I.
PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan salah satu perilaku makhluk ciptaan Tuhan yang bertujuan
untuk berkembang biak dan meneruskan
keturunan. Perkawinan tidak hanya terjadi pada manusia, namun jika terjadi pada
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pada manusia perkawinan merupakan salah satu budaya
yang peraturannya mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan
bermasyarakat.
Dalam pelaksanaannya, pengaturan pernikahan yang berlaku pada suatu
masyarakat atau suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh agama dan adat
istiadat setempat dimana masyarakat itu berada. Ada yang hanya menggunakan
hokum agama, tetapi ada pula yang menggabungkan antara hokum agama dan adat
istiadat masyarakat setempat.
Seperti yang terjadi didalam hokum perkawinan Indonesia, bukan saja
dipengaruhi oleh adat-istiadat masyarakat setempat, tetapi juga oleh ajaran
agama (Hindu, Budha, Islam, dan Kristen). Hal itu berakibat pada perbedaan tata
cara perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang terdiri dari
berbagai macam suku.Walaupun bangsa Indonesia kini telah memiliki hokum
perkawinan nasional sebagai aturan pokok, kenyataanya dikalangan masyarakat
Indonesia berlaku tata cara perkawinan yang berbeda-beda. Untuk itu, didalam
makalah ini akan diuraikan beberapa konsep tentang perkawinan ditinjau dari
berbagai perspektif.
II.
PERMASALAHAN
a.
Apakah
hakekat nikah sirri?
b.
Apa
kebijakan tentang pernikahan yang pernah atau sedang diambil pemerintah?
c.
Seberapa
bermakna hasil dari sebuah kebijakan tentang pernikahan untuk menyelesaikan
permasalahan nikah sirri?
d.
Apakah
aternatif kebijakan untuk menjawab permasalahan itu?
e.
Hasil
apakah yang dapat diharapkan dari permasalahan nikah sirri?
III.
PEMBAHASAN
A.
Hakekat Nikah Sirri
Pengertian nikah sirri
Sirri itu artinya rahasia, jadi nikah sirri adalah nikah yang
dirahasiakan, dirahasiakan karena takut dan malu diketahui umum. Padahal nikah
itu harus dimaklumatkan, diumumkan, diketahui oleh orang banyak supaya
menghilangkan fitnah, menjaga nama baik dan kehormatan.
Macam-macam nikah sirri
Pertama, nikah yang
dilakukan tanpa adanya wali. Pernikahan seperti ini jelas hanya bahwa pernikahan
yang dilakukan tanpa wali adalah tidak sah. sebab wali merupakan rukun sahnya
pernikahhan.
Kedua, adalah
pernikahan yang dilakukan tanpa dicatatkan oleh petugas PPN yang ada dibawah
wewenang KUA. Pernikahan seperti ini menurut agama hukumnya sah akan tetapi
dari segi hukum formal atau undang-undang bahwa pernikahan tersebut tidak sah.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan
sipil agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa
dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah
satu bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’i (bayyinah syar’iyyah)
adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. ketika pernikahan dicatatkan
pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen
resmi yang bisa ia jadikan sebagai alat bukti dihadapan majelis peradilan,
ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang
lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, dan lain sebagainya.[1]
Nikah yang disembunyikan atau sirri juga bertentangan dengan hadits
Nabi yang berbunyi:
وَزْنِ
نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ فَبَارَكَ اللهَ لَكَ أوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya: “adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan
hidangan kambing.”
Perkawinan yang sah sesuai hukum islam yang disembunyikan dari
khalayak ramai memang tidak layak untuk dilakukan. mengapa hal ini juga dapat
terjadi?
Pertama, mungkin
disebabkan oleh ketatnya syarat-syarat poligami yang harus dipenuhi oleh suami.
Kedua, perkawinan sah yang disembunyikan dari khalayak ramai, mungkin
dilakukan bukan dalam rangka poligami, tetapi dilakukan oleh orang-orang
tertentu yang terkait dengan perjanjian tertentu dibidang pekerjaannya yang
mengharuskan ia tidak melakukan atau menunda perkawinan dalam jangka waktu
tertentu. Ketiga, perkawinan sah yang disembunyikan dari khalayak ramai
mungkin dilakukan dalam rangka kawin gantung yang dikenal dalam
masyarakat indonesia sejak dulu kala, meskipun saat ini sudah sangat jarang
terdengar.[2]
B.
Kebijakan Pemerintah dalam UU Perkawinan
Sebelum berlakunya UU nomor 1 tahun 1974, Indonesia menggunakan
berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan daerah.
Keragaman golongan dan daerah ini tercermin dalam UU Perkawinan oleh Negara
pada pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perkawinan
adalah jika yang telah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya.
Undang-undang perkawinan memberikan konsep tentang pengertian
perkawinan yang diatur dalam pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan adalah ikatan
batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bedasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pasal 1 UU no 22 Tahun1946 menentukan dalam ayat (1) Bahwa “nikah
yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh
pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh mentri agama atau oleh pegawai yang
ditunjuk”. Ayat (2) “menentukan yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan
menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat
oleh menteri agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya”.[3]
RUU Perkawinan Tahun 1973 merumuskan sahnya perkawinan dalam pasal
2 ayat 1 sebagai berikut: “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan
pegawai pencatat perwakilan, dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan oleh
pegawai tersebut dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang ini dan
/atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan,
sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.”
C.
Makna UU Perkawinan dalam Permasalahan Nikah Sirri
Berkenaan dengan telah berlakunya UU pasal 2 ayat 2, maka hanya ada
satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh warga negara
Indonesia, tanpa memperhatikan golongan dan daerah. Walaupun demikian, dalam
pelaksanaannya memperlihatkan masarakat belum sepenuhnya terbebas dari pengaruh
kebiasaan yang telah berlangsung selama itu yaitu kebiasaan yang tidak tertulis
dala bentuk perundang-undangan Negara.
Rumusan UU perkawinan pasal 1 menunjukkan bahwa perkawinan
merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan
yang mengandung arti bahwa kedua orang yang berlainan jenis tersebut telah
terikat baik secara lahir maupun batin, sehingga mereka disebut sebagai suami
istri.
Undang-Undang perkawinan pasal 1 tersebut juga merumuskan bahwa
ikatan suami-istri berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan tersebut
menunjukkan bahwa perkawinan merupakan ikatan suci sesuai dengan agama atau
kepercayaan yang dianut oleh pasangan suami-istri, sehingga perkawinan juga
disebut sebagai lembaga yang sakral. Selain itu, pasal 1 juga menyebutkan bahwa
tujuan perkawinan sebagai suami-istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini
memberi pengertian bahwa perkawinan dilaksanakan untuk dapat rumah tangga yang
bahagia, rukun, aman dan harmonis serta
saling pengertian sampai waktu memisahkan mereka atau keduanya telah meninggal
dunia.[4]
Pada pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang perkawinan tersebut mengemukakan
bahwa suatu perkawinan dianggap sah jika telah memenuhi ketentuan menurut hukum
agama dan kepercayaan yang dianut suami maupun istri. Perkawinan perlu dicatat
oleh PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut
Ramulyo pencatatan setiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu
peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian yang
dinyatakan dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu, dengan
maksud untuk memperoleh kepastian hukum. Dengan demikian, perkawinan akan
dinyatakan sah secara hokum apabila telah dilakukan sesuai dengan hokum agama
dan Negara melalui pencatatan.[5]
Pencatatan
perkawinan bagi pasangan yang akan melangsungkan pernikahan harus melalui instansi.
Ada dua instansi yang menangani pencatatan perkawinan, yaitu KUA bagi yang
beragama Islam dan KCS bagi yang bukan beragama Islam.[6]
D.
Alternatif Kebijakan Pemerintah dalam Menjawab Permasalahan Nikah
Sirri
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakannya untuk mengetahui
ketentuan pelanggaran pelaksanaan akad nikah yang dilakukan orang Islam di
Indonesia ditentukan dalam pasal 3 ayat 1 No 22 Tahun 1946: “Barang siapa yang
melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tidak dibawah pengawasan pegawai
yang dimaksudkan dalam ayat 2 pasal 1 atau wakilnya dihukum denda
sebanyak-banyaknya Rp50,00 (Lima puluh Rupiah).
Berdasarkan pasal di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan
perkawinan memang harus dilakukan di hadapan pegawai pencatat penikahan. Barang
siapa (seorang laki-laki) yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan
tidak dibawah pengawasan pegawai, maka ia dikenakan hukuman denda paling banyak
Rp50,00 (Lima Puluh Rupiah). Dalam ketentuan tersebut jelas yang dikenakan
hukuman denda adalah suami.[7]
Berkaitan dengan sanksi, dalam peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975
sebagai pelaksanaan Undang –Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, memuat
sanksi bagi yang melanggar ketentuan pendaftaran atau pencatatan perkawinan
adalah sebagai berikut[8]:
1.
Barang
siapa yang melanggar ketentuan yang diatur mengenai pendaftaran atau pencatatan
dalam perkawinan, maka dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya
Rp7.500,00
2.
Pegawai
pencatat pernikahan yang melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah ini dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya
Rp7.500,00
Hukuman denda paling banyak Rp50,00 pada tahun 1964 dan Rp7.500,00
pada tahun 1974 dapat ditetapkan sebagai hukuman administrasi, sebagaimana
ditentukan dalam pasal 90 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan yang menentukan administrasi paling banyak Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah).
E.
Sebuah Harapan dalam Permasalahan Nikah Sirri
Majelis Ulama Indonesia diharapkankan dapat menyatakan bahwa nikah
sirri belum merupakan pernikahan yang sah karena belum dicatatkan ke KUA yaitu
catatan secara resmi berdasar peraturan Negara. Selain itu
organisasi-organisasi perempuan diharapkan dapat melakukan pendataan tentang perempuan
yang melakukan nikah sirri, dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana kerugian
akibat dari nikah sirri. Dengan demikian pemerintah dapat memperoleh data yang
dapat dijadikan dasar kebijakan terutama perlindungan terhadap perempuan,
misalnya melakukan nikah ulang di hadapan petugas tang berwenang dari KUA.
Selain itu dapat dilakukan advokasi kampanye “Anti Nikah Sirri”
yang ditujukan kepada semua pihak antara lain pihak dari kalangan atas maupun
kalangan bawah, dari yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan. Dengan
demikan, tujuan pengarusutamaan gender diharapkan dapat mempersempit, bahkan
menidakan pelaksanaan nikah sirri yang pada gilirannya akan mengakibatkan
kesenjangan gender, baik dalam keluarga maupun di dalam masyarakat.
Upaya lain dapat dilakukan dengan pelatihan kepekaan gender,
khususnya terhadap semua tokoh agama Islam terutama pada kyai atau modin,
karena mereka sangat berperan alam pelaksanaan nikah sirri. Saran ini dianggap
penting mengingat nikah sirri sudah tidak sesuai lagi bagi masyarakat Islam,
khusunya tentang keadilan laki-laki dan perempuan yang dinyatakan bahwa
diantara keduanya hanya dibedakan amal ibadahnya dan ketakwaannya kepada Allah
SWT. Selain itu, nikah sirri tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mengharuskan
umatnya tidak saja patuh terhadap Allah dan Rasul, tetapi juga harus patuh
kepada ulil amri yaitu pemerintah yang sah.
IV.
PENUTUP
Nikah sirri ditinjau maksud dan tujuannya suatu pernikahan
berdasarkan UU Perkawinan dan Peraturan dalam Islam, maka sebenarnya nikah
sirri tidak memenuhi maksud dan tujuan dari suatu pernikahan. Banyak
permasalahan yang timbul pada nikah sirri terutama bagi perempuan, karena tidak
memiliki kekuatan hukum untuk mendapatkan kekuatan hukum untuk mendapatkan
perlindungan apabila suami memperlakukannya sewenang-wenang.
DAFTAR PUSTAKA
Djubaidah, Neng,
Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, Jakarta: Sinar
Grafika, 2010
Ramulyo, Moh.
Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999
Setiawati, Effi,
Nikah Sirri Tersesat Di Jalan yang Benar?, Bandung: Eja Insani, 2005
Zuhdi, Masjfuk,
Nikah Sirri, Nikah Di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam
dan Hukum Positif dalam Mimbar Hukum, Jakarta: Al-Hikmah, 1996
[1]
Masjfuk Zuhdi, Nikah Sirri, Nikah Di Bawah Tangan, dan Status Anaknya
Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif dalam Mimbar Hukum, Jakarta:
Al-Hikmah, 1996, Hal 7-10
[2]
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, Jakarta:
Sinar Grafika, 2010, Hal. 347-348
[3]
Ibid, Hal. 210
[4]Effi
Setiawati, Nikah Sirri Tersesat Di Jalan yang Benar?, Bandung: Eja
Insani, 2005, Hal. 30-31
[5]
Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999,
Hal. 56
[6]
Op.Cit. Effi Setiawati, Hal. 32
[7]
Op.Cit. Neng Djubaidah, Hal. 211
[8]
Op.Cit. Effi Setiawati, Hal. 41-42
No comments:
Post a Comment