Mata Kuliah : Psikologi
Konseling
Pengalaman ini
saya alami sejak saya duduk di bangku MA (Madrasah Aliyah). Saat itu saya duduk
di bangku kelas 6 TMI atau kelas 3 MA. Saat itu saya menjadi pengurus
Organisasi Santri. Sejak awal masuk ke pesantren tersebut bukanlah keinginan
pribadi dari saya, namun karena saya berfikir mungkin ini yang terbaik karena
biaya sekolah masih orang tua yang nanggung jadi saya menuruti keinginan mereka
dengan beberapa syarat yang salah satu syaraynya adalah saya tidak mau mengakui
kalau kakak saya juga lulusan dari sana, karena kakak saya cukup dikenal
dikalangan ustadz/ah, adik kelas, bahkan keluarga kiai. Karena bukan keinginan
dari hati, saya berusaha untuk tidak menimbulkan masalah disana, karena
pesantren tersebut dikenal sangat disiplin, ketat, bahkan ada yang menilai
kejam juga, jadi saya selalu berupaya untuk menghindari segala pelanggaran yang
ada.
Namun apapun upaya
saya tetap ada masalah yang timbul, entah dari masalah biasa sampai pernah saya
berurusan dengan pengurus sebelum saya karena salah paham, dan selama saya
merasa saya tidak salah, saya menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun
itu semua tidak diterima oleh pengurus, dan yang membuat saya kecewa saat salah
satu pengurus membandingkan saya dengan kakak saya. Saya hanya terdiam
menanggapi ulah dia, karena menurut saya dia tidak mengerti apa yang sebenarnya
terjadi, hanya menanggapi apa yang di katakan temannya tanpa mencari tau yang
sesungguhnya.
Adapun yang paling
menyedihkan dan menyakitkan saat saya sudah menjadi pengurus. Bukan masalah
besar sebenarnya, jika bagi santri hal yang lumrah jika terlambat bagi ke
pesantren. Saat itu saya terlambat sehari kembali ke pesantren, sebenarnya
pengurus harus kembali sehari sebelum anggota. Namun karena saat hari yang di
tentukan untuk pengurus kembali ke pesantren, saya dan kakak saya sempat ada
masalah saat perjalanan kesana, akhirnya kami memutuskan untuk kembali kerumah
dan perjalanan di putuskan besok pagi. Namun saat hukuman dijelasakan oleh
ustadzah (karena pengurus yang memberi hukuman ustadzah) bahwa saya harus
memilih antara menggunakan himar pelanggaran satu minggu atau di scorsing
selama 2 minggu, kakak saya berupaya untuk menjelaskan kenapa saya terlambat,
sedangkan ustadzah itu adalah teman kakak saya semenjak MTs hingga MA. Namun
semua alasan sama sekali tidak diterima. Biasanya hukuman untuk molor sehari
tidak sampai scorsing atau memakai himar pelanggaran, hukuman itu untuk pelanggaran
berat seperti pacaran, bawa HP, dsb. Menurut saya hukuman itu hanya untuk
menakut-nakuti pengurus, apalagi mau Amaliah Tadris (latihan mengajar) untuk
kelas 6 TMI, bagi saya hukuman itu tidak mungkin, karena pengurus harus menjaga
image di depan anggota.
Dan ternyata dugaan saya salah, karena hukuman itu benar-benar di
jatuhkan, itu setelah satu minggu berlalu. Sontak saja, saya langsung
menumpahkan air mata sepuasnya, saya belom bisa menerima semua kejadian itu,
karena baru ini pengurus mendapat hukuman himar pelanggaran dan selama satu minggu itu masa Amaliah Tadris,
yang dimana hanya di beri dispensasi melepasnya saat maju Amaliah Tadris,
Karena Amaliah Tadris itu berkelompok dan satu kelompok ada 10-15 orang, yang
dimana selama seminggu seorang dari kelompok tersebut itu menggantikan
guru-guru yang mengajar selama seminggu itu sesuai mata pelajarannya.
Sehari saya benar-benar merasakan kesedihan yang harus saya
tumpahkan, seolah saya menyalahkan semua pihak, andai aku tidak pernah masuk ke
pesantren itu, andai saya tidak harus mengikuti jejak kakak saya, andai
ustadzah itu bukan kawan kakak saya, dan saya terus berandai-andai, dan saya
merasa ini semua tidak adil, mana hukuman untuk mereka yang pacaran, ketauan
bawa hp dsb.... Namun setelah saya merasa lelah dan tak ada guna lagi saya
terpuruk dalam kesedihan karena semua sudah terjadi dan harus saya lalui, saya pun berusaha untuk menepis emosi saya , saya belajar menyiapkan
materi saya untuk Amaliah Tadris. Karena haya harus mengajar maksimal, berusaha
memahamkan murid-murid, agar Amaliah Tadris saya tidak mendapat nilai yang
buruk dan nantinya saya harus mengulang. Jadi saya harus meyiapkan dari
jauh-jauh hari, karena yang membri nilai cara pengajaran kita adalah teman
sekelompok yang lain.
Dan terjadi lagi luapan kesedihan saya, saat saya selesai maju
Amaliah Tadris, saya harus menilai teman sekelompok yang maju Amaliah Tadris di
kelas anak putra. Saya benar-benar takut membayangkan harus menanggung malu
saat melewati deretan anak putra yang posisi masih pada istirahat, apa yang
akan mereka katakan tentang aku, apa yang akan di katakan pengurus putra nanti
jika pengurus seangkatannya harus menggunakan himar pelanggaran. Namun saya
segera menarik nafas panjang, sebelum teman-teman tau kalau saya habis menangis
sejadi-jadinya selama jeda istirahat.
Dan itulah pengalaman emosi saya yang sampai saat ini masih terus
teringat. Dan usaha saya untuk mengendalikannya adalah dengan mengalihkan pada
kegiatan yang lebih positif, seperti persiapan matang untuk Amaliah Tadris,
selaain itu saya juga berusaha untuk lebih matang menyiapkan UN. Karena saya
ingin segera meninggalkan pesantren tersebut dengan hasil yang baik, dan saya pun lebih mendekatkan
diri pada allah, beristighfar terutama
karena saya sempat berfikir tidak jernih pada saat mengahadapi masalah yang sedang terjadi, dan saya pun
mendoakan ustadzah saya semoga cepat mendapatkan jodoh dan di murahkan hatinya agar
tidak terlalu kejam atau dendam memberi hukuman pada pengurus, dan semoga
masalah ini tidak terjadi pada adik tingkat saya.
No comments:
Post a Comment