KEBUDAYAAN
JAWA PRA ISLAM
(MASA
HINDU BUDHA)
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Islam dan Budaya Jawa
Dosen
Pengampu : Drs. H. Anasom, M.Hum
Disusun
oleh:
Umi
Nur Iswatin (1401016102)
Awang
Maylinda D (1401016106)
Ahmad
Syamsul Maarif (1401016113)
Umi
Habibbah (1401016116)
Shella
Norvita Safitri (1401016118)
Dwi
Rindho F (1401016134)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGRI WALISONGO
SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Keberadaan
budaya jawa baru di ketahui secara konkrit dari sumber bersejarah setelah
kedatangan Aji Saka. Ini sebenarnya masih simpang siur karena ditemukan
berbagai versi yang terkesan hanya sebagai mitos yang agaknya bukan sebagai peristiwa sejarah.
Keseragaman dalam artian para ahli sejarah sepakat untuk mengatakan sebagai
sejarah, baru terjadi ratusan tahun setelah masehi, lebih tepatnya setelah di
temukannya sumber yang memang di sepakati sebagai sumber sejarah, seperti
prasasti dan juga laporan dari cina mulai abad ke 7 M.
Peninggalan
itulah yang dapat memberi informasi dan kejelasan sebagai bukti terjadinya
suatu peristiwa dari sebuah wilayah.
Dalam
kaitan dalam sistem teologi, karakteristik budaya jawa berkembang melalui
beberapa fase, salah satunya kebudayaan jawa yang berkembang pada fase hindu
budha.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Sejarah
Masuknya Hindu Budha di Jawa
B. Kebudayaan
Jawa Pra Hindu Budha
C. Kebudayaan
Jawa Masa Hindu Budha
D. Kepercayaan
Jawa Masa Hindu Budha
III.
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Masuknya Hindu Budha di Jawa
Sejarah
mencatat bahwa di Jawa pernah mengalami “mutasi pertama” atau lebih tepatnya
disebut indianisasi. Sebenarnya kemungkinan adanya pengaruh India tidak pernah
terdeteksi oleh para peneliti Eropa sebelum awal abad ke-19. Raffles mengangkat
indianisasi menjadi topik yang menarik dengan mengaitkan antara Jawa dan India.
Gagasan Indianisasi ini dilanjutkan oleh para peneliti Belanda yang lain, yaitu
J. L. A. Brandes (1957-1905), H. Kern (1833-1917), N. j. Krom (1883-1945), dan
W. F. Stutterheim (1892-1942). Mereka berjasa dalam menginterpretasikan masa
lampau Jawa berdasarkan pengetahuan tentang India kuno. Sekarang perlu
dipertanyakan apakah tradisi Jawa masih menyimpan bekas-bekas persentuhan
dengan Hindu atau India. Terdapat
paling sedikit tiga petunjuk untuk mengapresiasi bagaimana persentuhan budaya
tersebut, yang telah meresap dalam mentalitas masyarakat Jawa.
1.
Pertama, asal-usul
suku bangsa Jawa yang dijelaskan oleh C. C. Berg dalam bentuk legenda tentang
seorang bernama Aji Saka. Ia dikisahkan sebagai seorang muda putra Brahmana
yang berasal dari tanah India. Aji Saka datang di tanah Jawa, dan mendapatkan
sebuah negeri dengan nama Medangkamulan, yang kini berada di daerah Grobogan,
Purwodadi. Negeri ini dikuasai oleh seorang raja pemakan daging manusia yang
bernama Dewatacengkar. Aji Saka menawarkan diri menjadi makanan raja dengan
syarat ia akan menerima satu bidang tanah seluas destarnya sebagai
ganti. Si pemakan daging manusia alias
Dewatacengkar menerima syarat ini dengan senang hati, tetapi ia terkejut karena destar
milik Aji Saka semakin lama semakin lebar, bahkan akhirnya menutupi seluruh
wilayah kerajaannya. Ia menerima kekalahannya dengan mengundurkan diri, serta
menyerahkan kekuasaannya kepada Aji Saka pada tahun 78 Masehi.
Menurut C. C. Berg legenda di atas menjadi simbolisme
atau lambang yang dipergunakan oleh nenek moyang orang jawa untuk memudahkan
ingatan perhitungan awal tarikh Jawa, yaitu tarikh Saka. Hitungan ini diawali
dengan runtuhnya kepercayaan animisme karena masuknya pengaruh Hindu di Jawa.
Demikian pula syair tentang kematian dua orang pengiring Aji Saka, menjadi
suatu simbolisme yang mempermudah ingatan terhadap susunan abjad Jawa.
1. Kedua, penafsiran indianisasi yang lain, yang kurang bersifat historis diberikan
dalam naskah Jawa abad 16, Tantu Panggelaran yang merupakan sejenis buku
petunjuk pertapaan-pertapaan Hindu di Jawa. Tulisan itu menjelaskan tentang
asal mula Bhatara Guru (siwa) yang pergi
ke Gunung Dieng untuk bersemedi dan meminta kepada Brahma dan Wisnu supaya
Pulau Jawa diberi penghuni. Brahma menciptakan kaum lelaki dan Wisnu kaum
perempuan, lalu semua dewa memutuskan untuk menetap di bumi baru kemudian
memindahkan Gunung Meru yang sampai saat itu terletak di Negeri Jambudvipa atau
di India. Sejak saat itu gunung tinggi yang menjadi lingga dunia (pinkalalingganingbhuwana)
atau pusat dunia itu tertanam di Jawa dan pulau Jawa menjadi kesayangan dewata.
2. Ketiga, sebagai kelanjutan dari teori mutasi perlu dicatat
bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang
membuktikan adanya kehendak untuk menciptakan kembali geografi India yang
dianggap keramat itu. Bukan hanya gunung-gunungnya, atau tempat-tempat bersejarah tetapi juga kerajaan-kerajaan yang
namanya dipinjam dari Mahabharata. Demikian pula relief-relief Borobudur tidak
dapat ditafsirkan tanpa mengetahui risalah-risalah India tentang Mahayana.
Namun demikian tak mungkin antara keduanya, yaitu Jawa dan India disamakan.[1]
B. Kebudayaan
Jawa Pra Hindu Budha
Dalam
hal ini beberapa sumber menyebutkan bahwa masyarakat indonesia, atau lebih
tepatnya jawa, sebelum kedatangan agama hindu budha telah menjadi masyarakat
yang tersusun secara teratur, sederhana dan bersahaja. Dan sistim religi yang
di anut adalah animisme dan dinamisme yang menjadi inti kebudayaan masyarakat
jawa yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupannya. Cara berfikir masyarakat
saat itu bersifat menyeluruh dan emosional.
Mayarakat
jawa memiliki ikatan solidaritas yang kuat, demikian juga mereka menjaga baik
hubungan pertalian darah, di samping penghormatannya kepada leluhur atau nenek moyang mereka yang melahirkan
penyembahan kepada roh leluhur yang melahirkan hukum adat dan relasi
pendukungnya
Agama asli yang oleh
para antropolog di sebut religion magic ini
merupakan nilai budaya yang mengakar di masyarakat jawa, inilah yang dikatakan
Vleke bahwa kepercayaan pada saat itu ditentukan terhadap benda-benda apa saja
yang ada di alam ini hidup dan memiliki jiwa, pada masa itu penghormatan pada
nenek moyang mempunyai kedudukan sangat penting dalam kehidupan keagamaan dan
masyarakat.
Mengenai
sosial kemasyarakatan, masyarakat jawa pra hindu budha lewat pemimpin lokalnya
telah menciptakan lembaga politik pertama di tingkat paling kecil (desa) dan
juga demi pengaturan pengairan central. Sebagian besar masyarakat memang telah
hidup dari pertanian dan juga sudah mengenal persawahan, oleh karena itu tidak
heran kalau bentuk organisasi mereka juga sudah cukup tinggi. Bahkan
garis-garis besar organisasi sosial itu masih dapat di rekonstruksi dan
bertahan sampai sekarang. Sutan Takdir menyebut sosial pemerintahan masyarakat
pra hindu budha ini sebagai republik-republik desa yang kecil, dimana dalam
lingkungan yang kecil itu mereka merasa terikat secara emosional sehingga
solidaritas sosialnya amat kuat, dan solidaritas inilah yang sekarang di adopsi
sebagai sikap hidup gotong royong.[2]
C. Kebudayaan
Jawa Masa Hindu Budha
Seperti
yang telah di singgung di atas pada zaman pra hindu budha kontak-kontak sosial
masyarakat jawa dengan dunia luar sudah terjadi. Kontak perdagangan dengan
india, arab, cina dan persia bahkan terus berkembang dikarnakan indonesia
terletak di jalur strategis perdagangan, kondisi yang demikian itu menjadikan
pangeran-pangeran lokal berkenalan dengan pandangan-pandangan politik dan
religius luar, terutama india.
Penyerapan
kebudayaan Hindu-Budha dari India itu kemudian membawa penduduk negeri ini
semakin masuk ke dalam wilayah pancaran kebudayaan India. Tercatat di Sumatera
selatan Kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerajaan pantai dengan pengaruh yang
cukup besar. Kerajaan ini menganut ajaran Budhisme Hinayana dan mencapai puncak
kejayaannya pada abad ke-7M. Di antara pangeran-pangeran lokal, muncul
raja-raja yang lebih kuat yang dapat memperluas kedaulatannya sampai ke daerah
yang lebih luas. Sanjaya, raja Mataram, di wilayah Yogyakarta sekarang,
menguasai seluruh Jawa Tengah pada permulaan abad ke-8 M. Raja ini menganut
agama Syiwa dan dia berhasil membangun kompleks candi Syiwa di dataran tinggi
Dieng.
Kekuasaan
Sanjaya hilang, muncul Dinasti Syailendra yang memeluk agama Budha Mahayana.
Syailendra berkuasa kurang lebih selama 60 tahun di sebelah barat Yogyakarta,
tepatnya di daerah Magelang. Peninggalan paling bersejarah Dinasti Syailendra
adalah candi Borobudur. Candi ini dibangun menurut tradisi Jawa Kuno sebagai
candi yang berteras dan melambangkan alam raya. Teras-teras paling bawah
dihiasi dengan ukiran-ukiran dari alam kepercayaan Budhisme Mahayana. Di
teras-teras berikutnya, hingga ke teras paling tinngi, orang akan diajak masuk
ke wilayah yang tanpa gambar yang melambangkan pencapaian terang batin dan
suasana kebudhaan.
Borobudur
juga merupakan kesaksian yang pertama bagi kemampuan kebudayaan Jawa dalam
mengambil alih agama-agama atau kebudayaan lain untuk diabdikan bagi
kepentingan-kepentingannya sendiri, dalam artian untuk menjawakannya. Tendensi
jawanisasi juga nampak dalam penggantian bahasa Sanskerta dengan bahasa Jawa
Kuno dan dalam perkembangan huruf-huruf Jawa yang diyakini dimulai sejak saat
itu.
Diperkirakan
pada akhir abad 8 M, atau awal abad 9 M, penguasa Jawa Tengah yang menamakan
diri raja Mataram menganut agama Siwa. Peninggalan terbesar atas kepenganutan
agama mereka adalah kompleks candi Lorojonggrang di daerah Prambanan, sebelah
timur Yogyakarta. Bangunan candi Lorojonggrang terdiri dari tiga bangunan candi
utama yang diperuntukkan bagi dewa Brahma, Siwa, dan Wisnu. Ukiran-ukiran candi
Syiwa diambil dari kisah Ramayana, sedangkan candi Lorojonggrang dimaksudkan
sebagai tempat pemakaman bagi raja-raja Mataram. Fungsi candi itu adalah
sebagai pemakaman dan candi kerajaan, yang menandakan kekhasan Hinduisme dan
Budhisme yang hidup dan berkembang dalam kebudayaan Jawa saat itu.[3]
Pada
dasarnya budaya di masa Hindu-Budha merupakan manifestasi kepercayaan Jawa
Hindu-Budha semenjak datangnya Hindu-Budha di tanah Jawa. Kegiatan tersebut
berupa upacara, tradisi yang sebagian masih dapat dilihat keberadaannya sampai
saat ini. Upacara tersebut dilakukan untuk memperoleh kesejahteraan dari para
Dewa.
Di masa
Majapahit para agamawan melaksanakan ritual kerajaan dengan baik, dan menjaga
candi-candi yang kebanyakan merupakan tempat pemujaan leluhur raja.
Ritual lainnya di Jawa maupun di Pasundan untuk
memperoleh kesejahteraan ekonomis adalah upacara wiwit (permulaan musim
tanam) yang diwujudkan pada pemujaan dewi padi, Dewi Sri. Pemujaan terhadap
Dewi Sri dewasa ini masih terus dilangsungkan oleh para petani di desa untuk
mendapatkan hasil panen yang baik. Doa ditujukan kepada tokoh Sri yang menjelma
menjadi padi. Jikalau orang hendak menuai padi yang telah menguning, sebelumnya
beberapa bulir padi dipungut dan dibentuk seperti dua orang (lambang sepasang
pengantin) yang dipertemukan dan diarak pulang. Diharapkan nantinya sepasang
pengantin padi akan mendatangkan panen yang baik. Petani akan mempersembahkan
ikatan-ikatan padi pertama yang disimpan dengan hidmat sampai masa penebaran
benih tahun berikutnya.
Upacara lain
yang sangat penting adalah pagelaran wayang kulit. Bukti tertua tentang wayang
kulit berasal dari abad ke-10, berupa prasasti Bali yang menyebut digelarkannya
sebuah lakon kelahiran Bima (Bima bungkus) yang kadang-kadang masih
dipertunjukkan dewasa ini. Peran wiracarita-wiracarita India atas lakon-lakon
wayang kulit besar sekali. Kebanyakan tokoh dan sejumlah besar lakon diambil
dari Ramayana dan Mahabharata. Wayang hanya terdapat di Jawa dan daerah-daerah
Nusantara yang tersentuh kebudayaan Jawa itu.
Ciri lain
yang menunjukkan bahwa pagelaran wayang sesungguhnya merupakan suatu upacara
adalah lamanya pagelaran. Setiap pemanggilan arwah harus mengikuti irama kosmis
dan berlangsung semalam suntuk, dari saat matahari terbenam sampai matahari
terbit. Waktu menjelang malam hari atau sandikala, yaitu saat
tenggelamnya matahari, dipakai untuk menempatkan alat-alat dan mengucapkan
mantera-mantera dari depan kelir sambil mengheningkan cipta. Dalang membakar
dupa untuk menyenangkan para arwah. Para niyaga yang akan mengiringinya dengan
gamelan duduk di dekat alat mereka dan mulai memainkannya dengan pelan.
Pertunjukan yang sebenarnya baru mulai setelah malam sampai fajar menyingsing.
Menjelang tengah malam, saat yang menentukan, dalang menggambarkan kekacauan
alam yang (gara-gara), semacam keributan kosmos yang kemudian mereda.
Pada waktu lakon berakhir pada dini hari, keseimbangan atau keselarasan kosmos
akhirnya pulih. Dalang menandainya dengan manancapkan sebuah kayon (dari
kata kayu), yaitu sebuah wayang dengan bentuk pohon kehidupan yang juga
dinamakan gunungan, di tengah-tengah kelir.[4]
D. Kepercayaan
Jawa Masa Hindu Budha
Kakawin
Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular berisikan pesan keagamaan yang digubah dari
boddhakawya sehingga berkesan bahwa ia adalah seorang boddha, yang
memuja istadewata atau Adi-Budha. Namun, dalam Kakawin lain Uttarakanda
yang ditulisnya, jelas merupakan pemujaan kepada Dewa Wisnu. Yang lebih rumit
lagi, istadewata yang dimaksud adalah Sri Parwatarajadewa yang berarti Dewa
Raja Gunung, yaitu Dewa Siwa yang dalam mitologi India adalah menantu Himalaya.
Tradisi pemujaan gunung keramat di Jawa agaknya merupakan kepercayaan pada
kekeramatan tempat-tempat tinggi yang ada hubungannya dengan pemujaan arwah
nenek moyang yang terdapat sejak lama di Asia Tenggara pada umumnya, sebelum
kedatangan agama Hindu-Budha di pulau Jawa.
Demikianlah
Dewa Raja Gunung yang dimaksud agaknya adalah dewa resmi kerajaan Majapahit.
Dia bukan Siwa, bukan pula Budha, tetapi adalah Siwa-Budha, pelindung dari Yang
Mutlak (natha nina anatha), Raja dari segala Raja Dunia (Pati ning
Jagatpati), dan Dewa dari segala istadewata (sang hyang ning hyang
inisti). Dalam pantheon, kerajaan Siwa dan Budha dianggap sama.
...tan hana bheda sang hyang/
Hyang Budha rakwa kalawan Siwa rajadewa/
Kalih samwka sira pinakesti-dharma (Arjunawijaya 27:2)
...taka ada perbedaan antara Dewa-Dewa tersebut/
Hyang Budha sama dengan Siwa, raja segala Dewa/
Keduanya itu sama, keduanya merupakan tujuan dharma
Masyarakat Jawa mempunyai toleransi keagamaan yang
sangat besar. Mereka menganggap sepadan antara Budha dan para Jina lainnya
dengan Siwa dan para dewa lain. Mereka mempercayai dalam kisah pertempuran
antara Porusada dengan Sutasoma, bahwa Porusada telah berubah menjadi Maharudra
atau Siwa, lalu ia marah dan menampakkan dirinya menjadi Kala, yaitu api yang
akan membakar dunia. Cemas akan terjadi kebinasaan dunia sebelum waktunya, para
dewa turun dan membujuk Siwa, dengan menenangkan bahwa Siwa tak mungkin mengalahkan
Sutasoma yang merupakan penjelmaan Budha. Karena walaupun Siwa dan Budha adalah
dua substansi (anekadhatu) yang berlainan, tetapi tidak mungkin keduanya
dipisahkan. Dalam praktek keagamaannya, seorang pengikut agama Siwa ataupun
Budha haruslah mengetahui kedua jalan atau yoga. Artinya seorang pendeta Budha
akan gagal (tiwas) kalau tidak mengetahui jalan kesiwaan, begitu pula
sebaliknya. Karena jalan yang harus dilalui untuk menyembah Hyang Agung
adalah seperti jalan menuju puncak gunung yang dapat dicapai dari segenap
penjuru.
...Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal/
Bhineka tunggal ika tan hana darma mangarwa (Sutasoma
139)
Pada hakekatnya yang paling dalam Budha dan Siwa
adalah satu/
Keduanya itu berbeda, tetapi itu satu, tak ada dharma
yang mendua
Kepercayaan keagamaan masyarakat Jawa yang terungkap
melalui kakawin pada saat tertentu tampak berkembang dalam proses evolusi yang
lamban. Namun, yang pasti adalah bahwa kedua ideologi yang baru, baik Hindu
maupun Budha, rupanya di Jawa lebih rukun antara satu dengan yang lain daripada
di India.[5]
IV.
KESIMPULAN
Terdapat tiga petunjuk untuk
menapresiasi bagaimana persentuhan agama hindu, yang telah
meresap dalam mentalitas budaya masyarakat
Jawa.
1. asal-usul suku bangsa Jawa yang
dijelaskan oleh C. C. Berg dalam bentuk legenda tentang seorang bernama Aji
Saka.
2. Kedua, penafsiran
indianisasi lain, yang kurang bersifat historis diberikan dalam naskah Jawa
abad 16, Tantu Panggelaran yang merupakan sejenis buku petunjuk
pertapaan-pertapaan Hindu di Jawa.
3. Ketiga, sebagai
kelanjutan dari teori mutasi tecatat bahwa banyak nama tempat di pulau Jawa
yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang membuktikan adanya kehendak untuk
menciptakan kembali geografi India yang dianggap keramat.
Masyarakat Jawa mempunyai toleransi
keagamaan yang sangat besar. Mereka menganggap sepadan antara Budha dan para
Jina lainnya dengan Siwa dan para dewa lain. walaupun Siwa dan Budha adalah dua
substansi (anekadhatu) yang berlainan, tetapi tidak mungkin keduanya
dipisahkan. Dalam praktek keagamaannya, seorang pengikut agama Siwa ataupun
Budha haruslah mengetahui kedua jalan atau yoga.
Penyerapan kebudayaan Hindu-Budha
dari India membawa penduduk negeri ini terutama penduduk pulau Jawa semakin masuk ke dalam wilayah
pancaran kebudayaan India. Kebudayaan
yang terserap seperti pagelaran wayang kulit dan berbagia ritual keagaamaan
yang dilakukan oleh kerajaan.
Masuknya agama Hindu-Budha bersamaan
dengan munculnya sistem kerajaan, yang diperkenalkan oleh kaum brahmana India. Agama Hindu
dan Budha berhasil diserap dan dicerna, atau bahkan di-Jawakan. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya agama atau
kepercayaan Hindu-Kejawen, Budha Kejawen. Yang mana merupakan bentuk-bentuk kepercayaan yang dipraktekan
oleh pihak kerajaan dan diteruskan kepada masyarakat.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang
kami buat, tentu saja tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan dari makalah
ini. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari kawan kawan semua sangat
kami harapkan. Semoga makalah ini, bermanfaat bagi kami semua. Aminn..
DAFTAR PUSTAKA
[1] . Darori
Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), hlm. 10-12.
[2] . Ahmad
Khalil, Islam Jawa Sufisme dalam tika dan Tradisi Jawa (Malang: UIN-Malang
Press, 2008), hlm. 132-134.
[3] . Ahmad
Khalil, Islam Jawa Sufisme dalam tika dan Tradisi Jawa, 135-139.
[4] . Ahmad
Khalil, Islam Jawa Sufisme dalam tika dan Tradisi Jawa, hlm. 135-
[5] . Darori
Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 12-14.
No comments:
Post a Comment