Tuesday, February 25, 2014

NIKAH MUT'AH



NIKAH MUT'AH        
I.            Pendahuluan
Pernikahan dalam pandangan Islam adalah sesuatu yang luhur dan sakral, bermakna ibadah kepada Allah, mengikuti Sunnah Rasulullah dan dilaksanakan atas dasar keikhlasan, tanggungjawab, dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum yang harus diindahkan. Dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Bab I pasal 1, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan tujuan pernikahan adalah sebagaimana difirmankan Allah s.w.t. dalam surat Ar-Rum ayat 21 “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang (mawaddah warahmah). Sesungguhnya pada yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang berfikir”. Mawaddah warahmah adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, ketika manusia melakukan pernikahan. Hal yang demikian tidak disebutkan Allah s.w.t. ketika binatang ternak berpasangan untuk berkembangbiak. Karena tugas selanjutnya bagi manusia dalam lembaga pernikahan adalah untuk membangun peradaban dan menjadi khalifah di dunia.
    II.            Permasalahan
1.      Pengertian Mut’ah
2.      Hakikat Nikah Mut’ah
3.      Ayat – Ayat Al-Qur’an Tentang Nikah Mut’ah
4.      Anggapan Bahwa Ayat Nikah Mut’ah Sudah Dihapus
5.      Hukum Nikah Mut’ah
 III.            Pembahasan
1.      Pengertian Mut’ah
Mut’ah berasal dari kata tamattu’ yang berarti bersenang-senang atau menikmati. Adapun secara istilah mut’ah berarti seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan memberikan sejumlah harta tertentu dalam waktu tertentu, pernikahan ini akan berakhir sesuai dengan batas waktu yang telah di tentukan tanpa talak serta tanpa kewajiban memberi nafkah atau tempat tinggal dan tanpa adanya saling mewariri antara keduanya meninggal sebelum berakhirnya masa nikah mut’ah itu.[1]
Pengertian Mut’ah dalam Surah Al-Azhab ayat 49
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
Mut’ah disini berarti suatu pemberian dari suami kepada istrinya sewaktu ia menceraikannya. Pemberian ini diwajibkan atas laki-laki apabila perceraian itu karena kehendak suami. Tetapi bila perceraian itu kehendak istri, maka pemberian itu tidak wajib.[2]
Selanjutnya, sesugguhnya nikah mut’ah adalah termasuk masalah khilafiyah (yang diperselisihkan antara kaum muslimin dan golongan Syi’ah. Sebenarnya telah dipastikan adanya hadits shahih yang diterima Rasulullah saw tentang diharamkannya nikah mut’ah itu hingga hari kiamat.[3]
2.      Hakikat Nikah Mut’ah        
Syarat sah dalam nikah mut’ah ini harus dipeuhi semua., diantaranya: baligh, berakal, dan tidak ada suatu halangan syar’i untuk berlangsungnya pernikahan tersebut, seperti adanya nasab, saudara sepupu, masih menjadi istri orang lain atau menjadi saudara perempuan istrinya (ipar) sebagaimana yang telah disebut dalam kitab-kiab fiqih.
Pelaksanaan nikah mut’ah pun berbeda dengan pernikahan biasa. Demikian juga perceraian setelah pernikahan tersebut berakhir. Wanita tidak mempunyai hak apa-apa seperti nafkah, warisan dan soal nasab.[4] Adapun bentuk lafal di saat mengucapkan akad perkawinan ialah pihak perempuan mengucapkan kepada seorang laki laki dengan menggunakan salah satu lafal-lafal berikut: zawwajtuka, ankahtuka atau matta’tuka nafsi bimahri (dengan mahar) ..... limuddati (untuk jangka waktu) ... Mahar dan jangka waktu itu ditentukan menurut kesepakatan bersama misalnya satu bulan atau satu tahun. Kemudian pihak lelaki mengucapkan dengan spontan: “qobiltu” (aku setuju).
Dengan semua lafal tadi terjadilah tali perkawinan sampai batas waktu yang mereka tentukan bersama. Setelah habisnya waktu yang disepakati, wanita tersebut bila hendak menikah dengan lelaki lain harus melakukan iddah selama dua bulan. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan satu bulan jika masa haidnya normal dan empat puluh lima hari kalau dia sudah dewasa tetapi tidak pernah mengalami haid. Sedangkan iddah wanita yang hamil atau ditinggal mati suaminya adalah seperti dalam iddah nikah permanen (da’im).[5]
Kemudian anak yang dilahirkan dari nikah mut’ah diikutkan ayahnya dan ia dapat mewarisi harta ayahnya sebagaimana lazimnya nikah da’im. Begitupula saudara ayahnya atau saudara ibunya, secara syariat mereka adalah paman dan bibinya. Kemudian anak-anak yang didapatkan oleh ibu atau ayah lain, mereka adalah saudara-saudaranya, dan seluruh wanita yang pernah dikawini ayahnya adalah ibunya, begitupula sebaliknya.
3.      Ayat Al-Qur’an Tentang Nikah Mut’ah
Cukup disebutkan disini suatu ayat yang menunjukkan adanya perkawinan mut’ah dalam al-qur’an, yaitu firman-Nya yang berbunyi:
... فَماَاسْتَمَعْتُمْ بِهِ ، مِنْهُنَّ فَئَاتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ ...
“... maka istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna),,,” (Q.S. An -Nisa’ Ayat 24)
Al-Qurthubi, Al-Syaukani dan orang yang sependapat dengannya mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkan ayat tersebut dengan nikah mut’ah yang sudah ditetapkan sejauh permulaan Islam. Imran Ibn Hussain  berkata: “ayat tersebut diturunkan untuk menetapkan perkawinan mut’ah dan tidak dinasakh”. Abdur Razaq dlam bukunya Al-Mukatabat berkata bahwa Atha’ berkata: “yang terdapat dalam surah An-Nisa’ yang menjelaskan tentang adanya batas waktu dalam perkawinan adalah nikah mut’ah”.[6]
4.      Anggapan Bahwa Ayat Nikah Mut’ah Sudah Dihapus
Ada sebuah kelompok bahwa ayat yang menerangkan tentang perkawinan mut’ah sudah dihapus. Yang menjadi penesakhnya adalah ayat yang menerangkan tentang penjagaan farji, yaitu surah Al-Ma’arij ayat 29-30 :
Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki,[7] maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Sebenarnya tujuan mereka menggunakan dalil itu adalah mewujudkan keinginan mereka untuk mengatakan bahwa orang-orang syi’ah salah jika menyamakan nikah mut’ah dengan perbudakan, karena adanya batas waktu dalam nikah mut’ah. Kemudian tidak benar juga kalau syi’ah menyamakan dengan pernikahan karena tidak adanya perlakuan bagi istri, seperti adanya lafal talak, saling mewarisi, memberi nafkah dan tidak disyaratkan adil dalam membagi waktu. Karena tidak ada syarat-syarat pernikahan tersebut, maka tidak pantaslah wanita yang dikawin secara mut’ah disebut sebagai istri dan tidak pantas juga disebut sebagai hamba sahaya, sebab perbudakan adalah istri yang dianggap sah oleh syariat.[8]
5.      Hukum Nikah Mut’ah
Pada awal perjalanan Islam, nikah mut’ah memang dihalalkan, sebagaimana yang tercantum dalam banyak hadits diantaranya:
Hadits Abdullah bin Mas’ud: “berkata: Kami berperang bersama Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedangkan kami tidak membawa istri istri kami, maka kami berkata bolehkan kami berkebiri? Namun Rasululloh melarangnya tapi kemudian beliau memberikan kami keringanan untuk menikahi wanita dengan mahar pakaian sampai batas waktu tertentu”. (HR. Bukhari, Muslim).
Hadits Jabir bin Salamah: “Dari Jabir bin Abdillah dan Salamah bin ‘Akwa berkata: Pernah kami dalam sebuah peperangan, lalu datang kepada kami Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan berkata: Telah diizinkan bagi kalian nikah mut’ah maka sekarang mut’ahlah”. (HR. Bukhari).
Namun hukum ini telah dimansukh dengan larangan Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk menikah mut’ah sebagaimana beberapa hadits diatas. Akan tetapi para ulama berselisih pendapat kapan diharamkannya niakh mut’ah tersebut dengan perselisihan yang tajam, namun yang lebih rajih-Wallahu a’lam- bahwa nikah mut’ah diharamkan pada saat fathu makkah tahun 8 Hijriyah. Ini adalah tahqiq Imam Ibnul Qoyyim dalam zadul Ma’ad, Al-Hafidl Ibnu Hajar dalam fathul bari.
Telah datang dalil yang amat jelas tentang haramnya nikah mut’ah, diantaranya:
Hadits Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu: “Dari Ali bin abi Thalib berkata: Sesungguhnya Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging himar jinak pada perang khaibar” (HR. Bukhari, Muslim).
Hadits Sabrah bin Ma’bad Al-Juhani Radiyallahu ‘anhu: “berkata:Rasululloh Shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah mut’ah pada waktu fathu makkah saat kami masuk Makkah kemudian beliau melarang kami sebelum kami keluar dari makkah. Dan dalam riwayat lain: Rasululloh bersabda: Wahai sekalian manusia, sesunggunya dahulu saya telah mengizinkan kalian nikah mut’ah dengan wanita. Sekarang Alloh telah mengharamkannya sampai hari kiamat, maka barangsiapa yang memiliki istri dari mut’ah maka hendaklah diceraikan” (HR. Muslim, Ahmad). Hadits Salamah bin Akhwa Radiyallahu ‘anhu: “berkata: Rasululloh Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberikan keringanan keringanan untuk mut’ah selama tiga hari pada perang authos kemudian melarangnya” (HR. Muslim).[9]
Majelis Ulama Indonesia dalam fatwanya tanggal 25 Oktober 1997 menetapkan bahwa Nikah Mut’ah hukumnya HARAM, dan pelaku nikah mut’ah dihadapkan ke pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku. Dasar pertimbangannnya adalah pertama bahwa nikah mut’ah mulai banyak dilakukan terutama dilakukan oleh kalangan pemuda dan mahasiswa. Kedua, praktek nikah mut’ah telah menimbulkan keprihatinan, kekhawatiran dan keresahan bagi para orang tua, ulama, pendidik, tokoh masyarakat dan ummat Islam, serta dipandang sebagai alat propaganda paham Syi’ah di Indonesia. Ketiga, bahwa mayoritas ummat Islam Indonesia adalah penganut paham Sunni yang tidak mengakui dan menolak paham Syi’ah. Semua madzhab, baik madzhab Hanafi, madzhab Maliki, Madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali juga mengharamkan nikah mut’ah, karena memang telah dilarang Allah dan Rasul-Nya, dan hadits-hadits yang mengharamkan nikah mut’ah dianggap telah mencapai peringkat mutawatir.[10]
 IV.            Kesimpulan
Hikmah dilarangnya nikah mut’ah, khususnya di kalangan kaum Sunni adalah untuk menjaga martabat wanita itu sendiri. Dengan melihat syarat dan rukun nikah mut’ah yang sangat ‘sederhana’, maka wanita tak ubahnya bagai barang mainan, yang pada akhirnya dapat menjerumuskan seorang wanita dalam lembah pelacuran terselubung. Karena wanita yang dinikahi dengan menggunakan cara nikah mut’ah pada hakikatnya hanya untuk pemuas nafsu belaka (bersenang-senang dalam waktu sesaat)
    V.            Penutup
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya.
Dan akhirnya pemakalah mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan, baik dalam sistematika penulisan, isi dalam pembahasan maupun dalam hal penyampaian materi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemkalah sendiri khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya dalam kehidupan ini. Amin.




Daftar Pustaka
·         Al Asqolani, Ibnu Hajar, FATHUL BARI JUZ IX, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002
·         Al-Amili, Ja’far Murtadha, NIKAH MUT’AH DALAM ISLAM, Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1992
·         Ditulis oleh Chamzawi/Tanggal Publikasi : 19/04/2004/Artikel ini telah dimuat dalam Majalah AMANAH No. 49 Th. XVII April 2004 / Shafar 1425 H
·         Faridl, Miftah, 150 MASALAH NIKAH DAN KELUARGA, Jakarta: Gema Insani, 1999
·         Malullah, Muhammad, MENYINGKAP KEBOBROKAN NIKAH MUT’AH, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997
·        Rasyid, Sulaiman, FIQH ISLAM, Bandar Lampung : PT. Sinar Baru Algensindo, 1986






[1] Ibnu Hajar Al Asqolani, FATHUL BARI JUZ IX, Jakarta : Pustaka Azzam, 2002, H. 167
                [2] Sulaiman Rasyid, FIQH ISLAM, Bandar Lampung : PT. Sinar Baru Algensindo, 1986, H. 397
[3] Muhammad Malullah, MENYINGKAP KEBOBROKAN NIKAH MUT’AH, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997, H.8
[4] Miftah Faridl, 150 MASALAH NIKAH DAN KELUARGA, Jakarta: Gema Insani, 1999, H. 47
[5] Ja’far Murtadha Al-Amili, NIKAH MUT’AH DALAM ISLAM, Jakarta: Yayasan As-Sajjad, 1992, H. 18
[6] Ibid, h. 21
[7] Maksudnya: budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. Dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum Muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan ini bukanlah suatu yang diwajibkan
[8] Ibid, h. 23
[9] Ditulis oleh Chamzawi/Tanggal Publikasi : 19/04/2004/Artikel ini telah dimuat dalam Majalah AMANAH No. 49 Th. XVII April 2004 / Shafar 1425 H

No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...