Tuesday, February 25, 2014

ANALISIS KEBIJAKAN NIKAH SIRRI




       I.            PENDAHULUAN
Perkawinan merupakan salah satu perilaku makhluk ciptaan Tuhan yang bertujuan untuk berkembang  biak dan meneruskan keturunan. Perkawinan tidak hanya terjadi pada manusia, namun jika terjadi pada hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pada manusia perkawinan merupakan salah satu budaya yang peraturannya mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan bermasyarakat.
Dalam pelaksanaannya, pengaturan pernikahan yang berlaku pada suatu masyarakat atau suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh agama dan adat istiadat setempat dimana masyarakat itu berada. Ada yang hanya menggunakan hokum agama, tetapi ada pula yang menggabungkan antara hokum agama dan adat istiadat masyarakat setempat.
Seperti yang terjadi didalam hokum perkawinan Indonesia, bukan saja dipengaruhi oleh adat-istiadat masyarakat setempat, tetapi juga oleh ajaran agama (Hindu, Budha, Islam, dan Kristen). Hal itu berakibat pada perbedaan tata cara perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku.Walaupun bangsa Indonesia kini telah memiliki hokum perkawinan nasional sebagai aturan pokok, kenyataanya dikalangan masyarakat Indonesia berlaku tata cara perkawinan yang berbeda-beda. Untuk itu, didalam makalah ini akan diuraikan beberapa konsep tentang perkawinan ditinjau dari berbagai perspektif.
    II.            PERMASALAHAN
a.       Apakah hakekat nikah sirri?
b.      Apa kebijakan tentang pernikahan yang pernah atau sedang diambil pemerintah?
c.       Seberapa bermakna hasil dari sebuah kebijakan tentang pernikahan untuk menyelesaikan permasalahan nikah sirri?
d.      Apakah aternatif kebijakan untuk menjawab permasalahan itu?
e.       Hasil apakah yang dapat diharapkan dari permasalahan nikah sirri?
 III.            PEMBAHASAN
A.    Hakekat Nikah Sirri
Pengertian nikah sirri
Sirri itu artinya rahasia, jadi nikah sirri adalah nikah yang dirahasiakan, dirahasiakan karena takut dan malu diketahui umum. Padahal nikah itu harus dimaklumatkan, diumumkan, diketahui oleh orang banyak supaya menghilangkan fitnah, menjaga nama baik dan kehormatan.
Macam-macam nikah sirri
Pertama, nikah yang dilakukan tanpa adanya wali. Pernikahan seperti ini jelas hanya bahwa pernikahan yang dilakukan tanpa wali adalah tidak sah. sebab wali merupakan rukun sahnya pernikahhan.
Kedua, adalah pernikahan yang dilakukan tanpa dicatatkan oleh petugas PPN yang ada dibawah wewenang KUA. Pernikahan seperti ini menurut agama hukumnya sah akan tetapi dari segi hukum formal atau undang-undang bahwa pernikahan tersebut tidak sah.
Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah satu bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’i (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia jadikan sebagai alat bukti dihadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, dan lain sebagainya.[1]
Nikah yang disembunyikan atau sirri juga bertentangan dengan hadits Nabi yang berbunyi:
وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ فَبَارَكَ اللهَ لَكَ أوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
Artinya: “adakanlah pesta perkawinan, sekalipun hanya dengan hidangan kambing.”
Perkawinan yang sah sesuai hukum islam yang disembunyikan dari khalayak ramai memang tidak layak untuk dilakukan. mengapa hal ini juga dapat terjadi?
Pertama, mungkin disebabkan oleh ketatnya syarat-syarat poligami yang harus dipenuhi oleh suami. Kedua, perkawinan sah yang disembunyikan dari khalayak ramai, mungkin dilakukan bukan dalam rangka poligami, tetapi dilakukan oleh orang-orang tertentu yang terkait dengan perjanjian tertentu dibidang pekerjaannya yang mengharuskan ia tidak melakukan atau menunda perkawinan dalam jangka waktu tertentu. Ketiga, perkawinan sah yang disembunyikan dari khalayak ramai mungkin dilakukan dalam rangka kawin gantung yang dikenal dalam masyarakat indonesia sejak dulu kala, meskipun saat ini sudah sangat jarang terdengar.[2] 
B.     Kebijakan Pemerintah dalam UU Perkawinan
Sebelum berlakunya UU nomor 1 tahun 1974, Indonesia menggunakan berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan daerah. Keragaman golongan dan daerah ini tercermin dalam UU Perkawinan oleh Negara pada pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perkawinan adalah jika yang telah dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Undang-undang perkawinan memberikan konsep tentang pengertian perkawinan yang diatur dalam pasal 1 yang berbunyi “Perkawinan adalah ikatan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Pasal 1 UU no 22 Tahun1946 menentukan dalam ayat (1) Bahwa “nikah yang dilakukan menurut agama Islam selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh mentri agama atau oleh pegawai yang ditunjuk”. Ayat (2) “menentukan yang berhak melakukan pengawasan atas nikah dan menerima pemberitahuan tentang talak dan rujuk, hanya pegawai yang diangkat oleh menteri agama atau oleh pegawai yang ditunjuk olehnya”.[3]
RUU Perkawinan Tahun 1973 merumuskan sahnya perkawinan dalam pasal 2 ayat 1 sebagai berikut: “ Perkawinan adalah sah apabila dilakukan di hadapan pegawai pencatat perwakilan, dicatatkan dalam daftar pencatatan perkawinan oleh pegawai tersebut dan dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang ini dan /atau ketentuan hukum perkawinan pihak-pihak yang melakukan perkawinan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.”
C.    Makna UU Perkawinan dalam Permasalahan Nikah Sirri
Berkenaan dengan telah berlakunya UU pasal 2 ayat 2, maka hanya ada satu peraturan perkawinan yang berlaku untuk seluruh warga negara Indonesia, tanpa memperhatikan golongan dan daerah. Walaupun demikian, dalam pelaksanaannya memperlihatkan masarakat belum sepenuhnya terbebas dari pengaruh kebiasaan yang telah berlangsung selama itu yaitu kebiasaan yang tidak tertulis dala bentuk perundang-undangan Negara.
Rumusan UU perkawinan pasal 1 menunjukkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mengandung arti bahwa kedua orang yang berlainan jenis tersebut telah terikat baik secara lahir maupun batin, sehingga mereka disebut sebagai suami istri.
Undang-Undang perkawinan pasal 1 tersebut juga merumuskan bahwa ikatan suami-istri berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Rumusan tersebut menunjukkan bahwa perkawinan merupakan ikatan suci sesuai dengan agama atau kepercayaan yang dianut oleh pasangan suami-istri, sehingga perkawinan juga disebut sebagai lembaga yang sakral. Selain itu, pasal 1 juga menyebutkan bahwa tujuan perkawinan sebagai suami-istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini memberi pengertian bahwa perkawinan dilaksanakan untuk dapat rumah tangga yang bahagia, rukun, aman dan harmonis  serta saling pengertian sampai waktu memisahkan mereka atau keduanya telah meninggal dunia.[4]
Pada pasal 2 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang perkawinan tersebut mengemukakan bahwa suatu perkawinan dianggap sah jika telah memenuhi ketentuan menurut hukum agama dan kepercayaan yang dianut suami maupun istri. Perkawinan perlu dicatat oleh PPN sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Ramulyo pencatatan setiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan suatu peristiwa hukum dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian yang dinyatakan dalam daftar pencatatan yang disediakan khusus untuk itu, dengan maksud untuk memperoleh kepastian hukum. Dengan demikian, perkawinan akan dinyatakan sah secara hokum apabila telah dilakukan sesuai dengan hokum agama dan Negara melalui pencatatan.[5]
Pencatatan perkawinan bagi pasangan yang akan melangsungkan pernikahan harus melalui instansi. Ada dua instansi yang menangani pencatatan perkawinan, yaitu KUA bagi yang beragama Islam dan KCS bagi yang bukan beragama Islam.[6]
D.    Alternatif Kebijakan Pemerintah dalam Menjawab Permasalahan Nikah Sirri
Pemerintah telah mengeluarkan kebijakannya untuk mengetahui ketentuan pelanggaran pelaksanaan akad nikah yang dilakukan orang Islam di Indonesia ditentukan dalam pasal 3 ayat 1 No 22 Tahun 1946: “Barang siapa yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tidak dibawah pengawasan pegawai yang dimaksudkan dalam ayat 2 pasal 1 atau wakilnya dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp50,00 (Lima puluh Rupiah).
Berdasarkan pasal di atas dapat diketahui bahwa pelaksanaan perkawinan memang harus dilakukan di hadapan pegawai pencatat penikahan. Barang siapa (seorang laki-laki) yang melakukan akad nikah dengan seorang perempuan tidak dibawah pengawasan pegawai, maka ia dikenakan hukuman denda paling banyak Rp50,00 (Lima Puluh Rupiah). Dalam ketentuan tersebut jelas yang dikenakan hukuman denda adalah suami.[7]
Berkaitan dengan sanksi, dalam peraturan pemerintah No 9 Tahun 1975 sebagai pelaksanaan Undang –Undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, memuat sanksi bagi yang melanggar ketentuan pendaftaran atau pencatatan perkawinan adalah sebagai berikut[8]:
1.      Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur mengenai pendaftaran atau pencatatan dalam perkawinan, maka dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp7.500,00
2.      Pegawai pencatat pernikahan yang melanggar ketentuan Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp7.500,00
Hukuman denda paling banyak Rp50,00 pada tahun 1964 dan Rp7.500,00 pada tahun 1974 dapat ditetapkan sebagai hukuman administrasi, sebagaimana ditentukan dalam pasal 90 UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang administrasi kependudukan yang menentukan administrasi paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
E.     Sebuah Harapan dalam Permasalahan Nikah Sirri
Majelis Ulama Indonesia diharapkankan dapat menyatakan bahwa nikah sirri belum merupakan pernikahan yang sah karena belum dicatatkan ke KUA yaitu catatan secara resmi berdasar peraturan Negara. Selain itu organisasi-organisasi perempuan diharapkan dapat melakukan pendataan tentang perempuan yang melakukan nikah sirri, dengan tujuan untuk mengetahui sejauh mana kerugian akibat dari nikah sirri. Dengan demikian pemerintah dapat memperoleh data yang dapat dijadikan dasar kebijakan terutama perlindungan terhadap perempuan, misalnya melakukan nikah ulang di hadapan petugas tang berwenang dari KUA.
Selain itu dapat dilakukan advokasi kampanye “Anti Nikah Sirri” yang ditujukan kepada semua pihak antara lain pihak dari kalangan atas maupun kalangan bawah, dari yang berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan. Dengan demikan, tujuan pengarusutamaan gender diharapkan dapat mempersempit, bahkan menidakan pelaksanaan nikah sirri yang pada gilirannya akan mengakibatkan kesenjangan gender, baik dalam keluarga maupun di dalam masyarakat.
Upaya lain dapat dilakukan dengan pelatihan kepekaan gender, khususnya terhadap semua tokoh agama Islam terutama pada kyai atau modin, karena mereka sangat berperan alam pelaksanaan nikah sirri. Saran ini dianggap penting mengingat nikah sirri sudah tidak sesuai lagi bagi masyarakat Islam, khusunya tentang keadilan laki-laki dan perempuan yang dinyatakan bahwa diantara keduanya hanya dibedakan amal ibadahnya dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Selain itu, nikah sirri tidak sesuai dengan ajaran Islam yang mengharuskan umatnya tidak saja patuh terhadap Allah dan Rasul, tetapi juga harus patuh kepada ulil amri yaitu pemerintah yang sah.

 IV.            PENUTUP
Nikah sirri ditinjau maksud dan tujuannya suatu pernikahan berdasarkan UU Perkawinan dan Peraturan dalam Islam, maka sebenarnya nikah sirri tidak memenuhi maksud dan tujuan dari suatu pernikahan. Banyak permasalahan yang timbul pada nikah sirri terutama bagi perempuan, karena tidak memiliki kekuatan hukum untuk mendapatkan kekuatan hukum untuk mendapatkan perlindungan apabila suami memperlakukannya sewenang-wenang.

DAFTAR PUSTAKA
Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, Jakarta: Sinar Grafika, 2010
Ramulyo, Moh. Idris, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999
Setiawati, Effi, Nikah Sirri Tersesat Di Jalan yang Benar?, Bandung: Eja Insani, 2005
Zuhdi, Masjfuk, Nikah Sirri, Nikah Di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif dalam Mimbar Hukum, Jakarta: Al-Hikmah, 1996



[1] Masjfuk Zuhdi, Nikah Sirri, Nikah Di Bawah Tangan, dan Status Anaknya Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif dalam Mimbar Hukum, Jakarta: Al-Hikmah, 1996, Hal 7-10
[2] Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicatat, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Hal. 347-348
[3] Ibid, Hal. 210
[4]Effi Setiawati, Nikah Sirri Tersesat Di Jalan yang Benar?, Bandung: Eja Insani, 2005, Hal. 30-31
[5] Moh. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, Hal. 56
[6] Op.Cit. Effi Setiawati, Hal. 32
[7] Op.Cit. Neng Djubaidah, Hal. 211
[8] Op.Cit. Effi Setiawati, Hal. 41-42

No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...