbiyyah, Al-‘Aql al-Ahmar, dan Yauman ma’a Jama’at al-Sufiyyin.
d.
Karya yang merupakan
ulasan dan terjemahan dari filsafat klasik : Risalah al-Tair dan Risalah fi
al-‘Ishq.
e.
Karya yang berupa
serangkaian do’a yakni kitab Al-Waridat wa al-Taqdisat.
Banyaknya karya ini menunjukkan bahwa Suhrawardi benar-benar menguasai
ajaran agama-agama terdahulu, filsafat kuno dan filsafat Islam. Ia juga
memahami dan menghayati doktrin-doktrin tasawuf, khususnya doktrin-doktrin sufi
abad III dan IV H. Oleh karena itu tidak mengherankan bila ia mampu
menghasilkan karya besar serta memunculkan sebuah corak pemikiran baru, yang
kemudian dikenal dengan corak pemikiran mistis-filosofis (teosofi).[5]
C.
Garis
Besar Pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul
Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-isyraqiyat) yang bersumber dari
hasil dialog spritual dan intelektual dengan tradisi-tradIisi dan agama-agama
lain. Suhrawardi memperkenalkan diri sebagai penyatu kembali apa yang
disebutnya sebagai hikmat al-ladunniyat (kebijaksanaan ilahi) dan al-hikmat
al-atiqat (kebijaksanaan kuno). Ia yakin bahwa kebijaksanaan ini adalah
perenial (abadi) dan universal yang terdapat dalam berbagai bentuk di antara
orang-orang Hindu, Persia, Babilonia, Mesir Kuno dan orang-orang Yunani sampai
masa Aristoteles.
III.
Pemikiran Filsafat
Suhrawardi
A.
Filsafat Illuminasi
Suhrawardi (Isyraqiyah)
Kata
isyraq yang mempunyai padanan llumination dalam bahasa inggris mempunyai arti
cahaya atau penerangan. Dalam bahasa filsafat, iluminationisme berarti sumber
kontemplasi atau perubahan bentuk dari kehidupan emosional untuk mencapai
tindakan dan harmoni. Bagi kaum isyraq apa yang disebut hikmah bukanlah sekedar
teori yang diyakini melainkan perpindahan rohani secara praktis dari alam
kegelapan yang didalamnya pengetahuan dan kebahagiaan. Merupakan sesuatu yang
mustahill, kepada cahaya yang bersifat akali yang didalamnya pengetahuan dan
kebahagiaan dicapai bersama-sama. Karena itu menurut kaum isyraqi sumber
pengetahuan adalah penyinaran yang itu berupa semacam hads yang menghubungkan
dengan subsatansi cahaya.
Lebih
jauh, cahaya adalah simbol utama dari filsafat isyraqi. Simbolisme cahaya
digunakan untuk menetapkan suatu faktor yang menentukan wujud, bentuk, materi,
hal-hal masuk akal yang primer dan sekunder, intelek, jiwa, zat individual dan
tingkat-tingakat intensitas pengalaman mistik. Jelasnya penggunaan
simbol-simbol cahaya merupakan karakter dari bangunan filsafat isyraqiah.
Simbolisme
cahaya digunakan oleh suhrawardi untuk menggambarkan masalah-masalah ontologis
dan khususnya untuk memaparkan struktur-struktur kosmologis. Sebagai contoh
wujud niscaya (semua ada) dalam peripatetik disebut cahaya dari segala cahaya
(nur al-anwar), intelek-intelek terpisah disebut cahaya-cahaya abstrak (anwar
mujarradah). Tampaknya simbolisme cahaya dinilai lebih cocok dan sesuai untuk
menyampaikan prinsip ontologis wujud ekuivokal, karena lebih mudah dipahami
bahwa cahaya mungkin mempunyai intensitas yang berbeda meskipun esensinya sama.
Dan juga dianggap lebih dapat diterima untuk membahas kedekatan dan kejauhan
dari sumber sebgai indikasi akan derajat kesempurnaan ketika simbolisme
digunakan. Sebagai contoh semakin dekat suatu entitas dengan sumbernya yaitu
cahaya dari segala cahaya, maka semakin terang cahaya entitas tersebut.
Sedangkan ketidak adaan cahaya atau kegelapan mengidentikkan ketidak wujudan
(non wujud).[6]
*
Pandangan Illuminasi Tentang Pengetahuan Diri
Psikologi pengetahuan diri ini inti terpentingnya adalah
melalui posisi tertentu terhadap pengetahuan diri, Suhrawardi mampu membangun
validitas pengetahuan, yaitu bahwa pengetahuan tentang esensi (tidak dapat
diperoleh melalui definisi esensialis) mungkin dapat diperoleh melalui
pengetahuan diri oleh diri.
Barangkali
pandangan Suhrawardi yang paling penting mengenai pengetahuan diri adalah
identifikasi dua cara yang dibuat di antara berbagai-bagai ”tingkat” kesadaran.
Kesadaran akan esensi diidentifikasi sebagai unsur penting jiwa rasional. Lebih
jauh dikatakan dalam Hikmat al-Isyraq bahwa sesuatu yang menyadari akan
esensinya sendiri adalah “cahaya abstrak” (nur mujarrad). cahaya abstrak
selanjutnya disebut “cahaya diri yang hidup”. Karena itu, jiwa rasional, melalui “aktivitas”
kesadaran diri yang diidentifikasi sebagai, atau sama dengan konsep “cahaya
abstrak”, yang mengkaitkan tatanan kosmis dengan tatanan fisik melaluiprinsip
kesadaran langsung dan berbagai tingkat intensitasnya.
Identifikasi
yang baru saja dilakukan sangat penting untuk memahmi filsafat Illuminasi.
Kesadaran diri baik sebagai prinsip kosmik maupun sebagai prinsip psikologis,
merupakan dasar pengetahuan Illuminasi.[7]
*
Kesadaran Diri Dan Illuminasi
Persepsi
seseorang tentang kesadaran dirinya sendiri sama dengan persepsi langsung
tentang apa sesuatu itu dalam dirinya, dan bukan persepsi melalui ide kesadaran
diri. Ini adalah kebenaran semua wujud yang menjadi dan menyadari esensi mereka
sendiri. ‘Kamu”, tegas Suhrawardi, “tidak pernah tidak menyadari esensi
kamu.”Ia” membuktikan “ini dengan menegaskan bahwa kesadaran diri tidak dapat
dibenarkan melalui sesuatu yang jasmani, kemudian menunjukkan “bahwa
dengan cara ‘Anda adalah Anda’ merupakan
wujud yang mengetahui esensinya sendiri, dan sesuatu itu adalah kesadaran diri
anda sendiri.
Dari prinsip dasar epistimologi ini, Suhrawardi menarik
kesimpulan umum, yaitu bahwa segala sesuatu yang menyadari esensinya sendiri
member kesadaran kepada semua wujud yang berada dalam tingkat yang sama,
kesadaran terebut menjadi prinsip pengetahuan iluminasi yang menganggap
pengetahuan yang benar tentang semua wujud yang menyadari diri, yang berawal
dari kesadaran kosmis dan berkembang ke kesadaran individu. Ia lebih jauh menyimpulkan kesadaran diri sama dengan manifestasi
wujud, atau sesuatu yang tampak yang diidentifikasi dengan “cahaya murni”.[8]
*
Epistimologi Illuminasi: Proses Intuisi dan Illuminasi-visi
a.
Intuisi
Intuisi
dalam pengertian yang digunakan Suhrawardi di sini, sangat mirip dengan sifat
“cepat mengerti”, tetapi Suhrawardi menggabungkan bentuk penyimpulan yang khas
ini ke dalam epistimologi filsafat illuminasi. Suhrawardi dalam hukum
intuisinya digunakan dalam bentuk penyimpulan yang valid. Suhrawardi menganggap
“tindakan” intuisi terpenting adalah kemampuan subjek memahami banyak hal yang
nampak dalam waktu singkat tanpa guru. Dalam kasus itu intuisi bergerak
menangkap istilah pertengahan silogisme yang menyerupai penangkapan langsung
(tanpa estensi eksporal) definisi esensialis yaitu esensi sesuatu.
b.
Illuminasi-visi
Proses
ganda illuminasi (musyahadah isyraq)
berlaku pada semua tingkat realitas. Beraawal pada tingkat manusia dalam
persepsi indra luar, seperti penglihatan (ibshar). Mata (al-bashar,
atau subyek yang melihat, al- basher) mampu melihat, yakni melihat objek
(al-mubshar) ketika objek itu sendiri disinari (mustanir) oleh
matahari di langit. Pada tingkat kosmik, setiap “cahaya abstrak melihat
cahaya-cahaya yang derajatnya berada di atasnya, sedang cahaya-cahaya yang
lebih tinggi secara terus menerus, pada saat visi, menyinari yang berada di
bawahnya. Sumber cahaya (nur al-anwar) menyinari segala sesuatu, dan
matahari surgawi, Hurakhsh Agung memungkinkan visi berlangsung. Akibatnya
pengetahuan diperoleh melalui “sepasang” aktivitas: visi-illuminasi, dan daya
pendorong yang menyadari prinsip ini adalah kesadaran diri.[9]
*
Illuminasi dan Emanasi
Teori
Suhrawardi tentang Illuminasi merupakan bentuk khas teori emanasi seperti yang
dikembangkan oleh kaum Neoplatonis. Sifat-sifat dasar emanasi, yang seluruhnya
digabungkan oleh Suhrawardi dalam filsafat Illuminasi adalah:
1.
Gerak “menurun” yang mesti, dari yang “lebih tinggi” ke yang “lebih
rendah”, yaitu emanasi Nous yang mesti dari teori Plotinus, atau emanasi diri
Cahaya segala Cahaya.
2.
Pengeluaran penciptaan: dunia tidak diciptakan atau dijadikan dari tiada apakah dalam masa
ataukah tidak sekaligus; tidak ada “pembuat” tidak ada demiurgus yang
menberi tatanan bagi kekacauan primordial atau member “bentuk-bentuk” bagi
persoalan eksterna; dan tidak ada “kehendak Tuhan.
3.
Keabadian dunia.
4.
Hubungan abadi antara wujud yang lebih tinggi dengan wujud yang
lebih rendah.
Dalam
beberapa teori emanasi, hubungan antara yang tidak terbatas dengan yang
terbatas harus dijelaskan. Terdapat ketidak terbatasan yang tidak terbatas
dalam jiwa beberapa hal, jika bukan dalam hal-hal yang tak terbatas (alesser
infinitt) tatanan ketidak terbatasan yang tidak terbatas.
B.
Kritik Filsafat
Paripatetik
1.
Kritik Epistemologi
Menurut Mehdi Amin Razavi, ada dua kontribusi yang disumbangkan
Suharawardi terkait dengan wacana epistemologi. Kontribusi pertama adalah
kritik Suhrawardi terhadap sejumlah teori pengetahuan, khususnya pengetahuan
yang diperoleh melalui definisi, persepsi indra, dan logika. Suhrawardi menolak
teori paripatetik dan menyatakan teori tesebut tidak mampu memberikan
pengetahuan yang sejati. Suhrawardi menganggap bahwa teori paripatetis gagal
membangun teori yang mapan, yang dapat mendatangkan pengetahuan yang
sebenarnya. Uraian berikut menunjukkan kelemahan dan kerapuhan teori hushuli
model paripatetik. Kelemahan yang menonjol terdapat dalam metode definisi,
persepsi indra dan logika. Dengan melihat kelemahan dan kerapuhan teori hushuli
model paripatetik, Suhrawardi kemudian menawarkan solusi dengan suatu teori
yang diyakini dapat mendatangkan pengetahuan sejati yang disebut ilmu hudhuri
(al-‘ilm al-hudhuri, ittishali, syuhudi) yaitu pengetahuan dengan
kehadiran sejenis penyinaran langsung dari sumber cahaya (isyraq hudhuri)
dan menempatkan jiwa manusia sebagai penerima cahaya. Komponen yang sangat
mendasar bagi ‘ilm al-hudhuri adalah penyingkapan (mukasyafah)
dan penyaksian (musyahadah). Konsep ‘ilm al-hudhuri ini
dipelopori oleh Suhrawardi sebagai salah satu cara untuk memperoleh pengetahuan
sejati setelah ia tidak puas dengan metode epistemologi paripatetik. Jadi,
dengan caranya sendiri Suhrawardi menunjukkan sisi kelemahan metode paripatetik
untuk menopang pendiriannya.[10]
2.
Kritik Ontologi
·
Teori Akal Sepuluh
Kritik Suhrawardi terhadap teori akal sepuluh menduduki posisi sentral
dari seluruh kritik yang dilontarkannya. Secara historis, teori akal sepuluh
dalam tradisi falsafah islam dipelopori oleh al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina.
Penisbatan teori akal kepada Aristoteles sebenarnya tidak tepat karena teori
ini sebenarnya lebih dekat pada teori Neo-Platonisme.
Berkaitan dengan eksistensi Tuhan dengan alam, Aristoteles berpendapat
bahwa keberadaan Tuhan dalah pasti (dharuri) demikian juga eksistensi
falak-falak dan bintang-bintang adalah pasti. Jadi menurut pandangan ini,
terdapat dua wujud yang pasti ada, yakni Tuhan dan alam. Sementara dalam
pandangan Ibnu Sina, keberadaan Tuhan adalah waib al wujud sedangkan
keberadaan alam adalah mumkin al wujud. Al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn
Sina mengikuti teori emanasi Neo-Platonisme yang dipelopri oleh Plotinus.
Menurut Plotinus, yang muncul dari Yang Satu adalah akal pertama yang di
dalamnya mempunyai tiga oknum, yaitu Yang Satu, akal dan nafs. Plotinus
sendiri tidak membatasi jumlah akal yang muncul dari Yang Satu. Inti dari
bahasan emanasi adalah menjawab persoalan mendasar mengenai bagaimana keragaman
bisa muncul dari Yang Satu.[11]
Berkaitan dengan konsep emanasi yang diungkapkan ketiga filsuf muslim dan
khususnya dua filsuf muslim al-Farabi dan Ibn Sina, dalam hal ini Suhrawardi,
dengan menggunakan istilah cahaya bagi akal, tidak sependapat dengan
pembbatasan akal pada akal sepuluh. Menurutnya, penyebaran akal-akal itu tidak
perlu dibatasi, sebab bisa lebih dari sepuluh, seratus, ahkan seribu, dua ribu
atau ratusan ribu. Suhrawardi mengatakan : “Cahaya-cahaya dominator
(al-anwar al-qahirah) memantulkan cahaya-cahaya dari tiap-tiap tingkatnya.
Setiap cahaya yang berada di atas menyinari yang ada di bawahnya pada tiap
tingkatnya dan tiap cahaya yang lebih rendah menerima cahay dari Nur al Anwar
melalui tiap tingkatan cahaya yang ada di atasnya, sehingga cahaya dominator ke
dua akan mendapatkan Nur ats Tsaniy dari Nur al Anwar sebanyak dua kali:
pertama dari Nur al Anwar, tanpa perantara (langsung) dan kedua dari cahaya yang
berada di atasnya (Nur al Aqrab). Cahaya ketiga memperoleh empat kali pancaran
: dua dari pancaran cahaya di atasnya, satu kali dari Nur al Anwar, dengan tanpa
perantara (langsung) dan satu lagi dari Nur al Aqrab. Cahaya keempat
memeperoleh delapan kali pancaran cahaya: empat kali dari cahaya yang berada di
atasnya, dua kali pancaran dari cahaya kedua, satu kali dari Nur al Aqrab dan
satu lagi dari Nur al Anwar dengan langsung tanpa perantara. Demikian proses
pemancaran cahaya selanjutnya hingga mencapai jumlah yang banyak.”[12]
IV.
PENUTUP
Inti
hikmah iluminasi bagi Suhrawardi adalah ilmu cahaya yang membahas sifat dan
cara pembiasannya. Cahaya ini menurutnya tidak dapat di definisikan karena ia
merupakan realitas yang paling nyata sekaligus menampakkan sesuatu. Cahaya ini
juga merupakan substansi yang masuk kedalam komposisi semua substansi yang
lain-meteril maupun imateril. hubungannya dengan objek-objek dibawahnya cahaya
ini memiliki dua bentuk yaitu, cahaya yang terang pada dirinya sendiri dan
cahaya yang terang sekaligus menerangi lainnya. Cahaya yang terakhir ini
menerangi sagala sesuatu, namun bagaimana statusnya, cahaya tetaplah sesuatu
yang terang dan sebagaimana disebutkan ia merupakan sebab tampaknya sesuatu yang
tidak bisa tidak beremanasi darinya.
DAFTAR
PUSTAKA
o Al-Ahwani,
Ahmad Fu’ad, Filsafat Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1988, cet. ke-2
o Drajat, Amroeni, Suhrawardi: Kritik
Falsafah Paripatetik, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005
o Nasr, Seyyed Hossein, Tiga Pemikir Islam:
Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Bandung: Risalah, 1986
o ---------------------------, Science And
Civilization In Islam, Cambridge:
Harvard University Press, 1968
o Razafi, Mehdi Amin, Suhrawardi And The
School Of Illumination, Surrey: Curzon Press, 1997
o Schimmel, Annemarie, Mystical Dimensions Of
Islam, Chapel Hill: The University Of North Crolina Press, 1975
o Ziai, Hussein, Suhrawardi Dan Filsafat
Illuminasi, Bandung : Zaman Wacana Mulia, 1990
[2] Amroeni Drajat, Suhrawardi:
Kritik Falsafah Paripatetik, Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2005, H. 29
[3] Seyyed Hossein Nasr, Science
And Civilization In Islam,
Cambridge: Harvard University Press, 1968, H. 328
[4] Annemarie Schimmel, Mystical
Dimensions Of Islam, Chapel Hill: The University Of North Crolina Press,
1975, H. 260
[6] Seyyed Hossein Nasr, Tiga
Pemikir Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Ibnu Arabi, Bandung: Risalah, 1986,
H.89
[7] Hussein Ziai, Suhrawardi
Dan Filsafat Illuminasi, Bandung : Zaman Wacana Mulia, 1990, H. 136-137
[10] Mehdi Amin Razafi, Suhrawardi
And The School Of Illumination, Surrey: Curzon Press, 1997, H. 92
No comments:
Post a Comment