Monday, February 24, 2014

KONSTELASI POLITIK PASCA PEMILIHAN PRESIDEN 2009



KONSTELASI POLITIK PASCA PEMILIHAN PRESIDEN 2009

       I.            PENDAHULUAN
Puncak pesta pemilu legislatif, 9 April usai sudah. Hasilnya pun telah diumumkan, 9 Mei 2009. Di tengah kecemasan dan kegemasan masyarakat atas buruknya kinerja KPU, pemilu berjalan dengan relatif damai dan demokratis. Secara umum pemilu legislatif (pileg) 2009 berlangsung aman dan lancar. Meskipun demikian, banyak kalangan menilai bahwa kualitas penyelenggaraannya jauh dari harapan. Banyak persoalan yang dipertanyakan partai politik (parpol) peserta pemilu. Yang paling menonjol adalah masalah carut-marut daftar pemilih tetap (DPT),[1] tertukarnya surat suara di beberapa tempat (masalah logistik), dan lambannya penayangan tabulasi elektronik hasil pemilu. Sebagai akibatnya, sejumlah parpol, khususnya yang berada di luar pemerintahan, merasa dizalimi oleh parpol pemerintah, khususnya Partai Demokrat yang menjadi parpol pemenang pemilu. Sebagian parpol yang kalah pileg, bahkan, mengancam akan memboikot pemilu presiden (pilpres) bila hal tersebut tak ditangani dengan baik. Beberapa LSM dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga telah melayangkan gugatan hukumnya, termasuk soal hasil tabulasi elektronik yang sangat lambat.

    II.            PERMASALAHAN
1.      Skenario Kemungkinan Koalisi
2.      Evaluasi Pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009
3.      Hasil Pemilu Legislatif 2009
4.      Pola Hubungan Partai Politik dan Massa
5.      Implikasi dan Prospeknya

 III.            PEMBAHASAN
  1. Skenario Kemungkinan Koalisi
Merujuk pada basis ideologi sebagai dasar pembentukan koalisi, secara umum bisa dibagi menjadi tiga basis ideologi, meskipun kalau rujukannya adalah asas partai, maka hanya akan terbagi menjadi dua, yakni: Asas Pancasila (Demokrat, Golkar, PDIP, PAN, PKB, Gerindra, Hanura) dan Asas Islam (PKS, PPP). Namun skenario koalisi partai-partai berasas Pancasila tidak bisa ditempatkan dalam satu kandang, karena ada kecederungan-kecenderungan yang membelah perspektif politik di antara mereka.
Melihat berdasarkan basis idelogis dan politis, maka setidaknya ada tiga koalisi yang terbangun:
Koalisi pertama adalah koalisi Demokrat, Golkar, PKB yang bisa dinamai Nasionalis-Agama, karena merupakan partai nasionalis yang memiliki kecenderungan pada tendensi isu-isu keagamaan.
Koalisi kedua adalah koalisi PDIP, Gerindra, Hanura yang bisa dinamai Ultra-Nasionalis, karena mengusung isu-isu konservatif seperti kembali ke UUD 1945, ide-ide Pancasila yang Orde Baru, dan memiliki tendensi militeristik.
Koalisi ketiga adalah koalisi PAN, PKS, PPP yang bisa dinamai Fundamental-Agama, karena memiliki kecenderungan partai-partai berasas agama, dan agenda-agenda politik hukum keagamaan. Sebenarnya PAN merupakan partai dengan asas Pancasila, namun dalam politik legislatif 1999-2009 memiliki kedekatan yang kuat dengan partai-partai berasas Islam, jadi dengan itu PAN bisa dimasukkan dalam koalisi di sini.[2]
  1. Evaluasi Pelaksanaan Pemilu Legislatif 2009
Bila dievaluasi, kelemahan penyelenggaraan pemilu legislatif 2009, antara lain, disebabkan oleh beberapa hal berikut: pertama, DPT (daftar pemilih tetap) tidak akurat. Masalah DPT tersebut menjadi isu akut yang senantiasa muncul di setiap pemilu dan pilkada. Masalah DPT sangat terkait dengan management administrasi kependudukan secara nasional.
Kedua, sistem Pemilu 2009 yang berpedoman pada suara terbanyak cukup rumit sehingga menyulitkan petugas lapangan dan masyarakat awam.
Ketiga, kompetensi dan manajerial kepemiluan lembaga penyelenggara pemilu (KPU) sangat lemah. Hampir semua tahapan bermasalah dan menuai kritik tajam. Bila dirujuk, keadaan tersebut disebabkan oleh sistem rekruitmennya yang mirip rekruitmen lowongan pekerjaan pegawai negeri sipil. Akibatnya, orang-orang yang kapabel dan mumpuni tidak begitu berminat untuk berkompetisi memperebutkan pekerjaan tersebut karena dirasakan hanya akan merendahkan reputasi dan profesionalitas mereka. Apalagi karena lembaga yang memilih (DPR) sarat dengan unsur politis. Akhirnya, yang terpilih sebagai anggota KPU adalah mereka yang reputasi dan kapabilitasnya tak dikenal publik. Orang-orang yang dianggap publik memiliki reputasi dan kapabilitas justru tersingkir.
Keempat, mekanisme pencairan anggaran dari Departemen Keuangan sering terlambat sehingga menghambat tahapan pemilu yang sudah terjadwal ketat.
Kelima, tenaga penunjang di Sekretariat – mulai KPU pusat hingga daerah – yang berasal dari kalangan PNS banyak menimbulkan masalah karena ditengarai memiliki loyalitas ganda dan mengalami disorientasi. Kinerja mereka, pada umumnya, cukup rendah dan merasa bukan “bawahan” para anggota KPU yang notabene bukan PNS.
Keenam, masalah golongan putih (golput). Berdasarkan data sementara yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), 9 Mei 2009, golput mencapai 68.997.841 atau 40,31%. Jumlah itu diperoleh dari jumlah suara sah Pemilu Legislatif 2009 dari 33 provinsi dengan 76 daerah pemilihan. Jumlah pemilih yang terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) adalah 171.265.442 pemilih. Sebagai perbandingan pada Pemilu 2004, jumlah suara sah sebanyak 113.462.414 suara atau sekitar 77,09% dari jumlah pemilih yang berjumlah 147.105.259 pemilih. Dengan kata lain, persentase golput Pemilu 2009 jauh lebih besar dari Pemilu 2004.[3]
  1. Hasil Pemilu Legislatif 2009
Berdasarkan hasil pemilu legislatif (pileg) yang ditetapkan KPU, partai Demokrat memperoleh 20,85% (150 kursi), Golkar 14,45 (107 kursi), PDIP 14,03% (95 kursi), PKS 7,88% (57 kursi), PAN 6,01% (43 kursi), PPP 5,32% (37 kursi), PKB 4,94% (27 kursi), Gerindra 4,46% (26 kursi), dan Hanura 3,77% (18 kursi).[4] Adapun suara 29 parpol lainnya berada di bawah parliamentary Threshold (PT).
Hasil pileg tersebut menunjukkan kenaikan fantastis (sekitar 300%) suara partai Demokrat dan sekaligus menjadikannya sebagai parpol pemenang pemilu. Adapun perolehan suara dua partai besar, yakni Golkar dan PDIP, cenderung turun cukup tajam dibandingkan pileg 2004. Ini berarti merupakan pil pahit bagi Golkar dan PDIP.
Kemampuan partai Demokrat mengungguli partai Golkar dan PDIP, antara lain, disebabkan oleh citra Demokrat yang cenderung menunjukkan sifatnya yang inklusif, terbuka, aspiratif, dan relatif bersih. Meskipun secara umum partai Demokrat merupakan anak kandung atau setidaknya “saudara sedarah” partai Golkar dan teman sepenanggungan di pemerintahan, partai Demokrat lebih mampu memisahkan dirinya dari stigma partai Orde Baru yang kolutif, korup, dan nepotisme (KKN). Lepas dari faktor ketokohannya, komitment SBY dalam pemberantasan korupsi tampak lebih kuat dibandingkan dengan Golkar. Dalam banyak kesempatan SBY secara tegas menyatakan dukungannya pada pemberantasan korupsi.[5] Hal ini telah memberikannya citra positif bagi Demokrat di mata rakyat.
  1. Pola Hubungan Partai Politik Dan Massa
Dalam sitem politik yang demokratis, setiap partai politik (parpol) semestinya mampu menunjukkan dirinya sebagai parpol yang terbuka, inklusif, dan transparan. Apalagi dengan diberlakukannya sistem suara terbanyak dalam pemilu legislatif sekarang ini. Semestinya setiap calon legislatif dan tokoh politik tidak saja mendekatkan dirinya dengan konstituennya, melainkan juga harus menjaga citranya sebagai tokoh yang bersih, aspiratif dan akomodatif.
Pola hubungan antara parpol dan massa ditengarai ikut berperan dalam memengaruhi munculnya fragmentasi kepartaian. Menurut Syaiful Muzani, instabilitas hubungan antara parpol dan massa menjadi penyebab fragmentasi kepartaian.[6] Sebagai contoh menurunnya perolehan suara PDI-P, Golkar, PAN, PPP dan PKB dalam Pemilu Legislatif 2009 di satu pihak, dan naiknya perolehan suara partai Demokrat ke posisi pertama di pihak lain merupakan salah satu bukti konkret. Instabilitas pola hubungan ini akan mengancam proses demokratisasi karena partai politik yang menjadi pilar demokrasi sulit melakukan konsolidasi.
  1. Implikasi Dan Prospeknya
Keadaan internal partai yang tidak terselesaikan dengan baik sesuai dengan rambu-rambu demokrasi membuat parpol makin sulit meyakinkan konstituennya untuk memberikan dukungannya dalam pemilu. Dengan institusionalisasi parpol yang masih lemah, sulit diharapkan lahirnya kebijakan yang dapat memihak kepentingan rakyat. Keadaan inilah yang membuat masalah pengangguran, kemiskinan, pendidikan dan masalah pembangunan pada umumnya tak juga menemukan pemecahannya. Dengan kata lain, proses pemilu dan pasca pemilu seharusnya berkorelasi positif, sehingga dapat menghasilkan pemerintahan baru yang mampu merealisasikan pemerintahan yang baik untuk melayani masyarakat.[7]
Ada beberapa hal penting yang harus dibenahi berkenaan dengan pilpres 8 Juli 2009. Pertama, masalah DPT Pilpres harus bisa diselesaikan dengan baik. Dalam hal ini, Selain KPU, Pemerintah dan partai politik juga harus bertanggungjawab mengatasi masalah DPT sesuai dengan kewenangan dan tugas masing-masing. Kedua, dalam waktu yang sangat terbatas menjelang pilpres, KPU harus mampu merencanakan dan mengatasi masalah kebutuhan logistik pemilu dengan baik, seperti jumlah TPS, pengangkatan KPPS, tinta, kotak suara, bilik suara, surat suara, dan formulir-formulir.
Dalam hal koalisi pilpres, idealnya arah koalisi dalam membentuk konser demokrasi yang terkonsolidasi harus jelas, terformat, terukur dan solid agar penguatan sistem presidensial yang mengedepankan mekanisme checks and balances dapat diwujudkan. Dengan kata lain, koalisi “pelangi” yang sudah terbentuk saat ini semestinya terbangun secara kokoh tanpa menonjolkan pragmatisme dan kepentingan jangka pendek. Dengan begitu, koalisi yang terbangun tidak semata-mata mengesankan koalisi untuk “bagi-bagi kursi” di kabinet, tetapi juga dalam kerangka rekonstruksi sistem politik demokratik yang kuat, stabil dan produktif/efektif.
Pemilihan presiden 2009 prospeknya akan cerah bila para elit mampu melakukan terobosan politik yang signifikan dan bermanfaat bagi rakyat. Calon pemimpin yang berkontestasi dan berkompetisi dalam pilpres mampu menawarkan program-programa yang bisa memperbaiki nasib warga negara. Hanya melalui tawaran program yang bisa dipertanggungjawabkan tersebut rakyat bisa menagih janji kepada pemimpin yang telah berikrar dalam kampanye pilpres.
Selain peran pemimpin yang sangat krusial dalam membenahi negeri ini, ke depan Indonesia juga perlu melakukan perampingan parpol agar pemerintah lebih dapat berkonsentrasi penuh merealisasikan program pembangunan ekonomi. Ini dimaksudkan agar efektivitas pengambilan keputusan politik dapat terwujud. Perampingan parpol juga diperlukan karena sesungguhnya banyak partai yang berasal dari spektrum atau domain ideologi yang sama sehingga dapat digabungkan ke dalam partai yang sama. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa masyarakat pada dasarnya tak menghendaki banyaknya parpol karena membuat mereka semakin bingung.[8]
Oleh karena itu, yang perlu dibangun adalah pola koalisi yang lebih terformat, terukur dan permanen. Koalisi tersebut seyogyanya pula perlu dipayungi oleh undang-undang. Pengerucutan koalisi partai menjadi hanya dua saja menjadi prasyarat penting. Demikian juga dengan fraksi di Parlemen cukup dua saja, yakni fraksi pemerintah dan fraksi oposisi. Realisasi dan konsistensi ini sangat diperlukan untuk menjamin efektivitas dan stabilitas pemerintahan yang pro-rakyat dan berlangsungnya sistem presidensiil.[9]

 IV.            KESIMPULAN
Dalam koalisi sementara di legislattif, jika merujuk hasil pemilu legislatif, maka bisa digambarkan sebagai berikut: Koalisi Demokrat-PKB-PKS-PAN-PPP akan menguasai 314 suara, yakni sekitar 56 persen perolehan kursi. Koalisi Golkar-Hanura akan menguasai 125 kursi dan koalisi PDIP-Gerindra akan menguasai 121 kursi legislatif. Dengan komposisi ini, jika koalisi Golkar-Hanura dan PDIP-Gerindra bergabung, tetap masih belum bisa menguasai mayoritas kursi legislatif. Dengan konstelasi seperti ini, seharusnya akan terbentuk pemerintahan yang kuat dan stabil, karena didukung oleh suara mayoritas di legislatif.
Namun, sebagaimana telah disinggung di atas, karena basis koalisi antar partai bukan dibangun atas dasar kepentingan ideologis, melainkan kepentingan akses kekuasaan semata-mata, dan juga berdasarkan pengalaman kepolitikan Indonesia selama ini, maka potensi untuk terjadinya pergeseran koalisi pasca pilpres masih besar kemungkinannya.

    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Harapan kami makalah ini bisa digunakan sebagai bahan ajar dan bermanfaat bagi semua pembaca. Kami mohon maaf atas segala kekurangan baik  dalam tulisan atau materi. Dan kami mengharapkan kritik serta saran pembaca atas pembuatan makalah ini sebagai perbaikan pembuatan makalah selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
*        Syamsuddin Haris (ed), Partai Dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2007
*        Media Indonesia, 15 Mei 2007.
*        R. Siti Zuhro, “Pemilu Legislatif 2009: Sebuah Catatan Kritis”, Media Indonesia, 13 April 2009.
*        Kompas, 11 Mei 2009
*        Berdasarkan hasil pengumuman KPU yang dimuat di berbagai media massa, 17 Mei 2009.
*        www.ri.go.id

[1]Permasalahan DPT menyebabkan jumlah pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput) relatif meningkat, yaitu sekitar 40,31 persen, lihat Kompas dan Media Indonesia, 10 Mei 2009.

[3] Kompas, 11 Mei 2009
[4] Berdasarkan hasil pengumuman KPU yang dimuat di berbagai media massa, 17 Mei 2009.
[5] Relatif konsistennya SBY dalam memberantas korupsi ini bisa dilihat dari keseriusannya untuk tidak melindungi koruptor meskipun itu melanda besannya sendiri. Lihat Keterangan Pers Presiden “Pemberantasan Korupsi Perlu Dukungan Semua Pihak”, www.ri.go.id
[6] Media Indonesia, 15 Mei 2007.
[8] Lihat antara lain Syamsuddin Haris (ed), Partai Dan Parlemen Lokal Era Transisi Demokrasi di Indonesia. Jakarta: LIPI Press, 2007. Selama dua tahun terakhir ini (2007-2009) keinginan untuk merampingkan jumlah partai politik semakin gencar disuarakan mengingat fragmentasi partai cenderung makin marak. Ironisnya, banyaknya jumlah partai saat ini tidak berkorelasi positif terhadap pluralisme masyarakat Indonesia. Sebaliknya, fenomena banyaknya partai tersebut justru membingungkan masyarakat dan ikut berkontribusi negatif terhadap pelaksanaan pemilu legislatif 2009. Argument tersebut juga sangat mengemuka dalam dikusi yng dilakukan oleh “Kaukus untuk Konsolidasi Demokrasi” yang diselenggarakan atas kerjasama Pusat Penelitian Politik LIPI, The Habibie Center dan FISIP UI, Widya Graha LIPI, 27 April 2009.

[9] Lihat antara lain R. Siti Zuhro, “Pemilu Legislatif 2009: Sebuah Catatan Kritis”, Media Indonesia, 13 April 2009.

No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...