Thursday, October 17, 2019

KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM


KEBUDAYAAN JAWA PRA ISLAM
(MASA HINDU BUDHA)
MAKALAH
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen Pengampu : Drs. H. Anasom, M.Hum
                                                                                                          
Disusun oleh:
Umi Nur Iswatin               (1401016102)
Awang Maylinda D          (1401016106)
Ahmad Syamsul Maarif    (1401016113)
Umi Habibbah                  (1401016116)
Shella Norvita Safitri       (1401016118)
Dwi Rindho F                 (1401016134)

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI WALISONGO
 SEMARANG
2014

I.                   PENDAHULUAN
Keberadaan budaya jawa baru di ketahui secara konkrit dari sumber bersejarah setelah kedatangan Aji Saka. Ini sebenarnya masih simpang siur karena ditemukan berbagai versi yang terkesan hanya sebagai mitos  yang agaknya bukan sebagai peristiwa sejarah. Keseragaman dalam artian para ahli sejarah sepakat untuk mengatakan sebagai sejarah, baru terjadi ratusan tahun setelah masehi, lebih tepatnya setelah di temukannya sumber yang memang di sepakati sebagai sumber sejarah, seperti prasasti dan juga laporan dari cina mulai abad ke 7 M.
Peninggalan itulah yang dapat memberi informasi dan kejelasan sebagai bukti terjadinya suatu peristiwa dari sebuah wilayah.
Dalam kaitan dalam sistem teologi, karakteristik budaya jawa berkembang melalui beberapa fase, salah satunya kebudayaan jawa yang berkembang pada fase hindu budha.


II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Sejarah Masuknya Hindu Budha di Jawa
B.     Kebudayaan Jawa Pra Hindu Budha
C.     Kebudayaan Jawa Masa Hindu Budha
D.    Kepercayaan Jawa Masa Hindu Budha

III.             PEMBAHASAN
A.    Sejarah Masuknya Hindu Budha di Jawa
Sejarah mencatat bahwa di Jawa pernah mengalami “mutasi pertama” atau lebih tepatnya disebut indianisasi. Sebenarnya kemungkinan adanya pengaruh India tidak pernah terdeteksi oleh para peneliti Eropa sebelum awal abad ke-19. Raffles mengangkat indianisasi menjadi topik yang menarik dengan mengaitkan antara Jawa dan India. Gagasan Indianisasi ini dilanjutkan oleh para peneliti Belanda yang lain, yaitu J. L. A. Brandes (1957-1905), H. Kern (1833-1917), N. j. Krom (1883-1945), dan W. F. Stutterheim (1892-1942). Mereka berjasa dalam menginterpretasikan masa lampau Jawa berdasarkan pengetahuan tentang India kuno. Sekarang perlu dipertanyakan apakah tradisi Jawa masih menyimpan bekas-bekas persentuhan dengan Hindu atau India.       Terdapat paling sedikit tiga petunjuk untuk mengapresiasi bagaimana persentuhan budaya tersebut, yang telah meresap dalam mentalitas masyarakat Jawa.
1.      Pertama, asal-usul suku bangsa Jawa yang dijelaskan oleh C. C. Berg dalam bentuk legenda tentang seorang bernama Aji Saka. Ia dikisahkan sebagai seorang muda putra Brahmana yang berasal dari tanah India. Aji Saka datang di tanah Jawa, dan mendapatkan sebuah negeri dengan nama Medangkamulan, yang kini berada di daerah Grobogan, Purwodadi. Negeri ini dikuasai oleh seorang raja pemakan daging manusia yang bernama Dewatacengkar. Aji Saka menawarkan diri menjadi makanan raja dengan syarat ia akan menerima satu bidang tanah seluas destarnya sebagai ganti. Si pemakan daging manusia alias Dewatacengkar menerima syarat ini dengan senang hati, tetapi ia terkejut karena destar milik Aji Saka semakin lama semakin lebar, bahkan akhirnya menutupi seluruh wilayah kerajaannya. Ia menerima kekalahannya dengan mengundurkan diri, serta menyerahkan kekuasaannya kepada Aji Saka pada tahun 78 Masehi.
Menurut C. C. Berg legenda di atas menjadi simbolisme atau lambang yang dipergunakan oleh nenek moyang orang jawa untuk memudahkan ingatan perhitungan awal tarikh Jawa, yaitu tarikh Saka. Hitungan ini diawali dengan runtuhnya kepercayaan animisme karena masuknya pengaruh Hindu di Jawa. Demikian pula syair tentang kematian dua orang pengiring Aji Saka, menjadi suatu simbolisme yang mempermudah ingatan terhadap susunan abjad Jawa.
1.      Kedua, penafsiran indianisasi yang lain, yang kurang bersifat historis diberikan dalam naskah Jawa abad 16, Tantu Panggelaran yang merupakan sejenis buku petunjuk pertapaan-pertapaan Hindu di Jawa. Tulisan itu menjelaskan tentang asal mula Bhatara Guru (siwa) yang pergi ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya Pulau Jawa diberi penghuni. Brahma menciptakan kaum lelaki dan Wisnu kaum perempuan, lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di bumi baru kemudian memindahkan Gunung Meru yang sampai saat itu terletak di Negeri Jambudvipa atau di India. Sejak saat itu gunung tinggi yang menjadi lingga dunia (pinkalalingganingbhuwana) atau pusat dunia itu tertanam di Jawa dan pulau Jawa menjadi kesayangan dewata.
2.      Ketiga, sebagai kelanjutan dari teori mutasi perlu dicatat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografi India yang dianggap keramat itu. Bukan hanya gunung-gunungnya, atau tempat-tempat bersejarah tetapi juga kerajaan-kerajaan yang namanya dipinjam dari Mahabharata. Demikian pula relief-relief Borobudur tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui risalah-risalah India tentang Mahayana. Namun demikian tak mungkin antara keduanya, yaitu Jawa dan India disamakan.[1]


B.     Kebudayaan Jawa Pra Hindu Budha
Dalam hal ini beberapa sumber menyebutkan bahwa masyarakat indonesia, atau lebih tepatnya jawa, sebelum kedatangan agama hindu budha telah menjadi masyarakat yang tersusun secara teratur, sederhana dan bersahaja. Dan sistim religi yang di anut adalah animisme dan dinamisme yang menjadi inti kebudayaan masyarakat jawa yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupannya. Cara berfikir masyarakat saat itu bersifat menyeluruh dan emosional.
Mayarakat jawa memiliki ikatan solidaritas yang kuat, demikian juga mereka menjaga baik hubungan pertalian darah, di samping penghormatannya kepada leluhur atau  nenek moyang mereka yang melahirkan penyembahan kepada roh leluhur yang melahirkan hukum adat dan relasi pendukungnya
Agama asli yang oleh para antropolog di sebut religion magic ini merupakan nilai budaya yang mengakar di masyarakat jawa, inilah yang dikatakan Vleke bahwa kepercayaan pada saat itu ditentukan terhadap benda-benda apa saja yang ada di alam ini hidup dan memiliki jiwa, pada masa itu penghormatan pada nenek moyang mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan keagamaan dan masyarakat.
Mengenai sosial kemasyarakatan, masyarakat jawa pra hindu budha lewat pemimpin lokalnya telah menciptakan lembaga politik pertama di tingkat paling kecil (desa) dan juga demi pengaturan pengairan central. Sebagian besar masyarakat memang telah hidup dari pertanian dan juga sudah mengenal persawahan, oleh karena itu tidak heran kalau bentuk organisasi mereka juga sudah cukup tinggi. Bahkan garis-garis besar organisasi sosial itu masih dapat di rekonstruksi dan bertahan sampai sekarang. Sutan Takdir menyebut sosial pemerintahan masyarakat pra hindu budha ini sebagai republik-republik desa yang kecil, dimana dalam lingkungan yang kecil itu mereka merasa terikat secara emosional sehingga solidaritas sosialnya amat kuat, dan solidaritas inilah yang sekarang di adopsi sebagai sikap hidup gotong royong.[2]
C.     Kebudayaan Jawa Masa Hindu Budha
Seperti yang telah di singgung di atas pada zaman pra hindu budha kontak-kontak sosial masyarakat jawa dengan dunia luar sudah terjadi. Kontak perdagangan dengan india, arab, cina dan persia bahkan terus berkembang dikarnakan indonesia terletak di jalur strategis perdagangan, kondisi yang demikian itu menjadikan pangeran-pangeran lokal berkenalan dengan pandangan-pandangan politik dan religius luar, terutama india.
Penyerapan kebudayaan Hindu-Budha dari India itu kemudian membawa penduduk negeri ini semakin masuk ke dalam wilayah pancaran kebudayaan India. Tercatat di Sumatera selatan Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan pantai dengan pengaruh yang cukup besar. Kerajaan ini menganut ajaran Budhisme Hinayana dan mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-7M. Di antara pangeran-pangeran lokal, muncul raja-raja yang lebih kuat yang dapat memperluas kedaulatannya sampai ke daerah yang lebih luas. Sanjaya, raja Mataram, di wilayah Yogyakarta sekarang, menguasai seluruh Jawa Tengah pada permulaan abad ke-8 M. Raja ini menganut agama Syiwa dan dia berhasil membangun kompleks candi Syiwa di dataran tinggi Dieng.
Kekuasaan Sanjaya hilang, muncul Dinasti Syailendra yang memeluk agama Budha Mahayana. Syailendra berkuasa kurang lebih selama 60 tahun di sebelah barat Yogyakarta, tepatnya di daerah Magelang. Peninggalan paling bersejarah Dinasti Syailendra adalah candi Borobudur. Candi ini dibangun menurut tradisi Jawa Kuno sebagai candi yang berteras dan melambangkan alam raya. Teras-teras paling bawah dihiasi dengan ukiran-ukiran dari alam kepercayaan Budhisme Mahayana. Di teras-teras berikutnya, hingga ke teras paling tinngi, orang akan diajak masuk ke wilayah yang tanpa gambar yang melambangkan pencapaian terang batin dan suasana kebudhaan.
Borobudur juga merupakan kesaksian yang pertama bagi kemampuan kebudayaan Jawa dalam mengambil alih agama-agama atau kebudayaan lain untuk diabdikan bagi kepentingan-kepentingannya sendiri, dalam artian untuk menjawakannya. Tendensi jawanisasi juga nampak dalam penggantian bahasa Sanskerta dengan bahasa Jawa Kuno dan dalam perkembangan huruf-huruf Jawa yang diyakini dimulai sejak saat itu.
Diperkirakan pada akhir abad 8 M, atau awal abad 9 M, penguasa Jawa Tengah yang menamakan diri raja Mataram menganut agama Siwa. Peninggalan terbesar atas kepenganutan agama mereka adalah kompleks candi Lorojonggrang di daerah Prambanan, sebelah timur Yogyakarta. Bangunan candi Lorojonggrang terdiri dari tiga bangunan candi utama yang diperuntukkan bagi dewa Brahma, Siwa, dan Wisnu. Ukiran-ukiran candi Syiwa diambil dari kisah Ramayana, sedangkan candi Lorojonggrang dimaksudkan sebagai tempat pemakaman bagi raja-raja Mataram. Fungsi candi itu adalah sebagai pemakaman dan candi kerajaan, yang menandakan kekhasan Hinduisme dan Budhisme yang hidup dan berkembang dalam kebudayaan Jawa saat itu.[3]
Pada dasarnya budaya di masa Hindu-Budha merupakan manifestasi kepercayaan Jawa Hindu-Budha semenjak datangnya Hindu-Budha di tanah Jawa. Kegiatan tersebut berupa upacara, tradisi yang sebagian masih dapat dilihat keberadaannya sampai saat ini. Upacara tersebut dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para Dewa.
Di masa Majapahit para agamawan melaksanakan ritual kerajaan dengan baik, dan menjaga candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur raja.
Ritual lainnya di Jawa maupun di Pasundan untuk memperoleh kesejahteraan ekonomis adalah upacara wiwit (permulaan musim tanam) yang diwujudkan pada pemujaan dewi padi, Dewi Sri. Pemujaan terhadap Dewi Sri dewasa ini masih terus dilangsungkan oleh para petani di desa untuk mendapatkan hasil panen yang baik. Doa ditujukan kepada tokoh Sri yang menjelma menjadi padi. Jikalau orang hendak menuai padi yang telah menguning, sebelumnya beberapa bulir padi dipungut dan dibentuk seperti dua orang (lambang sepasang pengantin) yang dipertemukan dan diarak pulang. Diharapkan nantinya sepasang pengantin padi akan mendatangkan panen yang baik. Petani akan mempersembahkan ikatan-ikatan padi pertama yang disimpan dengan hidmat sampai masa penebaran benih tahun berikutnya.
Upacara lain yang sangat penting adalah pagelaran wayang kulit. Bukti tertua tentang wayang kulit berasal dari abad ke-10, berupa prasasti Bali yang menyebut digelarkannya sebuah lakon kelahiran Bima (Bima bungkus) yang kadang-kadang masih dipertunjukkan dewasa ini. Peran wiracarita-wiracarita India atas lakon-lakon wayang kulit besar sekali. Kebanyakan tokoh dan sejumlah besar lakon diambil dari Ramayana dan Mahabharata. Wayang hanya terdapat di Jawa dan daerah-daerah Nusantara yang tersentuh kebudayaan Jawa itu.
Ciri lain yang menunjukkan bahwa pagelaran wayang sesungguhnya merupakan suatu upacara adalah lamanya pagelaran. Setiap pemanggilan arwah harus mengikuti irama kosmis dan berlangsung semalam suntuk, dari saat matahari terbenam sampai matahari terbit. Waktu menjelang malam hari atau sandikala, yaitu saat tenggelamnya matahari, dipakai untuk menempatkan alat-alat dan mengucapkan mantera-mantera dari depan kelir sambil mengheningkan cipta. Dalang membakar dupa untuk menyenangkan para arwah. Para niyaga yang akan mengiringinya dengan gamelan duduk di dekat alat mereka dan mulai memainkannya dengan pelan. Pertunjukan yang sebenarnya baru mulai setelah malam sampai fajar menyingsing. Menjelang tengah malam, saat yang menentukan, dalang menggambarkan kekacauan alam yang (gara-gara), semacam keributan kosmos yang kemudian mereda. Pada waktu lakon berakhir pada dini hari, keseimbangan atau keselarasan kosmos akhirnya pulih. Dalang menandainya dengan manancapkan sebuah kayon (dari kata kayu), yaitu sebuah wayang dengan bentuk pohon kehidupan yang juga dinamakan gunungan, di tengah-tengah kelir.[4]

D.    Kepercayaan Jawa Masa Hindu Budha
Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular berisikan pesan keagamaan yang digubah dari boddhakawya sehingga berkesan bahwa ia adalah seorang boddha, yang memuja istadewata atau Adi-Budha. Namun, dalam Kakawin lain Uttarakanda yang ditulisnya, jelas merupakan pemujaan kepada Dewa Wisnu. Yang lebih rumit lagi, istadewata yang dimaksud adalah Sri Parwatarajadewa yang berarti Dewa Raja Gunung, yaitu Dewa Siwa yang dalam mitologi India adalah menantu Himalaya. Tradisi pemujaan gunung keramat di Jawa agaknya merupakan kepercayaan pada kekeramatan tempat-tempat tinggi yang ada hubungannya dengan pemujaan arwah nenek moyang yang terdapat sejak lama di Asia Tenggara pada umumnya, sebelum kedatangan agama Hindu-Budha di pulau Jawa.
Demikianlah Dewa Raja Gunung yang dimaksud agaknya adalah dewa resmi kerajaan Majapahit. Dia bukan Siwa, bukan pula Budha, tetapi adalah Siwa-Budha, pelindung dari Yang Mutlak (natha nina anatha), Raja dari segala Raja Dunia (Pati ning Jagatpati), dan Dewa dari segala istadewata (sang hyang ning hyang inisti). Dalam pantheon, kerajaan Siwa dan Budha dianggap sama.
...tan hana bheda sang hyang/
Hyang Budha rakwa kalawan Siwa rajadewa/
Kalih samwka sira pinakesti-dharma (Arjunawijaya 27:2)
...taka ada perbedaan antara Dewa-Dewa tersebut/
Hyang Budha sama dengan Siwa, raja segala Dewa/
Keduanya itu sama, keduanya merupakan tujuan dharma
Masyarakat Jawa mempunyai toleransi keagamaan yang sangat besar. Mereka menganggap sepadan antara Budha dan para Jina lainnya dengan Siwa dan para dewa lain. Mereka mempercayai dalam kisah pertempuran antara Porusada dengan Sutasoma, bahwa Porusada telah berubah menjadi Maharudra atau Siwa, lalu ia marah dan menampakkan dirinya menjadi Kala, yaitu api yang akan membakar dunia. Cemas akan terjadi kebinasaan dunia sebelum waktunya, para dewa turun dan membujuk Siwa, dengan menenangkan bahwa Siwa tak mungkin mengalahkan Sutasoma yang merupakan penjelmaan Budha. Karena walaupun Siwa dan Budha adalah dua substansi (anekadhatu) yang berlainan, tetapi tidak mungkin keduanya dipisahkan. Dalam praktek keagamaannya, seorang pengikut agama Siwa ataupun Budha haruslah mengetahui kedua jalan atau yoga. Artinya seorang pendeta Budha akan gagal (tiwas) kalau tidak mengetahui jalan kesiwaan, begitu pula sebaliknya. Karena jalan yang harus dilalui untuk menyembah Hyang Agung  adalah seperti jalan menuju puncak gunung yang dapat dicapai dari segenap penjuru.
...Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal/
Bhineka tunggal ika tan hana darma mangarwa (Sutasoma 139)
Pada hakekatnya yang paling dalam Budha dan Siwa adalah satu/
Keduanya itu berbeda, tetapi itu satu, tak ada dharma yang mendua
Kepercayaan keagamaan masyarakat Jawa yang terungkap melalui kakawin pada saat tertentu tampak berkembang dalam proses evolusi yang lamban. Namun, yang pasti adalah bahwa kedua ideologi yang baru, baik Hindu maupun Budha, rupanya di Jawa lebih rukun antara satu dengan yang lain daripada di India.[5]


IV.             KESIMPULAN
Terdapat tiga petunjuk untuk menapresiasi bagaimana persentuhan agama hindu, yang telah meresap dalam mentalitas budaya masyarakat Jawa.
1.      asal-usul suku bangsa Jawa yang dijelaskan oleh C. C. Berg dalam bentuk legenda tentang seorang bernama Aji Saka.
2.      Kedua, penafsiran indianisasi lain, yang kurang bersifat historis diberikan dalam naskah Jawa abad 16, Tantu Panggelaran yang merupakan sejenis buku petunjuk pertapaan-pertapaan Hindu di Jawa.
3.      Ketiga, sebagai kelanjutan dari teori mutasi tecatat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografi India yang dianggap keramat.
Masyarakat Jawa mempunyai toleransi keagamaan yang sangat besar. Mereka menganggap sepadan antara Budha dan para Jina lainnya dengan Siwa dan para dewa lain. walaupun Siwa dan Budha adalah dua substansi (anekadhatu) yang berlainan, tetapi tidak mungkin keduanya dipisahkan. Dalam praktek keagamaannya, seorang pengikut agama Siwa ataupun Budha haruslah mengetahui kedua jalan atau yoga.
Penyerapan kebudayaan Hindu-Budha dari India membawa penduduk negeri ini terutama penduduk pulau Jawa semakin masuk ke dalam wilayah pancaran kebudayaan India. Kebudayaan yang terserap seperti pagelaran wayang kulit dan berbagia ritual keagaamaan yang dilakukan oleh kerajaan.
Masuknya agama Hindu-Budha bersamaan dengan munculnya sistem kerajaan, yang diperkenalkan oleh kaum brahmana India. Agama Hindu dan Budha berhasil diserap dan dicerna, atau bahkan di-Jawakan. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya agama atau kepercayaan Hindu-Kejawen, Budha Kejawen. Yang mana merupakan bentuk-bentuk kepercayaan yang dipraktekan oleh pihak kerajaan dan diteruskan kepada masyarakat.



V.                PENUTUP
Demikian makalah yang kami buat, tentu saja tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan dari makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari kawan kawan semua sangat kami harapkan. Semoga makalah ini, bermanfaat bagi kami semua. Aminn..









DAFTAR  PUSTAKA






[1] . Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 10-12.
[2] . Ahmad Khalil, Islam Jawa Sufisme dalam tika dan Tradisi Jawa (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 132-134.
[3] . Ahmad Khalil, Islam Jawa Sufisme dalam tika dan Tradisi Jawa, 135-139.
[4] . Ahmad Khalil, Islam Jawa Sufisme dalam tika dan Tradisi Jawa, hlm. 135-
[5] . Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 12-14.

No comments:

Post a Comment

Cerita Nyata

BAPAK HOBI SELINGKUH Cerita ini merupakan pengalaman anak tetanggaku, sebut saja namanya Finsa. Saat ini usianya hampir mendekati 20 t...