KONSTELASI
POLITIK PASCA PEMILIHAN PRESIDEN 2009
I.
PENDAHULUAN
Puncak pesta pemilu legislatif, 9 April usai sudah. Hasilnya pun telah
diumumkan, 9 Mei 2009. Di tengah kecemasan dan kegemasan masyarakat atas
buruknya kinerja KPU, pemilu berjalan dengan relatif damai dan demokratis.
Secara umum pemilu legislatif (pileg) 2009 berlangsung aman dan lancar.
Meskipun demikian, banyak kalangan menilai bahwa kualitas penyelenggaraannya
jauh dari harapan. Banyak persoalan yang dipertanyakan partai politik (parpol)
peserta pemilu. Yang paling menonjol adalah masalah carut-marut daftar pemilih
tetap (DPT),[1] tertukarnya surat suara di beberapa tempat (masalah
logistik), dan lambannya penayangan tabulasi elektronik hasil pemilu. Sebagai
akibatnya, sejumlah parpol, khususnya yang berada di luar pemerintahan, merasa
dizalimi oleh parpol pemerintah, khususnya Partai Demokrat yang menjadi parpol
pemenang pemilu. Sebagian parpol yang kalah pileg, bahkan, mengancam akan
memboikot pemilu presiden (pilpres) bila hal tersebut tak ditangani dengan
baik. Beberapa LSM dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah melayangkan
gugatan hukumnya, termasuk soal hasil tabulasi elektronik yang sangat lambat.
II.
PERMASALAHAN
1. Skenario
Kemungkinan Koalisi
2. Evaluasi
Pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009
3. Hasil Pemilu
Legislatif 2009
4. Pola Hubungan
Partai Politik dan Massa
5. Implikasi dan
Prospeknya
III.
PEMBAHASAN
- Skenario Kemungkinan Koalisi
Merujuk pada basis ideologi sebagai dasar pembentukan koalisi, secara
umum bisa dibagi menjadi tiga basis ideologi, meskipun kalau rujukannya adalah
asas partai, maka hanya akan terbagi menjadi dua, yakni: Asas Pancasila
(Demokrat, Golkar, PDIP, PAN, PKB, Gerindra, Hanura) dan Asas Islam (PKS, PPP).
Namun skenario koalisi partai-partai berasas Pancasila tidak bisa ditempatkan
dalam satu kandang, karena ada kecederungan-kecenderungan yang membelah
perspektif politik di antara mereka.
Melihat berdasarkan basis idelogis dan politis, maka setidaknya ada tiga
koalisi yang terbangun:
Koalisi pertama adalah koalisi Demokrat, Golkar, PKB yang bisa dinamai
Nasionalis-Agama, karena merupakan partai nasionalis yang memiliki
kecenderungan pada tendensi isu-isu keagamaan.
Koalisi kedua adalah koalisi PDIP, Gerindra, Hanura yang bisa dinamai
Ultra-Nasionalis, karena mengusung isu-isu konservatif seperti kembali ke UUD
1945, ide-ide Pancasila yang Orde Baru, dan memiliki tendensi militeristik.
Koalisi ketiga adalah koalisi PAN, PKS, PPP yang bisa dinamai
Fundamental-Agama, karena memiliki kecenderungan partai-partai berasas agama,
dan agenda-agenda politik hukum keagamaan. Sebenarnya PAN merupakan partai
dengan asas Pancasila, namun dalam politik legislatif 1999-2009 memiliki
kedekatan yang kuat dengan partai-partai berasas Islam, jadi dengan itu PAN
bisa dimasukkan dalam koalisi di sini.[2]
- Evaluasi Pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009
Bila dievaluasi, kelemahan penyelenggaraan pemilu legislatif 2009,
antara lain, disebabkan oleh beberapa hal berikut: pertama, DPT (daftar pemilih
tetap) tidak akurat. Masalah DPT tersebut menjadi isu akut yang senantiasa
muncul di setiap pemilu dan pilkada. Masalah DPT sangat terkait dengan management
administrasi kependudukan secara nasional.
Kedua, sistem Pemilu 2009 yang berpedoman pada suara terbanyak cukup
rumit sehingga menyulitkan petugas lapangan dan masyarakat awam.
Ketiga, kompetensi dan manajerial kepemiluan lembaga penyelenggara
pemilu (KPU) sangat lemah. Hampir semua tahapan bermasalah dan menuai kritik
tajam. Bila dirujuk, keadaan tersebut disebabkan oleh sistem rekruitmennya yang
mirip rekruitmen lowongan pekerjaan pegawai negeri sipil. Akibatnya,
orang-orang yang kapabel dan mumpuni tidak begitu berminat untuk berkompetisi
memperebutkan pekerjaan tersebut karena dirasakan hanya akan merendahkan
reputasi dan profesionalitas mereka. Apalagi karena lembaga yang memilih (DPR)
sarat dengan unsur politis. Akhirnya, yang terpilih sebagai anggota KPU adalah
mereka yang reputasi dan kapabilitasnya tak dikenal publik. Orang-orang yang
dianggap publik memiliki reputasi dan kapabilitas justru tersingkir.
Keempat, mekanisme pencairan anggaran dari Departemen Keuangan sering
terlambat sehingga menghambat tahapan pemilu yang sudah terjadwal ketat.
Kelima, tenaga penunjang di Sekretariat – mulai KPU pusat hingga daerah
– yang berasal dari kalangan PNS banyak menimbulkan masalah karena ditengarai
memiliki loyalitas ganda dan mengalami disorientasi. Kinerja mereka, pada
umumnya, cukup rendah dan merasa bukan “bawahan” para anggota KPU yang notabene
bukan PNS.
Keenam, masalah golongan putih (golput). Berdasarkan data sementara yang
dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), 9 Mei 2009, golput mencapai 68.997.841
atau 40,31%. Jumlah itu diperoleh dari jumlah suara sah Pemilu Legislatif 2009
dari 33 provinsi dengan 76 daerah pemilihan. Jumlah pemilih yang terdaftar
dalam daftar pemilih tetap (DPT) adalah 171.265.442 pemilih. Sebagai
perbandingan pada Pemilu 2004, jumlah suara sah sebanyak 113.462.414 suara atau
sekitar 77,09% dari jumlah pemilih yang berjumlah 147.105.259 pemilih. Dengan
kata lain, persentase golput Pemilu 2009 jauh lebih besar dari Pemilu 2004.[3]
- Hasil Pemilu Legislatif 2009
Berdasarkan hasil pemilu legislatif (pileg) yang ditetapkan KPU, partai
Demokrat memperoleh 20,85% (150 kursi), Golkar 14,45 (107 kursi), PDIP 14,03%
(95 kursi), PKS 7,88% (57 kursi), PAN 6,01% (43 kursi), PPP 5,32% (37 kursi),
PKB 4,94% (27 kursi), Gerindra 4,46% (26 kursi), dan Hanura 3,77% (18 kursi).[4]
Adapun suara 29 parpol lainnya berada di bawah parliamentary
Threshold (PT).
Hasil pileg tersebut menunjukkan kenaikan fantastis (sekitar 300%) suara
partai Demokrat dan sekaligus menjadikannya sebagai parpol pemenang pemilu.
Adapun perolehan suara dua partai besar, yakni Golkar dan PDIP, cenderung turun
cukup tajam dibandingkan pileg 2004. Ini berarti merupakan pil pahit bagi Golkar
dan PDIP.
Kemampuan partai Demokrat mengungguli partai Golkar dan PDIP, antara
lain, disebabkan oleh citra Demokrat yang cenderung menunjukkan sifatnya yang
inklusif, terbuka, aspiratif, dan relatif bersih. Meskipun secara umum partai
Demokrat merupakan anak kandung atau setidaknya “saudara sedarah” partai Golkar
dan teman sepenanggungan di pemerintahan, partai Demokrat lebih mampu
memisahkan dirinya dari stigma partai Orde Baru yang kolutif, korup, dan
nepotisme (KKN). Lepas dari faktor ketokohannya, komitment SBY dalam
pemberantasan korupsi tampak lebih kuat dibandingkan dengan Golkar. Dalam
banyak kesempatan SBY secara tegas menyatakan dukungannya pada pemberantasan
korupsi.[5]
Hal ini telah memberikannya citra positif bagi
Demokrat di mata rakyat.
- Pola Hubungan Partai Politik Dan Massa
Dalam sitem politik yang demokratis, setiap partai politik (parpol)
semestinya mampu menunjukkan dirinya sebagai parpol yang terbuka, inklusif, dan
transparan. Apalagi dengan diberlakukannya sistem suara terbanyak dalam pemilu
legislatif sekarang ini. Semestinya setiap calon legislatif dan tokoh politik
tidak saja mendekatkan dirinya dengan konstituennya, melainkan juga harus
menjaga citranya sebagai tokoh yang bersih, aspiratif dan akomodatif.
Pola hubungan antara parpol dan massa ditengarai ikut berperan dalam
memengaruhi munculnya fragmentasi kepartaian. Menurut Syaiful Muzani,
instabilitas hubungan antara parpol dan massa menjadi penyebab fragmentasi
kepartaian.[6]
Sebagai contoh menurunnya perolehan suara PDI-P, Golkar,
PAN, PPP dan PKB dalam Pemilu Legislatif 2009 di satu pihak, dan naiknya
perolehan suara partai Demokrat ke posisi pertama di pihak lain merupakan salah
satu bukti konkret. Instabilitas pola hubungan ini akan mengancam proses
demokratisasi karena partai politik yang menjadi pilar demokrasi sulit
melakukan konsolidasi.
- Implikasi Dan Prospeknya
Keadaan internal partai yang tidak terselesaikan dengan baik sesuai
dengan rambu-rambu demokrasi membuat parpol makin sulit meyakinkan
konstituennya untuk memberikan dukungannya dalam pemilu. Dengan
institusionalisasi parpol yang masih lemah, sulit diharapkan lahirnya kebijakan
yang dapat memihak kepentingan rakyat. Keadaan inilah yang membuat masalah
pengangguran, kemiskinan, pendidikan dan masalah pembangunan pada umumnya tak
juga menemukan pemecahannya. Dengan kata lain, proses pemilu dan pasca pemilu
seharusnya berkorelasi positif, sehingga dapat menghasilkan pemerintahan baru
yang mampu merealisasikan pemerintahan yang baik untuk melayani masyarakat.[7]
Ada beberapa hal penting yang harus dibenahi berkenaan dengan pilpres 8
Juli 2009. Pertama, masalah DPT Pilpres harus bisa diselesaikan dengan baik.
Dalam hal ini, Selain KPU, Pemerintah dan partai politik juga harus
bertanggungjawab mengatasi masalah DPT sesuai dengan kewenangan dan tugas
masing-masing. Kedua, dalam waktu yang sangat terbatas menjelang pilpres, KPU
harus mampu merencanakan dan mengatasi masalah kebutuhan logistik pemilu dengan
baik, seperti jumlah TPS, pengangkatan KPPS, tinta, kotak suara, bilik suara,
surat suara, dan formulir-formulir.
Dalam hal koalisi pilpres, idealnya arah koalisi dalam membentuk konser
demokrasi yang terkonsolidasi harus jelas, terformat, terukur dan solid agar
penguatan sistem presidensial yang mengedepankan mekanisme checks and
balances dapat diwujudkan. Dengan kata lain, koalisi “pelangi” yang sudah
terbentuk saat ini semestinya terbangun secara kokoh tanpa menonjolkan
pragmatisme dan kepentingan jangka pendek. Dengan begitu, koalisi yang
terbangun tidak semata-mata mengesankan koalisi untuk “bagi-bagi kursi” di
kabinet, tetapi juga dalam kerangka rekonstruksi sistem politik demokratik yang
kuat, stabil dan produktif/efektif.
Pemilihan presiden 2009 prospeknya akan cerah bila para elit mampu
melakukan terobosan politik yang signifikan dan bermanfaat bagi rakyat. Calon
pemimpin yang berkontestasi dan berkompetisi dalam pilpres mampu menawarkan
program-programa yang bisa memperbaiki nasib warga negara. Hanya melalui
tawaran program yang bisa dipertanggungjawabkan tersebut rakyat bisa menagih
janji kepada pemimpin yang telah berikrar dalam kampanye pilpres.
Selain peran pemimpin yang sangat krusial dalam membenahi negeri ini, ke
depan Indonesia juga perlu melakukan perampingan parpol agar pemerintah lebih
dapat berkonsentrasi penuh merealisasikan program pembangunan ekonomi. Ini
dimaksudkan agar efektivitas pengambilan keputusan politik dapat terwujud.
Perampingan parpol juga diperlukan karena sesungguhnya banyak partai yang
berasal dari spektrum atau domain ideologi yang sama sehingga dapat digabungkan
ke dalam partai yang sama. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa masyarakat
pada dasarnya tak menghendaki banyaknya parpol karena membuat mereka semakin
bingung.[8]
Oleh karena itu, yang perlu dibangun adalah pola koalisi yang lebih
terformat, terukur dan permanen. Koalisi tersebut seyogyanya pula perlu
dipayungi oleh undang-undang. Pengerucutan koalisi partai menjadi hanya dua
saja menjadi prasyarat penting. Demikian juga dengan fraksi di Parlemen cukup
dua saja, yakni fraksi pemerintah dan fraksi oposisi. Realisasi dan konsistensi
ini sangat diperlukan untuk menjamin efektivitas dan stabilitas pemerintahan
yang pro-rakyat dan berlangsungnya sistem presidensiil.[9]
IV.
KESIMPULAN
Dalam koalisi sementara di legislattif, jika merujuk hasil pemilu
legislatif, maka bisa digambarkan sebagai berikut: Koalisi
Demokrat-PKB-PKS-PAN-PPP akan menguasai 314 suara, yakni sekitar 56 persen
perolehan kursi. Koalisi Golkar-Hanura akan menguasai 125 kursi dan koalisi
PDIP-Gerindra akan menguasai 121 kursi legislatif. Dengan komposisi ini, jika
koalisi Golkar-Hanura dan PDIP-Gerindra bergabung, tetap masih belum bisa
menguasai mayoritas kursi legislatif. Dengan konstelasi seperti ini, seharusnya
akan terbentuk pemerintahan yang kuat dan stabil, karena didukung oleh suara
mayoritas di legislatif.
Namun, sebagaimana telah disinggung di atas, karena basis koalisi antar
partai bukan dibangun atas dasar kepentingan ideologis, melainkan kepentingan
akses kekuasaan semata-mata, dan juga berdasarkan pengalaman kepolitikan
Indonesia selama ini, maka potensi untuk terjadinya pergeseran koalisi pasca
pilpres masih besar kemungkinannya.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
sampaikan. Harapan kami makalah ini bisa digunakan sebagai bahan ajar dan
bermanfaat bagi semua pembaca. Kami mohon maaf atas segala kekurangan baik dalam tulisan atau materi. Dan kami
mengharapkan kritik serta saran pembaca atas pembuatan makalah ini sebagai
perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
*
Syamsuddin Haris (ed), Partai Dan Parlemen Lokal
Era Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2007
*
Media Indonesia, 15 Mei 2007.
*
R. Siti Zuhro, “Pemilu Legislatif 2009: Sebuah Catatan
Kritis”, Media Indonesia, 13 April 2009.
*
Kompas,
11 Mei 2009
*
Berdasarkan hasil pengumuman KPU yang dimuat di
berbagai media massa, 17 Mei 2009.
[1]Permasalahan DPT menyebabkan jumlah pemilih yang tidak
menggunakan hak pilihnya (golput) relatif meningkat, yaitu sekitar 40,31
persen, lihat Kompas dan Media Indonesia, 10 Mei 2009.
[4]
Berdasarkan hasil pengumuman KPU yang dimuat di berbagai media massa, 17
Mei 2009.
[5]
Relatif konsistennya SBY dalam memberantas korupsi ini bisa dilihat dari
keseriusannya untuk tidak melindungi koruptor meskipun itu melanda besannya
sendiri. Lihat Keterangan Pers Presiden “Pemberantasan Korupsi Perlu Dukungan
Semua Pihak”, www.ri.go.id
[8]
Lihat antara lain Syamsuddin Haris (ed), Partai Dan
Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press,
2007. Selama dua tahun terakhir ini (2007-2009) keinginan untuk merampingkan
jumlah partai politik semakin gencar disuarakan mengingat fragmentasi partai
cenderung makin marak. Ironisnya, banyaknya jumlah partai saat ini tidak
berkorelasi positif terhadap pluralisme masyarakat Indonesia. Sebaliknya,
fenomena banyaknya partai tersebut justru membingungkan masyarakat dan ikut
berkontribusi negatif terhadap pelaksanaan pemilu legislatif 2009. Argument
tersebut juga sangat mengemuka dalam dikusi yng dilakukan oleh “Kaukus untuk
Konsolidasi Demokrasi” yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Penelitian
Politik LIPI, The Habibie Center dan FISIP UI, Widya Graha LIPI, 27 April 2009.
[9]
Lihat antara lain R. Siti Zuhro, “Pemilu Legislatif
2009: Sebuah Catatan Kritis”, Media Indonesia, 13 April 2009.
No comments:
Post a Comment