Tuesday, February 25, 2014

INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG PENDIDIKAN PENDIDIKAN DI JAWA SEBELUM ISLAM MASUK



INTERELASI NILAI JAWA DAN ISLAM DALAM BIDANG PENDIDIKAN
PENDIDIKAN DI JAWA SEBELUM ISLAM MASUK

       I.            PENDAHULUAN
Sebelum membicarakan topik inti (Interelasi Nilai Jawa Dan Islam Dalam Bidang Pendidikan) terlebih dahulu perlu membicarakan hal-hal yang disebut dengan[1] “pendidikan”. Didalam kamus besar bahasa Indonesia pendidikan adalah suatu hal (perbuatan, cara memelihara dan memberi latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.[2] Disini akan dibahas pendidikan jawa sebelum agama Islam masuk. Maka pendidikan orang saat itu berdasarkan pada ajaran Hindhu dan Buddha. Dimana asal-usul Jawa yang dijelaskan oleh C.C. Berg dalam bentuk sebuah legenda tentang seorang yang bernama Aji Saka yang dikisahkan sebagai seorang muda putra Brahmana yang berasal dari tanah India. Aji Saka datang ke tanah Jawa dan kemudian ia berhasil mengalahkan Raja Dewatacengkar dan raja itu menerima kekalahannya serta menyerahkan kekuasaannya kepada Aji Saka pada tahun 78 Masehi.[3]

    II.            PERMASALAHAN
1.      Pengaruh Pendidikan Hindu Budha Di Jawa
2.      Pengaruh Hindhu Buddha Dalam Hal Pemikiran / Filsafat
3.      Materi Pendidikan Pada Masa Hindu Dan Budha
4.      Pola Pendidikan Pada Masa Hindhu Buddha
5.      Sistem Pendidikan Masa Hindu-Buddha
6.      Pendidikan Masa Jaman Kerajaan Di Jawa Timur
 III.            PEMBAHASAN

A.    Pengaruh Pendidikan Hindu Budha Di Jawa
Masuknya Hindu-Budha juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelumnya masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan. Namun dengan masuknya Hindu-Budha, sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis.
·         Bukti pengaruh dalam pendidikan di Indonesia yaitu :
1.      Dengan digunakannya bahasa Sansekerta dan Huruf Pallawa dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia. Bahasa tersebut terutama digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah mulai digunakan bahasa Kawi, bahasa Jawa Kuno, dan bahasa Bali Kuno yang merupakan turunan dari bahasa Sansekerta.
2.      Telah dikenal juga sistem pendidikan berasrama (ashram) dan didirikan sekolah-sekolah khusus untuk mempelajari agama Hindu-Budha. Sistem pendidikan tersebut kemudian diadaptasi dan dikembangkan sebagai sistem pendidikan yang banyak diterapkan di berbagai kerajaan di Indonesia.
·         Bukti lain tampak dengan lahirnya banyak karya sastra bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam budaya Hindu-Budha. Contoh :
1.      Empu Sedah dan Panuluh dengan karyanya Bharatayudha
2.      Empu Kanwa dengan karyanya Arjuna Wiwaha
3.      Empu Dharmaja dengan karyanya Smaradhana
4.      Empu Prapanca dengan karyanya Negarakertagama
5.      Empu Tantular dengan karyanya Sutasoma.
Pengaruh Hindu Budha nampak pula pada berkembangnya ajaran budi pekerti berlandaskan ajaran agama Hindu-Budha. Pendidikan tersebut menekankan kasih sayang, kedamaian dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkan oleh sebagian masyarakat Indonesia saat ini.
Para pendeta awalnya datang ke Indonesia untuk memberikan pendidikan dan pengajaran mengenai agama Hindu kepada rakyat Indonesia. Mereka datang karena berawal dari hubungan dagang. Para pendeta tersebut kemudian mendirikan tempat-tempat pendidikan yang dikenal dengan pasraman. Di tempat inilah rakyat mendapat pengajaran. Karena pendidikan tersebut maka muncul tokoh-tokoh masyarakat Hindu yang memiliki pengetahuan lebih dan menghasilkan berbagai karya sastra.
Rakyat Indonesia yang telah memperoleh pendidikan tersebut kemudian menyebarkan pada yang lainnya. Sebagian dari mereka ada yang pergi ke tempat asal agama tersebut. Untuk menambah ilmu pengetahuan dan melakukan ziarah. Sekembalinya dari sana mereka menyebarkan agama menggunakan bahasa sendiri sehingga dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat asal.
Agama Budha tampak bahwa pada masa dulu telah terdapat guru besar agama Budha, seperti di Sriwijaya ada Dharmakirti, Sakyakirti, Dharmapala. Bahkan raja Balaputra dewa mendirikan asrama khusus untuk pendidikan para pelajar sebelum menuntut ilmu di Benggala (India)

B.     Pengaruh Hindhu Buddha Dalam Hal Pemikiran / Filsafat
Lahir Astrologi yaitu pengetahuan yang berkaitan dengan alam semesta/ astronomi. Contoh : orang memberi nama anak berdasarkan hari, tanggal, bulan lahirnya. Adanya buku primbon sebagai pedoman hidup dan tatanan tradisi yang semula hanya merupakan catatan turun temurun. Ajaran Hindu-Budha penuh dengan upacara keagamaan. Falsafah agama tersebut mengajarkan hal-hal yang bersifat pasifistis yaitu ajaran yang menuju pada kehidupan damai, menerima apa yang menjadi takdir karena semuanya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.

C.    Materi Pendidikan Pada Masa Hindu Dan Budha
Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Jawa  setajam sebagaimana yang terjadi di India. Dalam agama Hindu, dikenal istilah Catur Warna bukan sama sekali dan tidak sama dengan kasta. Karena di dalam ajaran Pustaka Suci Weda, tidak terdapat istilah kasta. yang ada hanyalah istilah Catur Warna. Dalam ajaran Catur Warna, masyarakat dibagi menjadi empat golongan, yaitu:
  • Brāhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniwan
  • Ksatria : golongan para raja, adipati, patih, menteri, dan pejabat negara
  • Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi
  • Sudra : golongan para pembantu ketiga golongan di atas
Menurut ajaran catur Warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur Warna menekankan seseorang agar melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem Catur Warna terjadi suatu siklus “memberi dan diberi” jika keempat golongan saling memenuhi kewajibannya.[4]
Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain:
1.      Teologi, pengetahuan ketuhanan dimana dalam ajaran reinkarnasi hindhu, gunug digambarkan sebagai keseluruhan alam semesta (makrokosmos) dan tempat bertahtanya Tuhan. Sedangkan Ida Sang Hyang Widi Wasa dianggap sebagai simbol kedamaian keharmonisan dan sumber kehidupan manusia.[5]
2.      Bahasa dan sastra, istilah sastra jawa secara praktis dapa diartikan sebagai suatu bentuk aktifitas tulis menulis dari para pujangga jaawa dalam mengungkapkan nilai-nilai dan pandangan hidup dalam lingkup budaya jawa[6]
3.      Ilmu-ilmu kemasyarakatan, pengetahuan atau ilmu tt sifat perilaku, dan perkembangan masyarakat; ilmu tt struktur sosial, proses sosial, dan perubahannya;[7]
4.      Ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu ramalan (perhitungan nasib orang dsb) berdasarkan rasi;[8]
5.      Ilmu pasti, atau biasa disebut ilmu titen atau pranoto mongso yang digunakan dalam bertani.
6.      Perhitungan waktu, Diadopsi dari sistem kalender/penanggalan India. Hal ini terlihat dengan adanya : Penggunaan tahun Saka di Indonesia. Tercipta kalender dengan sebutan tahun Saka yang dimulai tahun 78 M (merupakan tahun Matahari, tahun Samsiah)[9] pada waktu raja Kanishka I dinobatkan jumlah hari dalam 1 tahun ada 365 hari. Oleh orang Bali, tahun Saka tidak didasarkan pada sistem Surya Pramana tetapi sistem Chandra Pramana (tahun Bulan, tahun Kamariah) dalam 1 tahun ada 354 hari. Musim panas jatuh pada hari yang sama dalam bulan Maret dimana matahari, bumi, bulan ada pada garis lurus. Hari tersebut dirayakan sebagai Hari Raya Nyepi.
7.      Seni bangunan, Contohnya candi Borobudur. Pada candi disertai pula berbagai macam benda yang ikut dikubur yang disebut bekal kubur sehingga candi juga berfungsi sebagai makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa.
8.      Seni rupa dan lain-lain, Seni rupa tampak berupa patung dan relief.

D.    Pola Pendidikan Pada Masa Hindhu Buddha
Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125), Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan Pararaton (Epik sejak berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa:
1.      Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi;
2.      Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain;
3.      Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu;
4.      Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.

E.     Sistem Pendidikan Masa Hindu-Buddha.
Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.
Berdasarkan keterangan yang terdapat pada kropak 632 yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di tempat sampah daripada rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan atau mandala hingga jatuh ke tangan orang lain”, dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.
Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta/wiku dan murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.[10]
F.     Pendidikan Masa Jaman Kerajaan Di Jawa Timur
Pada jaman ini ada dua buku yang menguraikan ajaran Mahayana, yaitu 'Sanghyang Kamahayan Mantrayana' yang berisi ajaran yang ditujukan kepada bhikkhu yang sedang ditasbihkan, dan 'Sanghyang Kamahayanikan' yang berisi kumpulan pengajaran bagaimana orang dapat mencapai kele pasan. Pokok ajaran dalam Sanghyang Kamahayanikan adalah menunjukan bahwa bentuk yang bermacam- macam dari bentuk pelepasan pada dasarnya adalah sama. Bagi penulis Sanghyang Kamahayanikan tidaklah terlalu sulit untuk mengidentifikasikan Siwa dengan Buddha dan menyebutnya "Siwa-Buddha", bukan lagi Siwa atau Buddha, tetapi Siwa-Buddha sebagai satu Tuhan.
Beralih ke jaman Majapahit, dapat disimpulkan bahwa jaman ini adalah jaman dimana Sinkretisme sudah mencapai puncaknya.[11]Pengertian sinkretisme dalam beragama adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar atau salahnya sesuatu agama, yakni suatu sikapyang tidak mempersoalkan murni atau tidaknya suatu agama. Bagi yang menganut paham ini semua agama dipandang baik dan benar. Oleh karena itu mereka berusaha memadukan unsur-unsur yang baik dari berbagai agama yang tentunya berbeda antara satu dengan yang lainnya dan dijadikannya suatu sekte, aliran dan bahkan agama.[12]

 IV.            KESIMPULAN
Setelah membaca makalah saya di atas maka, saya simpulkan bahwasanya pendidikan di jawa bermula saat Hindhu Buddha belum masuk ke Jawa, namun pendidikan itu hanya sekedar pengetahuan yang belum terprogram menjadi sebuah ilmu secara utuh. Pendidikan di Jawa mulai terprogram dengan baik saat Hindhu-Buddha masuk ke Jawa.
Materi materi sebelum Islam masuk pun sudah luas diantaranya : teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Dan perlu diketahui pula, pada zaman Hindhu Buddha juga telah diadakan pola pembelajaran model asrama yang mana dalam Islam disebut dengan pesantren.
    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Untuk itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat saya harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya.
Dan akhirnya pemakalah mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan, baik dalam sistematika penulisan, isi dalam pembahasan maupun dalam hal penyampaian materi. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pemkalah sendiri khususnya dan bagi pembaca yang budiman pada umumnya dalam kehidupan ini. Amin.







DAFTAR PUSTAKA

·         Amin, Darori, Islam Dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000
·         Berg, C. C., Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta : Bhratara, 1974.
·         Eisemann, Pred BJR, Bali : Sekala dan Niskala, 1990
·         Ekadjati, Edi S, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), Jakarta: Pustaka Jaya, 1995.
·         Penyusun, Tim, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
·         Santiko, Hariani, Aspek Sosial Budaya “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,”, Cipanas: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1986.
·         Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta : UI Press, 1988.






[1] Darori amin, islam dan kebudayaan jawa, yogyakarta: gama media, 2000, hal. 139
[2] Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, hal. 371
[3] C. C. Berg, Penulisan Sejarah Jawa, Jakarta : Bhratara, 1974, Hal. 182
[4] Hariani Santiko, Aspek Sosial Budaya “Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,”, Cipanas: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1986, hal 304
[5] Pred BJR Eisemann, Bali : Sekala dan Niskala, 1990, hlm 3
[6] Darori Amin, Op. Cit., hal. 157
[7] Tim Penyusun, Op. Cit., hal. 1515
[8] Tim Penyusun, Ibid, hal. 222
[9] Darori Amin, Op. Cit.,  Hal 11
[10] Edi S Ekadjati, Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah), Jakarta: Pustaka Jaya, 1995, hal. 67
[12] Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Jakarta : UI Press, 1988, Hal. 12

No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...