Tuesday, February 25, 2014

KONSELING PRAKTEK




Konselor         : Rara
Klien               : Siska
Siska    :  (tok.. tok.. tok..) “Assalamu’alaikum....”
Rara    : “Wa’alaikumussalam warahmatullah, silakan masuk mbak.” (membuka pintu, berjabat tangan, lalu dengan ramah mempersilakan duduk)
Rara    : “Wah, saya senang sekali dapat bertemu dengan anda. Bagaimana kabar anda hari ini?” (attending, ramah, senyum, kontak mata.)
Siska   : “Alhmdulillah baik mbak.” (datar dan terlihat murung)
Rara    : “Anda terlihat murung. Apakah anda sedang ada sesuatu yang ingin kita bicarakan sekarang?” (refleksi perasaan)
Siska   : (Hanya mengangguk dan menatap ke bawah)
Rara    : “Nampaknya anda mempunyai beban yang saat berat saat ini. Benarkah begitu mbak?” (refleksi perasaan, klarifikasi, bertanya terbuka)
Siska   : :Iya mbak, benar.” (masih merunduk)
Rara    : “Kalau boleh saya tahu beban berat apa yang anda fikirkan saat ini?”
Siska   : (menunduk) “Saya bingung mbak..”
Rara    : (mengangguk) “Bisakah anda menjelaskan lebih lanjut apa yang membuat anda bingung saat ini?”
Siska   : “Saya merasa benci dengan orang tua saya mbak.. tapi ..” (menatap konselor)
Rara    : “Iya.. lalu..” (dorongan minimal)
Siska   : “Saya ingin menetralisir kebencian saya mbak. Tapi tidak bisa mbak..”
Rara    : “Apa yang membuat anda mempunyai perasaan benci kepada orang tua anda sehingga anda tidak bisa menetralisirnya?” (eksplorasi perasaan)
Siska   : “Saya tidak dianggap anak kandung sendiri oleh kedua orang tua saya.”
Rara    : “Oh.. begitu.. bisakah anda menceritakan kepada saya bagaimana gambaran sikap orang tua anda yang tidak menganggap anda sebagai anak kandung?” (mengarahkan, directing)
Siska   : “Dari lahir saya tidak diterima di keluarga saya. Terlebih ayah.”
Rara    : “Darimana anda tahu bahwa anda tidak diterima di keluarga anda padahal anda baru saja lahir?”
Siska   : “Ibu saya yang cerita begitu mbak, kalau ayah saya sebenarnya tidak menginginkan saya lahir.”
Rara    : “Apakah ada alasan khusus yang diceritakan ibu anda , mengapa ayah anda bersikap demikian?” (focussing other; ayah)
Siska    : “Karena...”
Rara     : “Iya...”
Siska   : “Ayah saya hanya menginginkn 2 orang anak saja. Dan itu pun sudah lengkap dengan kehadiran kakak saya yang keduanya adalah laki-laki dan perempuan.”
Rara    : “Oh.. begitu.. lalu apakah hanya itu yang membuat anda merasa benci terhadap mereka atau ada sebab yang lainnya?” (memimpin, leading)
Siska   : “Iya mbak, masih ada..”
Rara    : “Bolehkah saya mengetahui alasan selanjutnya?”
Siska   : “Dulu saya tinggal dengan orang tua saya namun hanya dari kelas 1 hingga kelas 4 SD.”
Rara    : “Memang sebelum dan setelahnya anda tinggal dimana?”
Siska   : “Saya tinggal bersama om dan tante saya, sedangkan kedua orang tua saya dan kakak saya pergi meninggalkan saya.”  
Rara    : “Emm.. saya dapat merasakan bagaiman sedihnya anda saat itu. Lalu bagaimana selanjutnya?” (empati primer)
Siska   : “Selama 2 tahun, orang tua saya masih memberi kabar kepada saya. Namun 7 tahun setelahnya mereka tidak memberi kabar. Bahkan alamat mereka pun saya tidak tahu. Seluruh biaya sekolah saya ditanggung om dan tante.”
Rara    : “Saya bisa memahami perasaan anda. Namun, apakah hingga saat ini mereka masih juga belum memberi kabar?”
Siska   : “Mereka datang saat saya lulus SMK, mbak...”
Rara    : “Lalu, bagaimana saat mereka datang? Apakah mereka acuh tak acuh atau bahkan sebaliknya justru perhatian kepada anda?”
Siska   : “Perhatian mbak.. namun..”
Rara    : “Iya...”
Siska   : “Ada maksudnya..”
Rara    : “Bisa anda jelaskan lebih rinci dengan perkataan anda barusan?”
Siska   : “Mereka memang baik dan perhatian mbak, namun pada akhirnya mereka memaksa saya untuk....”
Rara    : “Iya...”
Siska   : “Bekerja di daerah orang tua saya, di Bogor.”
Rara    : “Owh. Jadi begitu. Iya saya dapat merasakan pedihnya kehidupan anda. Kalau saya boleh tahu, pekerjaan apa yang mereka tawarkan kepada anda?” (eksplorasi tentang pekerjaan)
Siska   : “Mereka bilang pelayan toko, namun kenyataannya pelayan bar. Setelah tahu saya kabur dari mereka, mbak.”
Rara    : diam sejenak (tehnik diam). “Nampaknya kekecewaan dan kesedihan anda terlalu dalam, lalu bagaimana?” (paraphrasing)
Siska   : “Lalu....”
Rara    : “Iya...”
Siska   : “Kemarin ayah dan kakak saya datang menemui saya dan mengabarkan bahwa ibu saya terkena stroke.”
Rara    : “Lalu, bagaimana dengan perasaan anda ketika mengetahui hal itu?”
Siska   : “Kasihan, namun benci saya tidak bisa hilang seiring dengan iba saya. Saya justru teringat masa lampau yang menyakitkan itu. Saya ingin menghilangkan benci itu mbak. Tapi sulit.” (konfrontasi)
Rara    : “Saya faham betul keadaan anda. Anda memang dalam keadaan yang sulit. Pengalaman hidup anda menimbulkan trauma yang mendalam bagi anda. Dari kecil hingga dewasa mereka mengabaikan anda. Namun, bagaimana pun juga, mereka tetap orang tua dan saudara-saudara kandung anda. Dari awal pembicaraan kita, saya dapat menilai bahwa niat / keinginan anda bagus sekali, ingin mengurangi kebencian anda. Bila saya boleh tahu, pernahkah anda mencoba untuk menetralisir kebencian anda dengan mengingat-ingat kebaikan mereka?” (empati primer, menyimpulkan sementara, nasehat)
Siska   : “Sudah mbak, namun malah semakin benci.”
Rara    : “Saya melihat banyak sisi baik dari anda. Usaha anda sudah bagus sekali. Namun, apakah anda berkenan jika saya memberikan saran?”
Siska   : “Saya berkenan mbak.”
Rara    : “Namun sebelumnya saya ingin bertanya, adakah orang yang anda anggap sebagai orang tua dan apakah anda menyayanginya?”
Siska   : “Ada mbak, mereka adalah om dan tante saya. Saya sangat menyayangi mereka.”
Rara    : “Kalau begitu, bagaimana jika suatu saat om dan tante anda terkena musibah? Pasti anda akan sedih sekali bukan? Dan anda melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan mereka.”
Siska   : Terdiam
Rara    : “Sekarang coba anda tengok ibu anda dan gambarkan itu adalah sosok tante anda. Berilah motivasi pada ibu anda dan maafkan kekhilafannya. Coba anda lakukan sesuatu agar ibu anda kemali sembuh. Saya sangat memahami perasaan anda. Dan saya yakin anda adalah orang yang kuat, sabar dan pemaaf.” (mengarahkan, empati, memberi kepercayaan)
Siska   : “Iya mbak..”
Rara    : “Sekarang adalah waktunya anda berbakti dengan orang tua. Bagaimanapun sikap mereka, mereka tetap orang tua dan saudara-saudara anda. Anda yakin bukan bahwa Allah akan membalas sesuai dengan apa yang dikerjakan manusia bahkan balasannya bisa lebih dari itu.” (nasehat)
Siska   : “Iya mbak saya mengerti. Saya akan mencoba apa yang mbak sarankan tadi.”
Rara    : “ Bagaimana dengan perasaan anda saat ini mbak?”
Siska   : “Alhamdulillah, saya tenang dan mendapatkan cara bagaimana menetralisir kebencian saya, terima kasih ya mbak.”
Rara    : “Iya sama-sama. Semoga perbincangan kita bermanfaat bagi kita. Jika ada aktu luang silakan kemari.”
Siska   : “Iya mbak, tentu.”    


No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...