I.
PENDAHULUAN
Usaha untuk menyebarluaskan Islam di tengah-tengah kehidupan umat
manusia adalah usaha dakwah, yang dalam keadaan bagaimanapun dan dimanapun
harus dilaksanakan oleh umat islam. Penyelenggaraan usaha dakwah islam pada
masa depan akan semakin bertambah berat. Hal ini disebabkan karena
masalah-masalah yang dihadapi oleh dakwah semakin berkembang.
Penyelenggaraan dakwah akan dapat berjalan secara efektif dan efesien, apabila : terlebih dulu dapat mengidentifikasikan dan diantisipasikan masalah-masalah yang akan dihadapi. Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, kemudian menyusun rencana yang tepat, mengatur dan mengorganisir para pelaksana dakwah dalam kesatuan- kesatuan tertentu, selanjutnya mengerahkan dan menggerakkannya pada tujuan yang dikehendaki, begitu pula kemampuan untuk mengawasi.
Penyelenggaraan dakwah akan dapat berjalan secara efektif dan efesien, apabila : terlebih dulu dapat mengidentifikasikan dan diantisipasikan masalah-masalah yang akan dihadapi. Kemampuan untuk mengidentifikasi masalah, kemudian menyusun rencana yang tepat, mengatur dan mengorganisir para pelaksana dakwah dalam kesatuan- kesatuan tertentu, selanjutnya mengerahkan dan menggerakkannya pada tujuan yang dikehendaki, begitu pula kemampuan untuk mengawasi.
II.
PERMASALAHAN
a.
Apa
pengertian pengorganisasian dakwah?
b.
Seberapa pentingnya
pengorganisasian bagi proses dakwah?
c.
Bagaimana
langkah-langkah pengorganisasian dakwah?
d.
Apa saja organisasi
dakwah islam di Indonesia?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pengorganisasian Dakwah
Organisasi berasal dari
kata “organisme”, yang artinya bagian-bagian yang terpadu dimana hubungan satu
sama lain diatur oleh hubungan terhadap keseluruhannya. Oleh karena itu dalam
organisasi paling sedikit terdiri atas dua orang yang keduanya saling
bekerjasama satu sama lain demi tercapainya suatu tujuan tertentu. Kerjasama
tersebut terbentuk karena didorong oleh kehendak atau motif untuk pencapaian
tujuan yang telah disepakati.
Organisasi adalah wadah
kegiatan pelaksanaan manajemen dan juga sekaligus merupakan kerangka struktur
yang tersusun sebagai unit-unit yang mempunyai tugas dan fungsi yang saling
berhubungan satu sama lain dan relative bersifat permanen.
Dakwah secara
etimologis adalah bentuk mashdar yaitu kata kerja da’a- yyad’u- da’watan yang
berartii memanggil, mengundang, mengajak, menyeru dan mendorong.
Secara terminologis
berarti mengajak dan menyeru umat manusia baik perorangan maupun kelompok
kepada agama islam, pedoman hidup yang di ridlai oleh Allah dalam bentuk amar
ma’ruf nahi munkar dan amal shaleh dengan cara lisan maupun perbuatan untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat nanti.[1]
Pengorganisasian adalah
seluruh proses pengelompokkan orang-orang, alat-alat, tugas-tugas, tanggung
jawab, dan wewenang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu organisasi yang
dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka mencapai suatu tujuan yang
telah ditentukan.
Sementara itu, Rosyad
Saleh mengemukakan bahwa rumusan pengorganisasian dakwah itu adalah “rangkaian
aktivita menyusun suatu kerangka yang menjadi wadah bagi setiap kegiatan usaha
dakwah dengan jalan membagi dan mengelompokkan pekerjaan yang harus
dilaksanakan serta menetapkan dan menyusun jalinan hubungan kerja diantara
satuan-satuan organisasi atau petugasnya.[2]
B. Kepentingan Pengorganisasian Bagi Proses Dakwah
Dengan demikian,
pengorganisasian memiliki arti penting bagi proses dakwah, sebab dengan
dibagi-baginya kegiatan dalam tugas-tugas yang lebih rinci kepada
pelaksana-pelaksana yang telah diseleksi akan terhindar dari adanya penumpukan
tugas berada pada satu atau dua orang saja. Jadi, pengorganisasian mengandung
unsur koordinasi untuk menemukan kepastian dari berbagai perbedaan-perbedaan
berbagai unsur demi terciptanya harmonisasi dalam tugas dakwah.
Pengorganisasian sangat
erat hubungannya dengan pengaturan struktur melalui penentuan kegiatan untuk
mencpai tujuan, walaupun struktur itu bukan merupakan tujuan. Oleh karena itu,
organizing dakwah sudah barang tentu disesuaikan dengan bidang garapan dakwah
serta lokasi pewilayahan.
Apabila pengorganisasian
sebagaimana disebutkan di atas, merupakan wadah dan kerangka struktur yang
relatif tetap, maka sisi lain dari pengorganisasian juga memperhatikan hubungan
berlakunya tata kerja menurut struktur sehingga masing-masing pelaku mempunyai
hubungan formal , baik sebagai atasan, bawahan, atau sesama sejawat dengan
kewajiban dan tanggung jawab yang telah ditetapkan. Hubungan timbal balik
antara orang-orang dalam organisasi itu merupakan proses dinamis dalam kegiatan
organisasi untuk mencapai tujuan.
Dalam kaitannya dengan
hal yang dikemukakan di atas, Zaini Muchtaram mengatakan bahwa :
Kualitas hubungan
antara para pelaku organisasi, lebih-lebih organisasi dakwah, tidak selamanya
bersifat formal tetapi juga informal, dalam bentuk perilaku pribadi yang
bersifat emosional dan kadang-kadang juga irrasional. Oleh karena itu menjadi
suatu seni bagi pimpinan organisasi untuk mengatur keseimbangan antara hubungan
formal dengan informal di anatara para pelaku organisasi demi keberhasilan yang
ingin dicapai.[3]
Dengan demikian Pada
pengorganisasian itu memiliki arti penting bagi proses dakwah dan dengan
pengorganisasian rencana dakwah akan lebih mudah aplikasinya.
C. Langkah-Langkah Pengorganisasian Dakwah
Menurut Rosyad Shaleh,
langkah-langkah pengorganisasian dakwah diantaranya adalah sebagai berikut:
a) Membagi-bagi dan menggolong-golongkan tindakan-tindakan dakwah dalam
kesatuan-kesatuan tertentu.
b) Menentukan dan merumuskantugas dari masing-masing kesatuan, serta
menempatkan pelaksana atau da’i untuk melakukan tugas tersebut.
c) Memberikan wewenang kepada masing-masing pelaksana
d) Menetapkan jalinan hubungan[4]
Adapun Langkah-langkah
pengorganisasian dakwah yang lain diantaranya:
a) Penentuan Spesialisasi Kerja
Spesialisasi kerja
diartikan sebagai tingkat kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan yang
ditekuninya,dan tugas-tugas organisasi dibagi menjadi pekerjaaan-pekerjaan
terpisah “pembagian kerja”.
b) Mendepertementalisasi dakwah
Setelah unit kerja
dibagi-bagi melalui spelisasi kerja maka selanjutnya diperlukan pengelompokkan
pekerjaan –pekerjaan yang diklasifikasikan melalui spesialiasi kerja, sehingga
tugas yang sama atau mirip dapat dikelompokkan secara sama-sama, sehingga dapat
di koordinasikan.
c) Menentukan rantai komando
Rantai komando adalah
sebuah garis wewenang yang tidak terputus membentang dari tingkat atas
organisasi terus sampai tingkat paling bawah dan menjelaskan hasil kerja dakwah
ke depertemen masing-masing.rantai ini memberikan sebuah kemudahan bagi para
da’I untuk menentukan siapa siapa yang harus dituju jika mereka menemui
permasalahan dan juga kepada siapa mereka bertanggung jawab.
d) Rentang kendali
Rentang kendali
merupakan konsep yang merujuk pada jumlah bawahan yang dapat disurvei oleh
seorang manajer secara efisien dan efektif.
e) Sentralisasi dan desentralisasi
Sentralisasi diartikan
sebagai kadar sampai dimana pengambilan keputusan terkonsentrasi pada tingkat
atas organisasi.Konsep ini hanya mencakup pada wewenang formal, yaitu hak-hak
yang inhern dalam posisi seseorang. Sementara desentralisasi adalah pengalihan
wewenang untuk membuat keputusan ke tungkat yang lebih rendah dalam suatu
organisasi.
f) Menformalisasi dakwah
Formalisasi dakwah
adalah sejauh mana pekerjaan atau tugas-tugas dakwah dalam sebuah organisasi
dakwah dibakukan dan sejauh man tingkah laku, skill, dan keterampilan para da’I
dibimbing dan diarahkan secara prosedural oleh peraturan.
g) Penentuan Strategi dan struktur dakwah
Struktur organisasi
dakwah adalah sarana untuk menolong para manajer dalam mencapai sasaran, karena
sasaran dakwah itu dirumuskan dari strategi organisasi.tegasnya,struktur
organisasi dakwah harus mengikuti strategi strategi dakwah
h) Penyelenggaraan dan desain organisasi dakwah
Para da’I baik dalam
satu tim atau perorangan membutuhkan informasi untuk mengambil keputusan dan
menentukan strategis dakwah. ”penggunaan teknologi informasi sangat
mempengaruhi cara anggota organisasi dakwah dalam berkomunikasi, menyampaikan
informasi, dan dalam melaksanakan aktivitas mereka.[5]
D. Organisasi Dakwah Islam Indonesia
Di Indonesia,
organisasi keagamaan yang bergerak di bidang dakwah cukup banyak. Dalam hal
ini, lembaga atau institusi keagamaan cukup punya andil yang besar bagi
pengembangan dakwah Islam di Indonesia.
1. Muhammadiyah
Organisasi Muhammadiyah
didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).
Persyarikatan
Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk memurnikan
ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada
awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu
peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah
lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya
berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan
Madrasah Mu'allimin _khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan
kecamatan Wirobrajan dan Mu'allimaat Muhammadiyah_khusus Perempuan, di
Suronatan Yogyakarta).
Pada masa kepemimpinan
Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di
karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan,
daerah Pekalongan sekarang. Selain Yogya,
cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada tahun 1922. Pada
tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah ke Sumatera
Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah
menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian
Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938,
Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia.
2.
Nahdlatul Ulama
Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam),
disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar nomer 1 di Indonesia.
Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Berangkan
komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah
itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih
sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi
dengan berbagai kyai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi
ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais
Akbar.
Untuk
menegaskan prisip dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab
Qanun Asasi (prinsip
dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah
NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir
dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
3. Al Jam’iyatul Washliyah
Al Jam’iyatul Washliyah
merupakan organisasi Islam yang lahir pada 30 November 1930 dan bertepatan 9
Rajab 1349 H di kota Medan, Sumatera Utara. Al Jam’iyatul Washliyah yang lebih
dikenal dengan sebutan Al Washliyah lahir ketika bangsa Indonesia masih dalam
penjajahan Hindia Belanda (Nederlandsh Indie). Sehingga para pendiri Al
Washliyah ketika itu turut pula berperang melawan penjajah Belanda. Tidak
sedikit para tokoh Al Washliyah yang ditangkap Belanda dan dijebloskan ke
penjara. Para ulama’ yang ikut mendirikan Al Jam’iyatul Washliyah antara lain:
Ismail Banda, Abdurrahman Syihab, M. Arsyad Thohir Lubis, Adnan Nur, H.
Syamsudin, H. Yusuf Ahmad Lubis, H. A. Malik, dan Aziz Efendi.
4. Persatuan Ummat Islam (PUI)
Persatuan
Ummat Islam (PUI) adalah organisasi massa Islam di Indonesia yang lahir pada 5 April 1952 di Bogor. Ia lahir
dalam kondisi di mana kebanyakan organisasi di Indonesia kala itu cenderung
terpecah belah. PUI lahir sebagai hasil fusi dua organisasi besar kala itu.
Yaitu Perikatan Ummat Islam (PUI) pimpinan KH
Abdul Halim, yang berpusat
di Majalengka, dengan
Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) pimpinan KH
Ahmad Sanusi, yang berpusat
di Sukabumi. Ormas hasil
fusi ini kemudian melakukan kegiatannya di sejumlah bidang, yaitu pendidikan,
sosial, kesehatan masyarakat, ekonomi dan dakwah. Bahkan ormas ini sekarang
telah merintis kegiatan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Sekarang diketuai oleh Ustadz Ahmad Heryawan, Lc.
5. Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
Persatuan Tarbiyah
Islamiyah (Perti) adalah nama sebuah organisasi massa Islam nasional yang
berbasis di Sumatera Barat. Organisasi ini berakar dari para ulama Ahlussunnah wal jamaah di Sumatera Barat. Organisasi ini didirikan pada 20 Mei 1930 di Sumatera Barat. Kemudian
organisasi ini meluas ke daerah-daerah lain di Sumatera, dan juga mencapai Kalimantan dan Sulawesi.
Perti ikut berjuang di
kancah politik dengan bergabung ke dalam GAPI dalam aksi Indonesia Berparlemen, serta turut memberikan konsepsi
kenegaraan kepada Komisi Visman.
Setelah kemerdekaan
Perti menjadi partai politik. Dalam Pemilihan Umum 1955 Perti mendapatkan empat kursi DPR-RI dan tujuh kursi Konstituante. Setelah Konstituante
dan DPR hasil Pemilu dibubarkan oleh Presiden Soekarno, Perti mendapatkan dua kursi di DPR-GR. Pada masa Orde Baru Perti bergabung dengan
Partai Persatuan Pembangunan.
6. Persatuan Islam (Persis)
Persatuan Islam
(disingkat Persis) adalah sebuah organisasi Islam di Indonesia. Persis didirikan pada
12 September 1923 di Bandung oleh sekelompok Islam yang berminat dalam pendidikan dan aktivitas
keagamaan yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus.
Persis didirikan dengan
tujuan untuk memberikan pemahaman Islam yang sesuai dengan aslinya yang dibawa
oleh Rasulullah Saw dan memberikan pandangan berbeda dari pemahaman Islam
tradisional yang dianggap sudah tidak orisinil karena bercampur dengan budaya lokal,
sikap taklid buta, sikap tidak kritis, dan tidak mau menggali Islam lebih dalam
dengan membuka Kitab-kitab Hadits yang shahih. Oleh karena itu, lewat para
ulamanya seperti Ahmad Hassan yang juga dikenal dengan Hassan Bandung atau Hassan Bangil, Persis
mengenalkan Islam yang hanya bersumber dari Al-Quran dan Hadits (sabda Nabi).
7. MUI (Majelis Ulama
Indonesia)
MUI atau Majelis Ulama
Indonesia adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu'ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing,
membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama
Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
MUI berdiri sebagai
hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang
datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam
orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang
ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara,
Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari
musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah
tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang
dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh
peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
8.
Mathlaúl Anwar (MA)
Mathlaúl
Anwar (MA) didirikan tanggal 9 Juli 1916 di Menes, Banten (waktu itu masih Jawa Barat). Didirikan
oleh para ulama diantaranya KH. Mas Abdurrahman, KH Moh. Yasin, dll. Saat ini
MA telah berkembang ke seluruh Indonesia dengan ribuan lembaga pendidikan yang
dikelolanya, termasuk Universitas MA (UNMA) di Pandeglang Banten.
Dalam
proses pendiriannya, Jami’atul khair mengalami banyak hambatan . berulangkali
permohonan izin pengesahan diajukan kepada Gubernur Jendral W.Rooseboom, namun
selalu ditolak. Penyebabnya tidak jelas pada tahun 1903 misalnya,permohonan
izin diajukan, namun ditolak. Kemudian untuk meyakinkan pemerintah colonial
Belanda, surat permohonan dikirim berulang kali dengan mencantumkan nama
pemohonan yang berbeda, yaitu Said bin Ahmad Basandid dan Muhammad bin
Abdurrahman Al-Masyhur.
Setelah
lama menunggu, akhirnya izin pendirian Jami’atul khair dikeluarkan pada tanggal
17 Juni 1905, setelah permohonan disetujui oleh Gubernur Jendral J.V.Van
Heutsz. Izin pendirian Jami’atul khair keluar disertai catatan dari pemerintah,
bahwa Jami’atul khair tidak boleh mendirikan cabang diluar Jakarta.
9. ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia)
ICMI dibentuk pada
tanggal 7 Desember 1990 di sebuah pertemuan kaum cendekiawan muslim di Kota Malang tanggal 6-8 Desember 1990. Di pertemuan itu juga dipilih Baharuddin
Jusuf Habibie sebagai ketua ICMI
yang pertama.
Kelahiran ICMI berawal
dari diskusi kecil di bulan Februari 1990 di masjid kampus Universitas
Brawijaya (Unibraw) Malang. Sekelompok mahasiswa merasa prihatin dengan kondisi
umat Islam, terutama karena berserakannya keadaan cendekiawan muslim,
sehingga menimbulkan polarisasi kepemimpinan di kalangan umat Islam.
Masing-masing kelompok sibuk dengan kelompoknya sendiri, serta berjuang secara
parsial sesuai dengan aliran dan profesi masing-masing.[6]
IV.
PENUTUP
Pada bagian diatas
telah disinggung,bahwa pengorganisasian itu memiliki arti penting bagi proses
dakwah’ dan dengan pengorganisasian rencana dakwah akan lebih mudah
aplikasinya. Untuk itu pada dasarnya tujuan dari pengorganisasian dakwah
adalah:
*
Membagi
kegiatan-kegiatan dakwah menjadi departemen-departemen atau divisi-divisi dan
tugas-tugas yang terperinci dan spesifik
*
Membagi kegiatan dakwah
serta tanggung jawab yang berkaitan dengan masing-masing jabatan atau tugas
dakwah
*
Mengoordinasikan
berbagai tugas organisasi
*
Mengelompokkan
pekerjaan-pekerjaan dakwah kedalam unit-unit
*
Dapat menyalurkan
kegiatan-kegiaran dakwah secara logis dan sistematik
DAFTAR PUSTAKA
Arbi, Armawati,
Dakwah Dan Komunikasi, Jakarta: UIN Jakarta Press. 2003
Muchtarom, Zaini, Dasar-
dasar Manajemen Dakwah, Yogyakarta: Al- Amin press. 1996
Amin, Samsul Munir, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah. 2009
Amin, Samsul Munir, Ilmu Dakwah, Jakarta: Amzah. 2009
Muri’ah,
Siti, Metode Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000
Shaleh, Rosyad, Manajemen
Dakwah Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
No comments:
Post a Comment