TAUBAT
ATAU PENGENDALIAN DIRI
(Q.
S. At-Tahrim : 8)
I.
PENDAHULUAN
Di dalam memahami kandungan al-qur’an,
kita perlu penafsiran yang benar agar dalam memahami pesan yang disampaikan
oleh al-qur’an bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari yang tentunya sesuai
dengan tuntunan dari Allah. Dari banyak peristiwa yang terjadi, dan kehidupan
sehari-hari banyak yang keliru dalam melaksanakannya dan agar manusia tidak
terjebak dalam kesesatan yang dalam. Maka dari itu, disini akan sedikit
dipaparkan tentang taubat atau pengendalian diri yang dikaitkan dengan Q.S.
At-Tahrim ayat 8.
II.
PERMASALAHAN
1. Ayat
Dan Artinya
2. Pengertian
Ijmal (Global)
3. Asbabun
Nuzul
4. Tafsir
Mufrodat
5. اِيْضَاحْ
(Penjelasan)
III.
PEMBAHASAN
1. Ayat Dan Artinya
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada
Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan
Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah
yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan:
"Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami;
Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu."
2. Pengertian Ijmal (Global)
Setelah
Allah memerintahkan kepada sebagian istri Nabi saw. untuk bertaubat dari
kesalahan yang terlanjur dilakukan, dan menjelaskan kepada mereka bahwa Allah
akan menjaga dan menolong Rasul-Nya hingga kerja sama mereka untuk menyakitinya
tidak akan membahayakannya, kemudian memperingatkan mereka agar tidak
berkepanjangan dalam menentangnya karena khawatir akan dithalaq dan dijatuhkan
dari kedudukannya yang mulia sebagai ibu-ibu kaum Mu’minin, karena digantikan
oleh istri-istri lain dari wanita-wanita Mu’min yang saleh; Dia memerintahkan
kaum Mu’minin pada umumnya untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka yang
kayu bakarnya adalah manusia dan berhala-berhala pada hari Kiamat. Yaitu pada
hari dikatakan kepada orang-orang kafir: “Janganlah kamu ber’udzur, karena
waktunya sudah terlambat. Kamu itu menerima balasan dari apa yang kamu lakukan
di dunia”. Kemudian Dia memerintahkan orang-orang Mu’min agar meninggalkan
kesalahan-kesalahan mereka dan bertaubat dengan taubat nasuh, sehingga
mereka menyesali kekeliruan-kekeliruan yang terlanjur mereka lakukan dan
berkemauan kuat untuk tidak mengulanginya pada waktu pada waktu yang akan
datang, supaya Allah meghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memasukkan
mereka ke dalam surga-surga yang penuh nikmat.
3. Asbabun Nuzul
Tidak
ada.
4. Tafsir Mufrodat
اَلتَّوْ
بَةُ النَّصُوْ حَا : menyesali apa yang
telah dilakukan dan berkemauan kuat untuk tidak melakukannya kembali pada waktu
yang akan datang.
5. اِيْضَاحْ
(Penjelasan)
يَأَ
يُّهَا الَّذِيْنَ ءَا مَنُوْاْ تُوْ بُواْ اِلَى اللهِ تَوْ بَةً نَّصُوْحًا عَسَى
رَبُّكُمْ اَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَا تِكُمْ وَيُدْ خِلَكُمْ جَنَّةٍ
تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِى اللهُ النَّبِيَّ
وَالَّذِيْنَ ءَا مَنُوْا مَعَهُ
Wahai
orang- orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, kembalilah kamu dari
dosa-dosa kamu kepada mentaati Allah dan kepada apa yang menyebabkan Allah
ridha kepadamu, dengan taubat yang kamu tidak akan mengulangi lagi perbuatan
dosa untuk selamanya. Semoga Tuhanmu menghapuskan dosa-dosa dari
perbuatan-perbuatan yang telah kamu lakukan, dan memasukkan kamu ke dalam
taman-taman yang dari bawah pepohonannya mengalir sungai-sungai, disaat Allah
tidak mengecewakan Muhammad saw. dan orang-orang Mu’min yang bersamanya.
Syarat-Syarat
Taubat Nashuh
Telah
dikeluarkan dari Ibnu Mardawaih, dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Taubat Nashuh
adalah bila seseorang hamba menyesali dosa yang telah dilakukannya sehingga ia
memohon maaf kepada Allah, kemudian tidak melakukan dosa itu lagi untuk
selama-lamanya, sebagaimana susu yang telah menetes tidak akan kembali kepada
sumbernya. Begitu pula diriwayatkan dari Umar, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’b,
Al-Hasan dan lain-lain.
Berkata
Imam Nawawi: Taubat Nashuh adalah taubat yang memenuhi tiga hal:
a. Berhenti
dari perbuatan maksiat
b. Menyesali
perbuatan itu
c. Kemauan
yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan yang serupa dengan yang ditaubatinya
itu untuk selama-lamanya.
Apabila
perbuatan maksiat itu berhubungan dengan manusia, maka ia wajib mengemalikan
barang yang dirampasnya itu kepada yang empunya atau kepada ahli warisnya, atau
diperoleh pembebasan daripadanya.
Ringkasnya
: kemaksiatan yang hanya berhubungan dengan hak Allah itu cukup disesali, misal
dari medan perang dan meninggalkan amar ma’ruf. Sedang kemaksiatan yang
berhubungan dengan hak-hak hamba, disamping harus disesali juga berjanji untuk
mengembalikan hak hamba itu atau menggantinya, apabila dosanya berupa
kezhaliman seperti merampas dan membunuh dengan sengaja, dan harus meminta maaf
kepadanya apabila dosa itu menyakitinya, seperti mengumpat jika umpatan itu
sampai kepadanya. Tetapi ia tidak seharusnya merinci umpatannyya kecuali jika
umpatan sampai kepadanya dalam keadaan yang lebih keji.
Kata عَسَى (semoga, mudah-mudahan) dipergunakan
untuk menunjukkan harapan akan terjadinya pemaafan saja, meski Allah
menjanjikan untuk menerima taubat. Yang demikian sesuai dengan kebiasaan para
raja dalam percakapan. Mereka mengatakan apabila hendak berbuat, “Mungkin kami
dapat melakukan seperti ini”.
Dan
juga untuk menyadarkan bahwa yang demikian adalah karunia dari Allah swt.
Menerima taubat tidak menjadi keharusan bagi Allah. Oleh karena itu, maka
seharusnya hamba berada diantara harap dan cemas serta bersungguh-sungguh dalam
menjalankan tugas ibadah.
Kemudian
Allah menjelaskan ciri-ciri keberuntungan, kemenangan, untuk mendapatkan yang
diharapkan yang dimiliki oleh Nabi saw dan orang-orang yang bersamanya.
Firman-Nya:
نُوْرُهُمْ
يَسْعَى بَيْنَ اَيْدِيْهِمْ وَبِاَيْمَا نِكُمْ
Cahaya
mereka memancar dihadapan mereka ketika mereka berjalan, dan disebelah kanan
mereka ketika mereka dihisab sebab mereka diberi Kitab dari sebelah kanan
mereka dan didalam Kitab itu itu terdapat cahaya dan kebaikan bagi mereka.
Kemudian
Allah menjelaskan apa yang diminta mereka dari Tuhan mereka. Firman-Nya :
يَقُوْلُوْنَ
رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُوْرَنَا وَاغْفِرْ لَنَا
Mereka
memohon kepada Tuhan mereka agar Dia mengekalkan bagi mereka cahaya mereka dan
tidak memadamkannya sampai mereka melewati shirath. Ketika itu
orang-orang munafik mengatakan kepada mereka:
اُنْظُرُوْنَا نَقْتَبِسْ مِنْ
نُوْرِكُمْ
“Tunggulah
supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu.” (Al-Hadid, 57:13)
Seperti
yang telah dijelaskan dalam surat Al-Hadid, mereka juga memohon kepada-Nya agar
Dia menutup dosa-dosa dan tidak mempermalukan mereka dengan menyiksa karena
dosa-dosa itu pada waktu dihisab.
Kemudian
mereka menyebitkan apa yang menyebabkan mereka mengharap dikabulkannya doa.
Kata mereka :
اِنَّكَ
عَلَى كُلِّ شَئِ قَدِيْرٌ
Sesungguhnya
Engkau kuasa wahai Tuhan kami, untuk menyempurnakan cahaya kami, mengampuni
dosa-dosa kami dan untuk mengabulkan apa yang kami harap dan inginkan dari
Engkau. Ya Allah kabulkanlah permohonan kami dan janganlah Engkau kecewakan
harapan kami.
Diriwayatkan
bahwa orang yang paling rendah kedudukannya diantara mereka itu cahayanya --
menurut kadar dia – dapat melihat telapak kakinya, sebab cahaya itu menurut
kadar amal.
Diriwayatkan
pula bahwa orang-orang yang petama kali masuk surga itu berjalan di atas shirath
secepat kilat. Sebagian mereka berjalan seperti angin. Sebagian lain berjalan
dengan merangkak atau merayap. Mereka itulah yang difirmankan-Nya :
رَبَّنَا
أَتْمِمْ لَنَا نُوْرَنَا
IV.
KESIMPULAN
Taubat
Nashuh adalah bila seseorang hamba menyesali dosa yang
telah dilakukannya sehingga ia memohon maaf kepada Allah, kemudian tidak
melakukan dosa itu lagi untuk selama-lamanya, sebagaimana susu yang telah
menetes tidak akan kembali kepada sumbernya.
Taubat
Nashuh adalah taubat yang memenuhi tiga hal:
a. Berhenti
dari perbuatan maksiat
b. Menyesali
perbuatan itu
c. Kemauan
yang kuat untuk tidak mengulangi perbuatan yang serupa dengan yang ditaubatinya
itu untuk selama-lamanya.
Taubat
juga merupakan pengendalian diri orang untuk tidak melakukan maksiat. Apabila
mereka bertaubat namun masih melakukan kemaksiatan dari yang ditaubatinya, maka
taubat mereka bukanlah yang sebenar-benarnya.
V.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat saya sampaikan. Tentunya jauh dari kesempurnaan, dan karena
itulah saya mohon kritik serta saran yang membangun. Dan saya mohon maaf atas
segala kekurangan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Aamiin..
DAFTAR
PUSTAKA
Rasyidi,
Anwar, Drs., Tafsir Al-Maraghy, Semarang: Penerbit Toha Putra, 1986
No comments:
Post a Comment