MOLARITAS AGAMA DAN KRISIS
MODERNITAS
RESUM
Disusu Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah:PPDI
Dosen Pengampu:Dr.Ilyas Supena.M.Ag
Disusun
Oleh
ULFATUR ROHMAH(091111057)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
MORALITAS
AGAMA DAN KRISIS MODERNISME
Nasionalisme Religius:
Kesadaran Sesaat?
John Naisbitt berpendapat bahwa dalam era
globalisasi ini telah terjadi berbagai kecenderungan paradoksal. Salah satunya ialah,bersamaan dengan derasnya trend
kearah terbentuknya kota buana(global city)akibat
dari kemajuan teknologi trensformasi dan informatika,masyarakat modern semakin
merindukan nilai-nilai dan gaya
hidup primordial,terutama pada romantisisme etnis. Bahkan secara sarkastik
trend ini oleh Naisbitt dikatakan telah begitu mengeras sehingga menjelma
bagaikan virus tribalisme yang menakutkan sebagaimana juga virus AIDS yang
meresahkan masyarakat modern. Menurut Juergensmeyer
dalam masalah ini persoalan yang lebih serius bukanlah kebangkitan ideology
tribalisme versus globalisme,melainkan bangkitnya gerakan nasionalisme religius
berhadapan dengan nasionalisme sekuler.
Nasionalisme Sebabagi
Pseudo-Agama
Hans Kohn, pakar ternama dalam sejarah nasionalisme,pada abad 1955 secara
optimistic menyatakan bahwa abad 20 adalah abad dimulainya masa kejayaan
idiologi nasionalisme. Masa kejayaan
agama telah berlalu dan kini semua bangsa akan menjadikan ideology
nasionalisme sebagai agama baru. Nasionalisme
sekuler ini dikatakan sebagai
agama baru karena menawarkan seperangkat nilai acuan hidup dan mampu menggunakan loyalitas total dari
warganya sehingga jikapun agama masih ada kama
keberadaanya merupakan sub-kultur
dari nasionalisme.
Nasionalisme Sekuler Digugat
Diberbagai belahan dunia,kini tengah
bangkit gerakan anti nasionalisme sekuler dengan panji ethnoreligius.
Gerakan ini tidak secara eksklusif terjadi pada negara-negara Timur Tengah yang
mayoritas penduduknya beragama Islam,tetapi juga pada masyarakat non-Muslim
sejak dari Sri Lanka,India,Israel,Filipina,Thailnd,dan Negara dimana tokoh dan
symbol keagamaan secara mencolok muncul ke permukaan bahkan ikut ambil bagian
dalam percaturan politik dalam porsi yang amat menentukan.
Apakah sesungguhnya pemicu utama
kebangkitan etno religius ini,juga bagaimanakah masa depannya,masih merupakan
agenda sejarah yang perlu diikuti secara seksama. Namun satu hal yang agaknya
pasti, kata Juergensmeyer,para
pejuang kemerdekaan di Negara-negara yang relative baru ini merasa kecewa
terhadap Barat yang masih tetap ingin menguasai mereka baik dalam segi
politik,ekonomi,maupun kebudayaan.
Kekuatan simbolik antara sentiment
agama dan etnis ini sesungguhnya bukanlah hal yang baru khususnya bagi Indonesia
dan dunia Islam umumnya. Salah satu hal yang baru,kata Juergensmeyer,adalah masuknya unsur Barat modern dalam dunia islam
yang diterima secara apresiatif dan selektif. Gerakan etno religius secara
sadar mendukung nilai-nilai modern yang datang dari Barat seperti halnya system Negara
demokrasi,keadilan sosial,prinsip efisien,birokrasi modern,teknologi
canggih,dan seterusnya. Tetapi pada tataran etnis dan metafisis,gerakan ini
secara tegas dan kadangkala amat emosional menolak faham sekularisme yang
merupakan kepada situasi yang oleh Meyer
disebut The Loss of Faith in Sekular
Nationalisme.
Penolakan terhadap nasionalisme
sekuler ini bisa mengambil bentuk yang bervariasi,sejak dari yang bersifat
keras dalam mengutuk Barat seperti yang terjadi da Iran dan Mesir,sampai yang moderat
dan bernuansa intelektual. Barangkali Iranlah yang paling produktif dan kreatif
dalam menciptakan jargon anti Barat terutama Amerika.
Bagaimana Indonesia ?
Karena secara demografis jumlah umat
Islam Indonesia
paling banyak,yang berarti secara politis histories juga paling banyak
mengalami penderitaan dari kekejaman penjajah,maka suatu hal yang logis bila
hubungan simbolik antara spirit nasionalisme dan agama mencuat secara mencolok
dalam gerakan Islam. Satu warisan histories dari gerakan ini yang sampai kini
masih hidup,dan bahkan semakin berkembang,dapat ditemukan pada organisasi
Muhammadiyah (1912),Nahdlatul Ulama(1926),dan Himpunan Mahasiswa Islam(1947).
Artikulasi dan manifestasi konsen umat Islam terhadap bangsa Indonesia mengalami perubahan
bentuk karena factor eksternal yang melingkupinya. Jika pada masa
pra-kemerdekaan artikulasinya bersifat reaktif melawan
pemerintah(colonial),maka pada era pasca-kemerdekaan berubah menjadi pro-aktif untuk mewujudkan
cita-cita kemerdekaan.
Meskipun
memiliki latar belakang histories dan karakter pendukung yang berbeda,satu hal
yang pasti ialah bahwa ketiganya(Muhammadiyah,NU,HMI) sangat konsen terhadap
cita-cita Indonesia
sebagai sebuah Negara bangsa. Dalam kaitan ini,Pancasila dapat disebut sebagai
suatu temuan yang sangat jenius dari pendiri bangsa ini yang telah
diperjuangkan sebagai satu-satunya ideology Negara. Tidaklah berlebihan kalau
dikatakan bahwa Pancasila merupakan contah yang sangat tepat dari tesis
Juergensmeyer,yaitu munculnya ideology gerakan nasionalisme religius sebagai lawan dari nasionalisme sekuler.
Dibawah payung pancasila ini semua aspirasi keagamaan yang pluralistic
mendapatkan proteksi dan akomodasi.
No comments:
Post a Comment