INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG PENDIDIKAN
PENDIDIKAN DI JAWA SEBELUM ISLAM MASUK
I.
PENDAHULUAN
Sebelum membicarakan topik inti
(Interelasi Nilai Jawa Dan Islam Dalam Bidang Pendidikan) terlebih dahulu perlu
membicarakan hal-hal yang disebut dengan[1]
“pendidikan”. Didalam kamus besar bahasa Indonesia pendidikan adalah suatu hal
(perbuatan, cara memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran.[2]
Disini akan dibahas pendidikan jawa sebelum agama Islam masuk. Maka pendidikan
orang saat itu berdasarkan pada ajaran Hindhu dan Buddha. Dimana asal-usul Jawa
yang dijelaskan oleh C.C. Berg dalam bentuk sebuah legenda tentang seorang yang
bernama Aji Saka yang dikisahkan sebagai seorang muda putra Brahmana yang berasal
dari tanah India. Aji Saka datang ke tanah Jawa dan kemudian ia berhasil
mengalahkan Raja Dewatacengkar dan raja itu menerima kekalahannya serta
menyerahkan kekuasaannya kepada Aji Saka pada tahun 78 Masehi.[3]
II.
PERMASALAHAN
1.
Pengaruh Pendidikan Hindu Budha Di Jawa
2.
Pengaruh Hindhu Buddha Dalam Hal Pemikiran /
Filsafat
3.
Materi
Pendidikan Pada Masa Hindu Dan Budha
4.
Pola
Pendidikan Pada Masa Hindhu Buddha
5.
Sistem
Pendidikan Masa Hindu-Buddha
6.
Pendidikan
Masa Jaman Kerajaan Di Jawa Timur
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengaruh Pendidikan
Hindu Budha Di Jawa
Masuknya
Hindu-Budha juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang
pendidikan. Sebab sebelumnya masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan. Namun
dengan masuknya Hindu-Budha, sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal
budaya baca dan tulis.
·
Bukti pengaruh dalam pendidikan di Indonesia
yaitu :
1.
Dengan digunakannya bahasa Sansekerta dan Huruf
Pallawa dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Bahasa tersebut terutama
digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah mulai digunakan
bahasa Kawi, bahasa Jawa Kuno, dan bahasa Bali Kuno yang merupakan turunan dari
bahasa Sansekerta.
2.
Telah dikenal juga sistem pendidikan berasrama
(ashram) dan didirikan sekolah-sekolah khusus untuk mempelajari agama
Hindu-Budha. Sistem pendidikan tersebut kemudian diadaptasi dan dikembangkan
sebagai sistem pendidikan yang banyak diterapkan di berbagai kerajaan di
Indonesia.
·
Bukti lain tampak dengan lahirnya banyak karya
sastra bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam budaya
Hindu-Budha. Contoh :
1.
Empu Sedah dan Panuluh dengan karyanya
Bharatayudha
2.
Empu Kanwa dengan karyanya Arjuna Wiwaha
3.
Empu Dharmaja dengan karyanya Smaradhana
4.
Empu Prapanca dengan karyanya Negarakertagama
5.
Empu Tantular dengan karyanya Sutasoma.
Pengaruh Hindu Budha nampak pula pada
berkembangnya ajaran budi pekerti berlandaskan ajaran agama Hindu-Budha.
Pendidikan tersebut menekankan kasih sayang, kedamaian dan sikap saling
menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkan oleh sebagian masyarakat
Indonesia saat ini.
Para pendeta awalnya datang ke Indonesia untuk
memberikan pendidikan dan pengajaran mengenai agama Hindu kepada rakyat
Indonesia. Mereka datang karena berawal dari hubungan dagang. Para pendeta
tersebut kemudian mendirikan tempat-tempat pendidikan yang dikenal dengan pasraman.
Di tempat inilah rakyat mendapat pengajaran. Karena pendidikan tersebut maka
muncul tokoh-tokoh masyarakat Hindu yang memiliki pengetahuan lebih dan
menghasilkan berbagai karya sastra.
Rakyat Indonesia yang telah memperoleh
pendidikan tersebut kemudian menyebarkan pada yang lainnya. Sebagian dari
mereka ada yang pergi ke tempat asal agama tersebut. Untuk menambah ilmu
pengetahuan dan melakukan ziarah. Sekembalinya dari sana mereka menyebarkan
agama menggunakan bahasa sendiri sehingga dapat dengan mudah diterima oleh
masyarakat asal.
Agama Budha tampak bahwa pada masa dulu telah
terdapat guru besar agama Budha, seperti di Sriwijaya ada Dharmakirti,
Sakyakirti, Dharmapala. Bahkan raja Balaputra dewa mendirikan asrama khusus
untuk pendidikan para pelajar sebelum menuntut ilmu di Benggala (India)
B.
Pengaruh Hindhu
Buddha Dalam Hal Pemikiran / Filsafat
Lahir Astrologi yaitu pengetahuan yang
berkaitan dengan alam semesta/ astronomi. Contoh : orang memberi nama anak
berdasarkan hari, tanggal, bulan lahirnya. Adanya buku primbon sebagai
pedoman hidup dan tatanan tradisi yang semula hanya merupakan catatan turun
temurun. Ajaran Hindu-Budha penuh dengan upacara keagamaan. Falsafah agama
tersebut mengajarkan hal-hal yang bersifat pasifistis yaitu ajaran yang
menuju pada kehidupan damai, menerima apa yang menjadi takdir karena semuanya
ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
C.
Materi Pendidikan Pada Masa Hindu Dan Budha
Pada
masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan
pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan
di Jawa setajam sebagaimana yang terjadi
di India. Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur Warna bukan
sama sekali dan tidak sama dengan kasta. Karena
di dalam ajaran Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah kasta. yang ada
hanyalah istilah Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi
menjadi empat golongan, yaitu:
- Brāhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniwan
- Ksatria : golongan para raja, adipati, patih, menteri, dan pejabat negara
- Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi
- Sudra : golongan para pembantu ketiga golongan di atas
Menurut
ajaran catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi,
status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia
menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur Warna
menekankan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya.
Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat
memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus “memberi dan
diberi” jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.[4]
Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara
lain:
1.
Teologi,
pengetahuan
ketuhanan dimana dalam ajaran reinkarnasi hindhu, gunug digambarkan sebagai
keseluruhan alam semesta (makrokosmos) dan tempat bertahtanya Tuhan. Sedangkan Ida
Sang Hyang Widi Wasa dianggap sebagai simbol kedamaian keharmonisan dan
sumber kehidupan manusia.[5]
2.
Bahasa
dan sastra, istilah sastra jawa secara praktis dapa diartikan sebagai suatu
bentuk aktifitas tulis menulis dari para pujangga jaawa dalam mengungkapkan
nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa[6]
3.
Ilmu-ilmu
kemasyarakatan, pengetahuan atau ilmu tt sifat perilaku,
dan perkembangan masyarakat; ilmu tt struktur sosial, proses sosial, dan
perubahannya;[7]
4.
Ilmu-ilmu
eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu ramalan
(perhitungan nasib orang dsb) berdasarkan rasi;[8]
5.
Ilmu
pasti, atau biasa disebut ilmu titen atau pranoto mongso yang digunakan dalam
bertani.
6.
Perhitungan
waktu, Diadopsi dari
sistem kalender/penanggalan India. Hal ini terlihat dengan adanya : Penggunaan
tahun Saka di Indonesia. Tercipta kalender dengan sebutan tahun Saka yang
dimulai tahun 78 M (merupakan tahun Matahari, tahun Samsiah)[9] pada
waktu raja Kanishka I dinobatkan jumlah hari dalam 1 tahun ada 365 hari. Oleh
orang Bali, tahun Saka tidak didasarkan pada sistem Surya Pramana tetapi
sistem Chandra Pramana (tahun Bulan, tahun Kamariah) dalam 1 tahun ada
354 hari. Musim panas jatuh pada hari yang sama dalam bulan Maret dimana
matahari, bumi, bulan ada pada garis lurus. Hari tersebut dirayakan sebagai
Hari Raya Nyepi.
7.
Seni
bangunan, Contohnya candi Borobudur. Pada candi
disertai pula berbagai macam benda yang ikut dikubur yang disebut bekal kubur
sehingga candi juga berfungsi sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah
dewa.
8.
Seni
rupa dan lain-lain, Seni rupa tampak
berupa patung dan relief.
D.
Pola Pendidikan Pada Masa Hindhu Buddha
Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas
belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam perkembangannya, kebudayaan
Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri
serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu
terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang
khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan
hukum. Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain:
Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah
(Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya
karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara
Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu
Tantular (Majapahit, ibid), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (Epik
sejak berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi
dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di
padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar
yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar juga harus
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah
disimpulkan bahwa:
1.
Pengelola
pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat
tinggi;
2.
Bersifat
tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain;
3.
Kaum
bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana
disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru
tertentu;
4.
Pendidikan
kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur
kastanya masing-masing.
E.
Sistem Pendidikan Masa Hindu-Buddha.
Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik
pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul
Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990).
Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah
tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan
diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi.
Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang
mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan
petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak
diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan
dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan
yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa
lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa
nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru,
dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang
saja.
Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan.
Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala
kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para
wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan
membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut
dipimpin oleh dewaguru.
Berdasarkan keterangan yang terdapat pada kropak 632 yang
menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di tempat sampah daripada
rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan atau
mandala hingga jatuh ke tangan orang lain”, dapat diketahui bahwa nagara atau
ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam
hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling
ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral
dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan
gaib.
Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala mengemban tugas
untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan masyarakat serta
kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja terhadap kehidupan keagamaan.
Oleh karena itu, nagara perlu memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai
pemasok keperluan yang bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para
pendeta/wiku dan murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.[10]
F.
Pendidikan Masa Jaman Kerajaan Di Jawa Timur
Pada jaman ini ada dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu
'Sanghyang Kamahayan Mantrayana' yang berisi ajaran yang ditujukan kepada
bhikkhu yang sedang ditasbihkan, dan 'Sanghyang Kamahayanikan' yang berisi
kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kele pasan. Pokok ajaran
dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam-
macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Bagi penulis Sanghyang
Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan Siwa dengan
Buddha dan menyebutnya "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha,
tetapi Siwa-Buddha sebagai satu Tuhan.
Beralih ke jaman Majapahit, dapat disimpulkan bahwa jaman ini
adalah jaman dimana Sinkretisme sudah mencapai puncaknya.[11]Pengertian
sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak
mempersoalkan benar atau salahnya sesuatu agama, yakni suatu sikapyang tidak
mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang menganut paham ini
semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu mereka berusaha memadukan
unsur-unsur yang baik dari berbagai agama yang tentunya berbeda antara satu
dengan yang lainnya dan dijadikannya suatu sekte, aliran dan bahkan agama.[12]
IV.
KESIMPULAN
Setelah membaca makalah saya di atas maka, saya simpulkan bahwasanya
pendidikan di jawa bermula saat Hindhu Buddha belum masuk ke Jawa, namun
pendidikan itu hanya sekedar pengetahuan yang belum terprogram menjadi sebuah
ilmu secara utuh. Pendidikan di Jawa mulai terprogram dengan baik saat
Hindhu-Buddha masuk ke Jawa.
Materi materi sebelum Islam masuk pun sudah luas diantaranya : teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu
kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti,
perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Dan perlu diketahui
pula, pada zaman Hindhu Buddha juga telah diadakan pola pembelajaran model
asrama yang mana dalam Islam disebut dengan pesantren.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya
sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Untuk itu saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan
selanjutnya.
Dan akhirnya pemakalah mohon maaf
apabila terdapat banyak kesalahan, baik dalam sistematika penulisan, isi dalam
pembahasan maupun dalam hal penyampaian materi. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pemkalah sendiri khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada
umumnya dalam kehidupan ini. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
·
Amin,
Darori, Islam Dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
·
Berg,
C. C., Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta : Bhratara, 1974.
·
Eisemann,
Pred BJR, Bali : Sekala dan Niskala, 1990
·
Ekadjati, Edi S, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah),
Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
·
Penyusun,
Tim, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
·
Santiko, Hariani, Aspek Sosial Budaya “Mandala (Kedwaguruan)
Pada Masyarakat Majapahit,”, Cipanas: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional,
1986.
·
Simuh,
Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta : UI Press,
1988.
[1]
Darori amin, islam dan kebudayaan jawa, yogyakarta: gama media, 2000,
hal. 139
[2]
Tim
Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, hal. 371
[3]
C. C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta : Bhratara, 1974, Hal. 182
[4]
Hariani
Santiko, Aspek Sosial Budaya “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat
Majapahit,”, Cipanas: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1986, hal 304
[5]
Pred BJR Eisemann, Bali : Sekala dan Niskala, 1990, hlm 3
[7]
Tim Penyusun, Op. Cit.,
hal. 1515
[8]
Tim Penyusun, Ibid, hal. 222
[10]
Edi S
Ekadjati, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), Jakarta: Pustaka Jaya,
1995, hal. 67
[12]
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta : UI
Press, 1988, Hal. 12
No comments:
Post a Comment